Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

LWL 04

Sarah kembali ke butik dengan wajah lesu. Soraya dan Rahma yang sedari tadi menunggunya langsung menyambut kedatangan Sarah.

"Apa yang terjadi? Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Soraya.

Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab. Wajahnya masih memancarkan kebingungan, ketegangan, dan kelelahan setelah pertemuannya dengan Hasan. Soraya dan Rahma langsung menangkap perubahan pada dirinya.

"Aku... tidak tahu harus mulai dari mana," ujar Sarah sambil menatap Soraya dan Rahma dengan tatapan lelah. "Tuan Hasan... dia memintaku untuk merancang dan membuat jasnya sendiri, selesai dalam waktu seminggu."

Soraya dan Rahma terkejut. Mereka saling bertukar pandang, jelas sekali mereka tak menyangka permintaan Hasan akan seintimidasi ini.

"Merancang sendiri? Tapi... itu bukan bidangmu, Sarah!" Soraya berkata dengan nada khawatir. "Dia memaksamu?"

Sarah mengangguk perlahan. "Aku sudah bilang padanya kalau aku tidak punya keahlian untuk itu. Tapi dia tidak peduli. Hasan... dia...," Sarah berhenti, mencoba merangkai kata yang tepat untuk menggambarkan betapa kuat tekanan yang dirasakannya. "Dia bilang, dia percaya padaku, tapi aku tahu ini lebih seperti ujian. Jika aku gagal... aku takut dia akan menghancurkan butik ini."

Rahma terperangah. "Ini gila! Bagaimana mungkin dia mengharapkan sesuatu seperti itu dari kamu?"

Soraya mendekati Sarah dan merangkulnya. "Tenang, Sarah. Kita akan mencari jalan keluarnya bersama. Kita tidak akan membiarkan kamu menghadapi ini sendirian."

Sarah menggelengkan kepala. "Buk Soraya, aku benar-benar takut. Hasan bukan orang biasa. Dia punya kekuasaan dan pengaruh. Jika aku mengecewakannya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi."

Soraya terdiam sejenak, merenung. Dia tahu reputasi Hasan sebagai seseorang yang kejam dalam bisnis, tetapi permintaan ini terasa sangat pribadi, dan anehnya, ada sesuatu yang lebih mendalam dalam situasi ini.

"Sarah, apa kamu yakin ini hanya tentang jas? Mungkin ada alasan lain kenapa Hasan begitu memaksa?" tanya Soraya, menatap Sarah dengan rasa penasaran.

Sarah teringat tatapan Hasan yang tajam dan caranya memperlakukannya. Ada sesuatu di balik kekuatan dan intimidasi itu. Kenapa aku? Kenapa dia memilihku? pikir Sarah. Namun, dia tidak bisa menemukan jawabannya.

"Aku tidak tahu, buk. Aku merasa seperti terjebak dalam permainan yang aku sendiri tidak mengerti."

Soraya menarik napas panjang dan berkata, "Kita harus bersiap. Jika Hasan mau kamu yang menyelesaikan ini, kita akan membantu semampu kita. Kita punya tim, kita punya sumber daya. Kita akan memastikan kamu tidak sendirian menghadapinya."

Rahma menimpali, "Iya, Sarah. Kita akan lembur jika perlu. Kita tidak akan membiarkan kamu terjebak sendirian dalam masalah ini."

Meski masih merasa tegang, ada sedikit kelegaan yang muncul di hati Sarah. Aku tidak sendiri, pikirnya. Namun, ketakutan tentang apa yang akan terjadi jika dia gagal masih menghantui pikirannya.

"Baiklah," ujar Sarah akhirnya, meski suaranya masih penuh kekhawatiran. "Kita mulai sekarang. Waktu kita tidak banyak."

Soraya, Rahma, dan Sarah kemudian memulai perencanaan. Mereka menyusun konsep jas yang Hasan minta, memeriksa setiap detail desain, material yang digunakan, hingga teknik pembuatan. Meskipun Sarah belum pernah merancang pakaian sebelumnya, Soraya dan timnya bertekad untuk membimbing dan mendukungnya.

Namun, belum selesai dengan itu semua, ponsel Sarah berdering. Nama Hasan tertera di layar ponsel milik Sarah.

"Sarah, ingat! Aku ingin kamu yang merancang dan menjahit jas itu!" Tegas Hasan dari seberang telpon. Seakan dia tahu jika Soraya dan Rahma sedang membantunya.

"Aku tahu," ucap Sarah Lirih.

"Kerjakan dengan baik! Aku menunggu!" Panggilan pun terputus.

Sarah menggenggam ponselnya erat-erat, matanya menatap kosong ke layar yang baru saja memunculkan nama Hasan. Soraya dan Rahma, yang berdiri di dekatnya, merasakan ketegangan yang menguasai ruangan setelah panggilan itu berakhir.

"Apa yang dia katakan?" tanya Soraya, suaranya penuh kekhawatiran.

"Dia ingin aku yang merancang dan menjahit jas itu. Tidak ada orang lain," jawab Sarah pelan, hampir seperti bisikan. Soraya dan Rahma terkejut, tak menduga bahwa Hasan bisa sedetail itu dalam mengawasi setiap langkah mereka.

"Ini gila. Apa dia mengawasimu dari kejauhan?" gumam Rahma sambil menggeleng tak percaya.

Soraya meremas pundak Sarah dengan lembut. "Kamu harus kuat, Sarah. Jika Hasan menginginkan kamu yang menyelesaikan jas itu sendiri, berarti dia memang ingin sesuatu darimu. Tapi kita tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian."

Sarah mencoba menenangkan diri, tapi ketegangan semakin menumpuk. Perasaan terjebak semakin kuat, seolah-olah Hasan sedang memainkan permainan yang hanya dia sendiri yang tahu aturannya. Apakah dia benar-benar menginginkan jas itu, atau ada sesuatu yang lain?

Malam semakin larut, namun pekerjaan di butik Soraya belum juga berhenti. Meski Sarah berusaha keras untuk fokus pada desain, pikirannya terus melayang kepada Hasan. Panggilan itu membuat semuanya terasa lebih rumit dan membingungkan.

Tiba-tiba, ponsel Sarah kembali berdering, dan kali ini pesan singkat muncul.

"Ingat, Sarah. Hanya kamu yang aku mau. Jangan biarkan orang lain ikut campur."

Sarah merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ada nada perintah dalam pesan itu, tetapi juga sesuatu yang lain. Apakah Hasan sedang menguji dirinya? Atau apakah ini lebih dari sekadar urusan pekerjaan?

"Sarah, kamu terlihat sangat tegang. Ada apa lagi?" tanya Soraya, melihat ekspresi cemas di wajah Sarah.

Sarah menunjukkan pesan itu pada Soraya, yang membacanya dengan mata melebar. "Ini... lebih dari sekadar pekerjaan, Sarah. Aku pikir Hasan memperhatikanmu dengan cara yang berbeda."

Sarah mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kata-kata Soraya. "Apa maksudmu? Dia hanya klien yang menginginkan pesanan selesai dengan sempurna."

"Tidak, Sarah," kata Soraya dengan serius. "Laki-laki seperti Hasan tidak bertindak sejauh ini hanya untuk sebuah jas. Ada sesuatu tentang dirimu yang menarik perhatiannya."

Rahma, yang mendengarkan, menambahkan, "Aku setuju. Dia bisa menyuruh desainer manapun untuk menyelesaikan jas itu. Tapi kenapa dia bersikeras kamu yang melakukannya? Mungkin dia melihat sesuatu yang spesial dalam dirimu."

Sarah terdiam, merenungkan kata-kata mereka. Bisa jadi benar, tapi sulit baginya untuk menerima kenyataan itu. Hasan tertarik padaku? Itu tidak mungkin... atau mungkin?

Dengan perasaan campur aduk, Sarah memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun, perasaan Hasan yang terus mengawasi membuat semuanya semakin sulit. Setiap benang yang ia jahit terasa seperti tali yang semakin mengikatnya pada pria misterius itu.

Semakin larut malam, semakin Sarah tenggelam dalam pikirannya. Dia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa Hasan sedang menguji dirinya, bukan hanya soal kemampuan menjahit, tapi sesuatu yang jauh lebih dalam.

Dan di balik itu semua, ada ketegangan yang semakin menebal. Hasrat tak terucapkan yang mulai muncul di antara ketakutan dan ketidakpastian.

Esoknya, Sarah kembali terjaga dengan ponselnya yang bergetar di samping tempat tidur. Satu pesan singkat lagi dari Hasan.

"Kita akan bertemu lagi. Pastikan jas itu sempurna, Sarah."

Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang membuat Sarah merasa jantungnya berdebar lebih cepat, bukan hanya karena takut, tetapi juga karena sesuatu yang lain... sesuatu yang tidak ingin ia akui.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel