Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

LWL 02

Saat malam semakin larut, suasana di butik Soraya mulai sunyi. Hanya ada suara mesin jahit yang terus berdengung, menunjukkan kesibukan Joni dan timnya yang berusaha keras menyelesaikan pesanan Hasan tepat waktu. Sarah masih sibuk berkoordinasi, mengarahkan tim produksi agar hasilnya sesuai dengan keinginan Hasan. Dia tahu betul bahwa Hasan bukan orang yang mudah memaafkan kesalahan.

“Aku butuh kopi,” keluh Joni, mengusap matanya yang lelah. Rahma dan Ayu yang duduk di sudut ruangan mengangguk setuju. Mereka berdua terpaksa ikut lembur juga.

“Tunggu, aku akan membelikannya,” kata Sarah sambil berdiri, merasa butuh udara segar. Namun, begitu dia membuka pintu untuk pergi, sebuah sosok yang tidak diharapkan muncul di depan butik.

"Sarah, kamu tidak pulang dan tidur?" Tanya suara berat yang langsung membuat Sarah tertegun.

Hasan berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitamnya yang elegan, meski malam sudah larut. Matanya menatap tajam ke arah Sarah. "Kamu bilang semuanya akan selesai. Aku hanya ingin memastikan."

Sarah menelan ludah. Hasan datang lebih awal dari yang dia perkirakan. "Kami sedang lembur, Tuan Hasan. Pekerjaan hampir selesai, tapi masih ada beberapa detail yang harus disempurnakan."

Hasan masuk ke dalam butik tanpa diundang, melihat sekeliling dengan tatapan menilai. Semua yang ada di ruangan berhenti bekerja dan menatap Hasan dengan waspada. Joni bahkan terlihat pucat, seolah baru saja bertemu malaikat maut.

Hasan berjalan ke meja kerja, melihat potongan kain dan pola yang sedang dikerjakan. "Aku ingin semuanya sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan."

Soraya yang sejak tadi ada di ruang kerjanya, tiba-tiba muncul. "Tuan Hasan, saya jamin Anda akan mendapatkan apa yang diinginkan. Kami sudah mengerahkan segala upaya."

Hasan menoleh ke arah Soraya, matanya menyipit. "Sudah sering aku dengar janji seperti itu, nona Soraya. Namun, jarang ada yang benar-benar bisa memenuhinya."

Soraya tersenyum tenang, meskipun dia tahu betapa berbahayanya jika Hasan kecewa. "Percayalah, Tuan Hasan. Butik ini tidak akan mengecewakan Anda."

Hasan menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk singkat. "Baik. Aku akan kembali besok malam. Pastikan semuanya sudah siap."

Tanpa menunggu jawaban, Hasan keluar dari butik dengan langkah mantap, meninggalkan suasana yang penuh ketegangan di dalam. Begitu pintu butik tertutup, semua orang di ruangan itu menarik napas panjang.

“Kita tidak punya banyak waktu,” kata Soraya serius. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi Hasan tampaknya lebih seram dari biasanya. Kita tidak bisa membuat kesalahan."

Semua orang kembali bekerja dengan kecepatan dua kali lipat. Sarah, meskipun merasa lelah, tetap ikut membantu Joni dan tim produksi menyelesaikan pesanan.

Pagi menjelang, Sarah yang tadinya hanya berniat membantu sebentar, akhirnya tertidur di sofa ruang produksi. Saat matahari mulai terbit, Soraya datang dan menepuk bahu Sarah dengan lembut. "Bangun, Sarah. Kita harus menyelesaikan tahap terakhir."

Sarah mengusap wajahnya dan melihat hasil kerja keras tim selama semalam. Setiap jahitan, setiap detail, semuanya terlihat sempurna. Bahkan Joni, yang awalnya ragu, terlihat puas dengan hasilnya.

“Ini benar-benar karya terbaik kita,” kata Joni dengan bangga. "Tapi, apakah ini cukup untuk memuaskan si singa?"

Soraya tersenyum tipis. “Kita akan tahu jawabannya nanti malam.”

---

Saat malam tiba, Hasan kembali ke butik. Dia disambut oleh Sarah dan Soraya yang sudah menyiapkan presentasi pesanan terakhirnya. Hasan memeriksa pakaian yang telah dipesan, mengelus bahannya dengan tangan, dan memperhatikan detail jahitannya. Soraya menunggu dengan cemas, sementara Sarah mencoba tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang.

Setelah beberapa saat, Hasan mengangguk perlahan. "Ini sempurna. Lebih baik dari yang aku harapkan."

Soraya dan Sarah akhirnya bisa bernapas lega, tetapi kemudian Hasan berkata dengan nada datar, "Tapi ini bukan akhir dari urusan kita."

Sarah menatap Hasan dengan bingung. "Maksud Anda, Tuan Hasan?"

Hasan menoleh ke arah Sarah dengan senyum tipis. "Kamu, Sarah, sepertinya lebih dari sekadar pekerja di butik ini. Kamu yang memahami apa yang aku inginkan, dan kamu bisa menyelesaikan semuanya dengan baik. Aku tertarik padamu."

Kata-kata Hasan menggantung di udara. Semua orang di butik, termasuk Soraya, menatap Hasan dengan kaget.

"Kamu bekerja untuk Soraya dan aku mau kamu yang memegang setiap kali aku memesan pakaian." Pinta Hasan.

Sarah terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Soraya menatapnya dengan campuran keterkejutan dan kekhawatiran. Hasan bukan orang yang mudah didekati, dan tawaran ini lebih dari sekadar pekerjaan.

"Apa kamu tertarik?" Hasan menatapnya tajam, menunggu jawabannya.

Sarah merasa dunia di sekitarnya seakan berhenti sejenak, dan dia harus memutuskan—menolak dan hancur, atau masuk ke dunia Hasan yang penuh kekuasaan dan risiko tinggi?

"Tapi, tuan. Ini bukan di bidang saja." Tolak Sarah lembut, dia takut jika penolakannya menyinggung Hasan.

"Sarah!" Seru Soraya dan Joni bersamaan.

Hasan mengangkat tangannya, meminta agar Soraya dan Joni tidak menghakimi Sarah.

"Tidak apa-apa, nona Soraya. Dia punya hak untuk menolak. Bukan begitu Sarah?" Tanya Hasan.

"Maaf, tuan, jika perkataan saya menyinggung tuan. Tapi, ini memang bukan bidang saya. Saya sama sekali tidak paham akan dunia desainer atau semacamnya. Saya hanya tamatan sekolah menengah. Saya tersanjung karena tuan percaya pada saya. Bukan saya menolak, saya hanya takut akan membuat kesalahan di kemudian hari." Jelas Sarah.

"Hemm, penjelasan yang bagus. Aku suka," ucap Hasan sembari mengitari Sarah.

Hasan mengeluarkan ponselnya lalu menyerahkan pada Sarah.

"Apa ini, tuan?" Tanya Sarah yang belum mengerti maksud dan tujuan Hasan.

"Catat nomor ponselmu!" Jawab Hasan yang lebih terdengar seperti sebuah kata perintah.

Sarah mengetikan nomor ponselnya dengan cepat lalu mengembalikan ponsel itu pada Hasan.

"Nona Soraya, aku akan mentransfer uang pembayaran beserta bonusnya!" Ucap Hasan lalu pergi diiringi oleh Andi.

Begitu Hasan pergi, suasana di butik terasa seolah-olah badai baru saja berlalu. Sarah menarik napas panjang, merasa lega meski ada ketegangan yang tersisa di udara. Soraya menatap Sarah dengan tatapan yang sulit dibaca, campuran antara keterkejutan dan kebanggaan.

"Sarah, kamu tahu apa yang baru saja kamu lakukan?" tanya Soraya dengan nada serius.

Sarah menggeleng pelan. "Aku hanya mencoba menjelaskan dengan sopan, Bu."

Soraya tersenyum kecil, namun matanya masih menunjukkan kekhawatiran. "Hasan bukan tipe orang yang mendengar kata 'tidak' begitu saja, apalagi dari seseorang yang baru dia temui. Tapi, kamu menanganinya dengan sangat baik. Tidak semua orang bisa berbicara seperti itu di hadapannya."

Joni yang sedari tadi terdiam, akhirnya ikut angkat bicara. "Sarah, kamu benar-benar luar biasa. Aku kira tadi kita semua akan berakhir jadi masalah besar."

Sarah tersenyum malu. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."

Namun, di balik wajah tenangnya, pikiran Sarah berkecamuk. Dia tidak bisa mengabaikan tatapan tajam dan aura dominan Hasan. Pria itu punya kekuasaan yang menakutkan, dan kini dia menyimpan nomor teleponnya. Ada perasaan tidak nyaman yang menggelayuti Sarah, meski dia tidak tahu apakah itu karena takut atau sesuatu yang lain.

Soraya kemudian berkata, "Bagaimana pun juga, ini belum selesai. Hasan tidak memberi tawaran tanpa alasan. Aku tidak tahu apa yang dia rencanakan, tapi kamu harus hati-hati, Sarah."

Sarah mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. Apakah aku sudah membuat keputusan yang benar? pikirnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel