Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

LWL 03

Hari berlalu dengan cepat. Sarah kembali ke rutinitasnya di butik, namun dia tidak bisa sepenuhnya melupakan pertemuan dengan Hasan. Pikirannya terus terganggu oleh kemungkinan yang mungkin muncul dari tawaran Hasan. Bagaimana jika Hasan kembali? Bagaimana jika tawaran itu sebenarnya bukan tentang dunia desain, tapi sesuatu yang lebih gelap?

Suatu malam, saat Sarah sedang bersiap untuk pulang, ponselnya berbunyi. Nomor tanpa nama tertera di layar. Jantungnya berdegup kencang. Dia ragu sejenak, namun akhirnya mengangkatnya.

"Halo?" suara Sarah terdengar pelan.

"Selamat malam, Sarah," suara berat Hasan terdengar di seberang. "Bagaimana kabarmu? Apa kamu ingat suaraku?"

Sarah tidak tahu harus merespons apa. "Baik, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"

Hasan tertawa kecil. "Santai saja. Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu sudah menerima pembayaran dan bonus yang dijanjikan."

Sarah memeriksa saldo rekeningnya dengan cepat dan menemukan bahwa jumlah yang ditransfer sangat besar, jauh melebihi yang dia harapkan. "Sudah, Tuan. Terima kasih banyak."

"Bagus. Aku senang mendengarnya." Hasan terdiam sejenak, sebelum melanjutkan, "Aku akan mengirimkan seseorang untuk bertemu denganmu. Ada sebuah proyek baru yang mungkin bisa menarik perhatianmu."

Sarah terdiam. Proyek? Tapi dia bukan seorang desainer. "Proyek apa, Tuan?"

"Kamu akan tahu nanti. Orangku akan menjemputmu besok pagi. Bersiaplah." Hasan menutup telepon tanpa memberi ruang untuk pertanyaan lebih lanjut.

Sarah menatap ponselnya dengan bingung. Apa ini? Apa yang sebenarnya Hasan inginkan? pikirnya. Hatinya berdebar-debar antara rasa penasaran dan kecemasan.

Malam itu, Sarah tidak bisa tidur nyenyak, memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Hasan memang seorang yang menakutkan, tapi dia juga memiliki kekuatan yang sulit ditolak. Mungkinkah ini kesempatan yang bisa mengubah hidupnya? Atau mungkin ini jebakan yang bisa membawanya ke dalam masalah besar?

---

Keesokan paginya, sebuah mobil hitam mengilap berhenti di depan butik Soraya. Seorang pria berpakaian rapi keluar dari mobil dan melangkah ke dalam butik.

"Nona Sarah?" tanyanya dengan sopan.

Sarah mengangguk ragu. "Saya Sarah."

"Nama saya Arman. Saya diutus oleh Tuan Hasan untuk menjemput Anda. Dia sudah menunggu."

Sarah menelan ludah, lalu mengangguk. Dia berpamitan pada Soraya dan Rahma yang menatapnya dengan penuh tanya, sebelum masuk ke dalam mobil itu.

Perjalanan terasa sunyi. Arman tidak banyak bicara, hanya fokus pada jalan. Mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah gedung tinggi yang mewah. Sarah mengenali tempat itu—kantor pusat Edelweis Group, perusahaan milik Hasan.

Setelah memasuki gedung, Arman mengantarnya ke ruang pertemuan yang besar. Di sana, Hasan sudah menunggu, duduk di salah satu kursi dengan ekspresi tenang.

"Selamat datang, Sarah," kata Hasan sambil tersenyum tipis. "Aku senang kamu datang."

Sarah duduk dengan gugup. "Tuan Hasan, bisa tolong jelaskan proyek ini? Saya masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi."

Hasan menatapnya dengan intens. "Ini bukan sekadar proyek biasa, Sarah. Ini adalah kesempatan untukmu memasuki dunia yang lebih besar. Aku melihat potensimu. Kamu punya insting yang tajam dan kemampuan untuk membaca situasi. Itu lebih berharga daripada sekadar kemampuan teknis. Aku ingin kamu merancang satu jas untukku. Minggu depan saudaraku akan menikah dan aku ingin memakai jas buatanmu."

Sarah terkejut. " Tapi, saya bukan ahli dalam pembuatan jas atau desain."

"Aku tidak peduli kamu ahli atau bukan.  Yang aku mau, jas itu selesai pekan depan dan tanganmu sendiri yang merancang dan membuatnya." Tegas Hasan.

Sarah merasakan dadanya berdebar kencang. Mata Hasan yang tajam menatapnya tanpa memberi ruang untuk penolakan. Kenapa dia memaksa aku? pikir Sarah, cemas sekaligus bingung. Seluruh situasi ini semakin tak masuk akal. Hasan, pria dengan kekuasaan dan pengaruh besar, meminta dia—seorang pegawai biasa—untuk merancang jas yang harus selesai dalam seminggu.

"Tuan Hasan, saya benar-benar tidak punya keahlian dalam membuat desain atau menjahit jas," ujar Sarah, suaranya mulai bergetar. Namun, dia tahu Hasan bukan tipe orang yang menerima penolakan dengan mudah.

Hasan mendekat, berdiri tepat di hadapan Sarah. Tangannya menyentuh meja, membuat jarak mereka semakin dekat. "Sarah," suaranya pelan namun penuh intensitas. "Aku tidak pernah meminta hal yang mustahil dari seseorang. Kamu bisa melakukannya. Aku melihat potensi dalam dirimu yang bahkan kamu sendiri belum sadari."

Jantung Sarah semakin berdebar kencang. Ada sesuatu dalam suara Hasan—campuran antara ancaman dan kepercayaan—yang membuatnya tidak bisa menolak. Tapi kenapa aku? pikir Sarah dalam hatinya.

"Aku akan memberimu semua apa yang kamu butuhkan. Tim terbaik, material terbaik, apa pun itu. Tapi jas itu harus selesai oleh tanganmu. Kalau tidak..." Hasan berhenti sejenak, tatapan matanya semakin tajam. "Kamu tahu aku tidak suka dikecewakan."

Perut Sarah terasa melilit. Ini bukan sekadar proyek biasa. Tugas ini lebih seperti ujian atau mungkin jebakan. Namun, di balik ketegangan itu, Sarah merasakan sesuatu yang aneh. Ada ketertarikan yang mengganggu di balik sikap dingin dan dominasi Hasan.

"Tuan, mengapa saya? Di luar sana ada banyak desainer berbakat yang bisa melakukan ini lebih baik dari saya," Sarah mencoba mencari alasan.

Hasan tersenyum tipis. "Mereka tidak menarik perhatianku. Kamu berbeda. Kamu membuatku penasaran."

Kata-kata Hasan membuat darah Sarah naik ke wajahnya. Ini bukan lagi tentang pekerjaan, ini lebih personal. Dan semakin dia mencoba memahami alasan Hasan, semakin dia terperangkap dalam aura pria itu. Ada magnetisme yang tak bisa diabaikan, meski dia tahu betapa berbahayanya pria ini.

Hasan kemudian mendekat lebih lagi, jaraknya hanya beberapa inci dari wajah Sarah. Tangannya terulur, menyentuh rambut Sarah yang tergerai di bahunya. "Kamu takut padaku?" bisik Hasan dengan suara yang rendah namun mendebarkan.

Sarah menahan napas, tubuhnya tegang. Tapi dia menatap balik ke mata Hasan, berusaha tidak menunjukkan kelemahan. "Saya... tidak tahu apa yang harus saya katakan, Tuan."

Hasan tersenyum samar, wajahnya semakin dekat hingga Sarah bisa merasakan napasnya di kulitnya. "Bagus. Jangan katakan apa-apa. Buktikan saja bahwa kamu bisa melakukannya."

Mata Sarah bertemu dengan tatapan Hasan. Di sana ada ketegangan yang tak terucapkan, dan di baliknya, ada sesuatu yang lebih dalam. Mungkin itu keinginan atau kekuatan tarik yang tidak bisa ditolak. Tapi sebelum Sarah bisa menjawab, Hasan melangkah mundur, memberi ruang di antara mereka.

"Kamu punya waktu seminggu. Jangan kecewakan aku, Sarah," ucap Hasan, suaranya kembali tegas dan dingin.

Sarah hanya bisa mengangguk. Di dalam dirinya, ada perasaan yang saling bertolak belakang—takut, tertekan, tapi juga penasaran. Dia tidak tahu bagaimana dia akan menyelesaikan ini, tapi satu hal yang pasti: Hasan telah menaruh kepercayaan yang aneh padanya, dan itu membuat Sarah tak punya pilihan selain mengikuti permainan yang baru saja dimulai.

Hasan kemudian berbalik dan pergi, meninggalkan Sarah sendirian dengan pikiran yang kacau dan hati yang masih berdegup kencang. Apa yang sebenarnya diinginkan pria ini dari aku?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel