Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

LWL 05

"Tuan Arman!" Seru Sarah saat melihat Arman sudah berada di butik sepagi ini.

"Panggil saja saya Arman, nona " ucap Arman lembut.

"Ada apa? Apa tuan Hasan yang menyuruhmu kemari?" Tanya Sarah.

"Betul, nona. Tuan meminta saya untuk mengawasi pekerjaan nona," jawab Arman.

"Sepagi ini? Saya bisa melakukannya sendiri, tuan. Saya tidak perlu pengawas," tolak Sarah halus.

"Maaf, nona. Saya hanya menjalankan perintah." Tegas Arman.

Sarah mendesah kasar, Hasan membuatnya hampir gila. Semalaman dia tidak bisa tidur karena memikirkan tugas yang Hasan berikan untuknya. Sekarang, pria singa itu malah mengutus orang untuk mengawasi pekerjaannya.

Sarah menarik nafas panjang lalu menghembuskan ya dengan halus. Dia merogoh saku lalu mengambil ponselnya. Dia berniat menghubungi Hasan.

"Tuan Hasan ...." Perkataan Sarah pun terputus.

"Hallo, nona. Saya Andi, asisten tuan Hasan. Tuan Hasan sedang tidak bisa diganggu," suara Andi  dari seberang telpon.

Sarah mematikan ponselnya dan lagi-lagi terdengar desahan nafas yang panjang.

"Ikut aku!" Titah Sarah pada Arman.

Arman mengikuti Sarah dengan langkah tegap, meski wajahnya tetap tenang. Soraya dan Rahma yang sedang sibuk mempersiapkan material di butik memandang mereka dengan penuh penasaran.

"Sarah, ada apa ini?" tanya Soraya dengan pandangan curiga saat melihat Arman.

Sarah menatap Soraya, lalu berkata, "Ini Arman, utusan tuan Hasan. Dia diminta untuk mengawasi pekerjaanku."

Soraya mengerutkan alisnya, tak percaya. "Mengawasi? Hasan tidak pernah bertindak seperti ini sebelumnya. Apa yang sebenarnya dia inginkan?"

"Itulah yang ingin aku ketahui," gumam Sarah sambil melangkah ke ruang kerja di belakang butik. Arman tetap mengikuti tanpa protes, wajahnya dingin dan profesional.

Setelah sampai di ruangan, Sarah menatap Arman, berusaha menenangkan dirinya sebelum bicara.

"Tuan Arman, apa ini benar-benar perlu? Apakah tuan Hasan tidak percaya padaku? Aku bisa menyelesaikan jas itu tanpa dia perlu mengirim pengawas."

Arman tersenyum tipis, tapi masih tetap formal. "Bukan masalah kepercayaan, nona Sarah. Ini lebih tentang memastikan segalanya berjalan sesuai harapan tuan Hasan. Dia sangat perfeksionis."

Sarah menahan kesal, mencoba berpikir rasional. "Baiklah. Kalau begitu, mari kita mulai."

Hari itu berjalan dengan penuh ketegangan. Setiap kali Sarah mulai mengerjakan detail desain jas, dia merasa mata Arman terus mengawasinya dari sudut ruangan. Meski pria itu tidak mengatakan apapun, kehadirannya membuat Sarah semakin tertekan.

Saat malam menjelang, Sarah mulai merasa lelah dan emosinya mulai naik. Dia menatap Arman dengan frustrasi.

"Tuan Arman, apakah ini yang kalian sebut mengawasi? Kamu hanya berdiri di sana, membuatku merasa seperti di penjara!" seru Sarah, suaranya menggambarkan kebingungannya.

Arman tetap tenang, meski kali ini nada bicaranya sedikit melembut. "Nona Sarah, aku hanya menjalankan tugas. Namun, aku mengerti kalau ini terasa tidak nyaman. Tapi percayalah, aku tidak berniat membuatmu tertekan."

"Tidak tertekan?" Sarah tertawa kecil, pahit. " Tuan Hasan memintaku, seorang amatir, untuk membuat jas paling rumit dalam hidupku, dan sekarang kamu di sini mengawasiku seperti aku seorang tahanan!"

Arman terdiam sejenak, lalu mendekat sedikit, menatap Sarah dengan sorot mata yang berbeda—lebih lembut, lebih simpatik. "Nona Sarah, aku tahu ini sulit. Tuan Hasan... dia bukan orang yang mudah. Tapi mungkin ada alasan kenapa dia memilihmu. Mungkin dia melihat sesuatu yang berbeda dalam dirimu yang bahkan kamu sendiri belum sadari."

Sarah terdiam, kata-kata Arman terasa menyentuh hatinya. Dia merasakan ketegangan di dadanya mulai mereda sedikit. "Maksudmu?"

"Tuan Hasan bukan hanya memandang pekerjaan. Dia melihat lebih dari itu. Dia menaruh kepercayaan padamu, dan meskipun caranya... sedikit ekstrem, mungkin ini adalah ujian untukmu," jawab Arman, matanya tetap menatap dalam ke arah Sarah.

Perasaan rumit mulai membuncah dalam hati Sarah. Hasan yang dingin dan keras kepala itu—apakah benar ada sesuatu di balik sikapnya yang memaksa? Apakah ini caranya menunjukkan bahwa dia memperhatikan?

Malam semakin larut, Sarah pun memutuskan untuk pulang. Arman mengantar Sarah hingga ke depan pintu rumahnya, meski Sarah sempat menolak. Namun, karena alasan tugas dari Hasan untuk Arman, akhirnya Sarah pun mau diantar pulang.

Setelah memastikan Sarah aman, Arman pun pamit undur diri.

"Besok saya akan datang lagi," ucap Arman.

"Terserah!" Balas Sarah kesal.

Sarah menatap kepergian Arman dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Arman terus terngiang di kepalanya, membuatnya merenung. Di balik semua tekanan dan ketegangan ini, mungkinkah ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan antara dirinya dan Hasan?

Sarah merasakan lelah di seluruh tubuh dan hatinya. Dia menghempaskan tubuhnya ke kasur lalu tertidur.

Di sisi lain,

"Apa dia sudah pulang?" Tanya Hasan pada Arman yang datang menghadap padanya.

"Sudah, tuan. Saya mengantarnya pulang dan saya pastikan nona aman," jawab Arman.

Hasan mengangguk perlahan, tetapi matanya tampak tidak puas. Dia bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela besar di ruang kerjanya, memandang keluar dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Apa dia terlihat kesulitan?" tanya Hasan tanpa menoleh.

Arman, yang sudah mengenal sikap Hasan dengan baik, berhenti sejenak sebelum menjawab, "Dia terlihat tertekan, Tuan. Nona Sarah tidak terbiasa dengan pekerjaan ini, tapi dia berusaha sebaik mungkin. Namun, saya pikir dia mulai merasa terbebani."

Hasan terdiam sejenak. Tangannya mengepal di belakang punggungnya, lalu dia menghela napas pelan. "Dia harus bisa melewati ini. Dia harus tahu kalau hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan."

Arman menatap punggung Hasan dengan bingung. Ini bukan pertama kalinya dia melihat tuannya bersikap keras pada seseorang, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sesuatu tentang cara Hasan berbicara tentang Sarah terasa lebih pribadi.

"Apakah ada hal lain yang harus saya ketahui, Tuan?" tanya Arman dengan hati-hati.

Hasan berpaling dari jendela, menatap Arman dengan tajam. "Tidak. Kembali ke tugasmu. Pastikan Sarah tetap di jalurnya. Dia harus menyelesaikan jas itu tepat waktu."

Arman mengangguk dan segera pergi, meninggalkan Hasan sendirian dalam ruangannya yang sunyi. Hasan berjalan perlahan kembali ke mejanya, duduk, dan memandang ke arah ponselnya. Jemarinya bergerak, mengetik sebuah pesan singkat, tetapi kemudian dia berhenti, tidak jadi mengirimkannya.

Di kamar Sarah, malam semakin larut, dan meskipun tubuhnya lelah, pikirannya terus berputar. Dia bermimpi tentang jas yang harus dia buat, tentang Hasan yang terus-menerus menekan dan mengawasinya. Di dalam mimpinya, Hasan mendekat padanya, namun bukan dengan sikap dingin yang biasa. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang lembut, namun Sarah tidak bisa memahaminya.

Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Meski dalam keadaan setengah sadar, Sarah mengulurkan tangan untuk meraihnya. Di layar ponsel, sebuah pesan dari nomor tak dikenal muncul.

"Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan. Jangan menyerah."

Sarah menatap pesan itu dengan kebingungan. Dia tidak tahu siapa pengirimnya, tetapi entah kenapa, kata-kata itu terasa familiar, seolah-olah berasal dari seseorang yang sangat dekat.

"Hasan?" gumamnya pelan, lalu ia terdiam. Sisi hatinya yang selama ini tertutup mulai terbuka, mencoba memahami maksud dari semua ini. Mungkinkah di balik semua tekanan dan kekerasan Hasan, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel