Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

LWL 07

Di dalam mobil, Sarah hanya diam. Tak satu pun kata keluar dari mulutnya.

Hasan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, lalu berhenti di depan sebuah butik ternama di kota tersebut. Hasan tidak membawa Sarah ke butik Soraya karena mereka berlawanan arah.

Hasan mengajak Sarah masuk ke butik, tanpa kata tanpa suara. Hasan hanya memberi kode menggunakan mata saja.

"Selamat malam, Tuan! Ada yang bisa saya bantu?" Tanya pegawai butik.

"Ambil apapun yang kamu mau!" Kata Hasan pada Sarah tanpa menghiraukan pegawai butik.

"Tapi, untuk apa tuan?" Tanya Sarah yang belum mengerti maksud dan tujuan Hasan.

"Untuk kau pakai malam ini, kita akan pergi ke laut dan memberi makan para hiu." Jawab Hasan.

Sarah mengerucutkan bibirnya lalu berjalan menuju beberapa gaun yang di pajang.

Sarah berbalik ke arah Hasan, "Acara apa?" Tanyanya.

"Pernikahan tema luar ruangan," jawab Hasan.

"Oke," kata Sarah lalu memilih satu gaun berwarna hitam. Gaun panjang hingga menutup kaki tanpa lengan dan belahan samping hingga di atas lutut sehingga baju tampak mewah dan glamour.

Sarah masuk ke ruang pas untuk mengganti pakaian lalu keluar dan menghampiri Hasan.

"Aku udah selesai, tuan. Ayo berangkat!" Ajak Sarah.

"Berangkat? Aku menyuruhmu membeli gaun untuk pesta pernikahan, bukan baju untuk menggoda pria hidung belang." Kata Hasan.

Sarah terdiam mendengar ucapan Hasan. Kilatan kemarahan terlihat di matanya, tapi ia menahannya. Ia tahu, perdebatan tidak akan mengubah apapun saat ini. Namun, di dalam hatinya, dia mengumpat dan meluahkan kesalnya.

"Kalau begitu, gaun seperti apa yang menurutmu pantas, tuan Hasan?" tanyanya dengan nada datar, berusaha menyembunyikan emosinya.

Hasan mendekat, menatapnya tajam, "Bukan yang ini. Cari sesuatu yang lebih  tertutup."

Sarah menatap gaun yang dikenakannya melalui cermin. Gaun hitam itu memang terlihat glamor, tapi kenapa Hasan tidak menyukainya.

"Baik," ucap Sarah singkat, lalu berjalan menuju deretan gaun lainnya.

Dengan cepat ia memilih gaun satin berwarna krem dengan lengan panjang dan potongan yang lebih sederhana. Tidak ada aksen mencolok namun tetap terlihat elegan, persis seperti yang Hasan harapkan.

Setelah berganti lagi, Sarah  keluar dan menatap Hasan. "Bagaimana dengan yang ini?"

Hasan mengangguk singkat, tanpa mengucapkan pujian atau komentar lain. "Ayo, kita sudah terlambat."

Mereka keluar butik, Hasan berjalan cepat ke arah mobil. Di dalam mobil, suasana hening menyelimuti lagi. Mesin dinyalakan, dan Hasan melajukan mobil tanpa berkata sepatah kata pun.

Sarah, yang duduk di sampingnya, hanya menatap keluar jendela. Pikirannya melayang, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Ada apa dengan Hasan? Dan kenapa Sarah harus menuruti semua kemauan pria berusia dua puluh tujuh tahun itu.

"Sebenarnya apa maksud dari semua ini tuan? Jujur aku tidak mengerti dan bingung. Pertama anda memintaku membuat jas, kedua pakaian tadi, lalu nanti apa lagi?" Tanya Sarah.

Hasan terdiam sejenak, matanya tetap fokus ke jalan dan tidak lama mobil pun berhenti karena sudah sampai di tujuan. Hasan menoleh ke arah Sarah lalu ia menjawab dengan nada yang lebih tenang, "Karena aku menginginkanmu dan mulai hari ini kau adalah milikku, nona Sarah."

"Tapi, aku tidak menyatakan iya. Anda membuat keputusan sesuka hati!" Protes Sarah, suaranya lembut tapi penuh dengan penolakan.

Hasan tidak merespon, dia turun dari mobilnya lalu berputar dan membuka pintu untuk Sarah.

"Bersikaplah selayaknya nyonya Hasan. Atau kau akan melihat hal yang mengerikan terjadi," bisik Hasan sambil mengulurkan tangannya.

Sarah menyambut uluran tangan itu dengan ragu dan gemetar.

"Ayolah, Sarah. Semua akan baik-baik saja. Hasan tidak seseram dan sejahat yang seperti orang katakan." Bathin Sarah mencoba menenangkan dirinya.

Tempat acara sudah ramai, para tamu undangan yang hadir semua dari kalangan atas. Kebanyakan dari mereka adalah pengusaha.

"Tuan Hasan! Apa aku tidak salah lihat? Tuan Hasan datang bersama seorang gadis? Ini berita besar dan publik harus mengetahuinya." Tutur salah satu tamu undangan.

"Benarkah harus publish? Tapi, sepertinya wanitaku tidak menginginkan itu. Benarkan sayang?" Hasan menatap Sarah dengan lembut.

Sarah hanya tersenyum manis membalas ucapan Hasan.

Malam ini Sarah menjadi pusat perhatian. Setiap bertemu dengan teman Hasan, selalu kata yang sama yang dia dengar. Kehadirannya seolah hujan di tengah kemarau dalam hidup Hasan.

"Sedari tadi kamu diam saja, kamu bosan?" Tanya Hasan. Malam ini kata yang keluar dari mulutnya sangat lembut, berbeda dari biasanya yang kaku dan dingin.

"Tiga jam hanya berdiri dan berbicara tentang bisnis anda. Aku ngantuk dan juga lapar," jawab Sarah jujur tanpa sandiwara.

"Wanitaku lapar? Apa yang ingin kamu makan malam ini? Hem?" Tanya Hasan, lagi-lagi dengan nada lembut.

Sarah berpikir sejenak lalu tersenyum dan membisikkan sesuatu di telinga Hasan.

"Ayo! Makan apapun yang kamu mau," ajak Hasan.

"Benarkah?" Tanya Sarah tak percaya.

"Hmm. Tapi, sebelum pergi aku pamit dulu sama yang punya acara. Tidak sopan jika pergi tanpa berpamitan " kata Hasan dan Sarah pun mengangguk.

Hasan menuntun Sarah keluar dari kerumunan tamu dengan anggun, menuju tuan rumah acara. Mereka disambut dengan senyuman hangat, tetapi Sarah merasa risih karena banyak sorot mata yang  memperhatikan setiap gerakannya. Ini bukan dunia yang biasa ia jalani, semuanya terasa asing.

Setelah beberapa percakapan formal dan perpisahan yang singkat, Hasan dan Sarah keluar dari acara itu. Udara malam yang sejuk langsung menyambut mereka saat melangkah ke parkiran. Hasan membuka pintu mobil untuk Sarah dengan sikap yang begitu tenang lalu masuk ke kursi pengemudi.

Saat mobil melaju, suasana di dalam terasa lebih ringan, seolah-olah Hasan membiarkan topeng kerasnya sedikit longgar. Dia melirik Sarah, lalu berkata dengan nada yang lebih santai, "Tunjukan jalan menuju tempat yang ingin kamu datangi."

Sarah menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis. "Aku sebenarnya hanya ingin sesuatu yang sederhana. Mungkin makanan pinggir jalan atau warung kecil. Kita bisa makan di tempat yang lebih santai," katanya tanpa ragu.

Hasan tampak terkejut sejenak, tapi kemudian tersenyum, sesuatu yang jarang terlihat di wajahnya. "Baiklah, kalau begitu, mari kita cari tempat yang sesuai dengan selera wanitaku malam ini," katanya, kali ini dengan nada lembut yang lebih tulus.

Mereka akhirnya berhenti di sebuah cafe kecil di tepi jalan yang tampak biasa saja, jauh dari restoran mewah yang biasanya Hasan kunjungi. Sarah tersenyum lebar saat melihat tempat itu. Ini adalah cafe yang biasa Sarah kunjungi bersama Rahma dan Ayu.

Di dalam cafe mereka duduk di meja kayu sederhana. Hasan, yang biasanya angkuh dan penuh kontrol, tampak lebih santai. Ia memesan makanan untuk mereka berdua, mengikuti rekomendasi Sarah.

Saat makanan tiba, Hasan memperhatikan Sarah yang tampak begitu menikmati setiap suapan dengan senyum kecil di wajahnya. "Kamu berbeda saat makan," kata Hasan tiba-tiba.

Sarah menoleh, mengangkat alisnya. "Berbeda bagaimana?"

"Terlihat lebih santai dan bebas. Tidak ada beban." jawab Hasan, suaranya pelan, hampir seperti gumaman.

Sarah menatapnya sejenak, "Setiap hari aku merasakan kebebasan, tidak ada yang mengatur dan mengekangku. Aku bebas melakukan apa saja." Ucapnya.

"Itu dulu sebelum anda muncul," gumam Sarah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel