Bab 4: Bagaikan Matahari Dan Bulan
Sore itu, setelah membasuh tubuh Ibuku, aku menghampiri Ayah. Ayah berjanji akan menaikkan layang-layang di langit untukku. Kata Ayah, hari ini tidak akan hujan karena malaikat selalu memberi hadiah untuk anak-anak baik. Anak-anak yang selalu menyayangi orang tuanya dan mau menuruti kata orang tuanya. Meski aku sudah duduk dibangku sekolah SMP aku masih suka bermain layang-layang. Kata Roni, aku perempuan tomboy karena selalu suka permainan laki-laki; layang–layang, kelereng dan juga basket.
"Ada layangan putus!" teriak seorang anak lelaki tiba-tiba. Aku langsung menengadah ke langit, mencari di setiap sudut langit biru di mana layang-layang putus itu berada. Ada layang-layang kupu-kupu besar yang indah dengan corak berwarna ungu dan merah jambu. Layang-layang itu bagaikan kupu-kupu raksasa yang terbang bebas di langit. Beberapa anak lelaki berebutan mengejarnya, aku tak ingin kalah, kuserahkan tali layang-layangku kepada Ayah. Ayah buru-buru menerimanya dengan terpaksa. Aku berlari bersama segerombolan anak laki-laki seusiaku. Mengejarnya.
Lihatlah indahnya layang-layang yang bebas itu. Mereka bebas setelah berhasil kalah dari lawannya. Terkadang, kekalahan itu bukan selalu berarti suatu yang buruk. Kekalahan sendiri menurutku adalah fase di mana seseorang mutlak menjadi pemenang sejati di waktu yang tepat. Seperti ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.
"Mia, berhenti! Jangan dikejar!" perintah Ayah, namun tak kuhiraukan. Aku selalu terpukau dengan keindahan layang-layang besar dan selalu ingin memilikinya. Kali ini Tuhan mungkin mengijinkanku memilikinya tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Aku menguatkan langkah kakiku. Beberapa teman lelakiku bersorak sorai melihatku berlari kencang dan gesit. Aku memang selalu juara dalam olah raga lari. Bagaimana tidak? Setiap hari untuk bersekolah saja aku harus berlari, karena jika tidak, aku akan terlambat masuk ke sekolah dan ayah tak menginginkan hal itu. Kata Ayah aku harus mengejar mimpiku meski itu susah dan berat. Dan impianku sangat sederhana, aku ingin membuat Ibuku sembuh lalu memelukku dan Kak Abby bersama-sama.
"Mia!! Awas!!!" teriak salah satu temanku. Aku berhenti dan menatap dengan terkejut saat sebuah mobil hitam melaju ke arahku. Kakiku terasa kaku dan lampu mobil itu bergerak-gerak seolah menyuruhku segera pergi. Aku menutup mataku seketika saat keterkejutanku benar-benar membius kakiku. Aku tak bisa menggerakkan kakiku sama sekali meski bunyi klakson itu berbunyi dengan sangat nyaring.
"Ciiittttttttttttttttt" Suara rem itu nyaring sekali. Untuk sepersekian detik aku tak merasakan apapun. Seharusnya jika menggunakan rumus matematika dan kecepatan mobil itu-aku menghitungnya dalam otakku- hanya butuh waktu tujuh detik saja aku tertabrak mobil. Tetapi, aku sudah menutup mata dan wajahku dengan kedua tanganku lebih dari sepuluh detik.
"Nak, kau baik-baik saja?" tanya seseorang. Sepertinya suara itu sangat dekat. Aku masih takut kalau-kalau aku membuka mata, aku sudah berada di surga. "Nak ... " panggil suara itu kembali, suaranya agak berat dan kali ini sambil menggoyangkan bahuku. Mungkin, aku memang masih hidup, pikirku singkat.
Perlahan aku melepas tanganku dan membuka mataku. Hal pertama yang kutangkap adalah wajah cemas teman-temanku di seberang dan beberapa kendaraan yang berjalan pelan sembari melihatku dengan tatapan mereka yang rata-rata sama; tidak habis pikir. Aku menengadahkan kepalaku, menatap seseorang yang menyebutku 'Nak', wajahnya tak terlihat karena sinar matahari yang bersinar di belakangnya.
"Papa ... " Suara lembut itu memecahkan keheningan diantara aku dan pria paruh baya di hadapanku. Aku menoleh ke arah dari mana suara itu berasal dan tercengang kaget ketika aku melihat diriku yang lain sedang berdiri di dekat mobil mewah dengan membawa boneka beruang cokelat. Aku memandangnya heran. Kali ini aku benar-benar yakin bahwa aku sudah meninggal! Gadis yang ada di hadapanku adalah diriku, dan aku adalah arwah!
Aku lalu menangis histeris menyadari bahwasannya aku sudah meninggal. Pria paruh baya di hadapanku semakin terlihat bingung. Aku sangat yakin bahwa pria paruh baya itu adalah malaikat pencabut nyawa yang akan membawaku pergi dari sini.
Seluruh temanku menghampiriku, mereka berusaha menenangkanku. Aku menatap mereka heran. Bagaimana bisa mereka melihat diriku? Melihat arwah? Apa mereka juga sudah mati seperti diriku? Mungkinkah mereka juga tertabrak gara-gara aku? Aku semakin menangis dan sedih memikirkan nasib teman-temanku. Aku mengutuki diriku sendiri, menyesali perbuatanku dan layang-layang putus itu, juga nasehat Ayah yang kuabaikan.
"Mia ... Ada apa?" tanya Faisal cemas. Anak muda gemuk itu selalu mengusiliku saat kami belajar mengaji. Kini wajahnya terlihat sangat takut dan khawatir sama seperti ketika ia akan dihukum oleh Ibu guru Maya. "Kau terluka? Kenapa kau nangis kencang sekali?" tanyanya sekali lagi seraya mengucek telinganya. Apa dia tidak mengerti kalau aku dan dia sudah meninggal? Dua orang temanku yang lain juga menanyakan hal yang sama padaku. Mereka bingung dengan tangisanku.
"Gimana kalian ini?! Apa kalian gak sedih karena telah mati?!" kataku kesal seraya mengusap air mataku.
"Hah?!" kata mereka bersamaan. Mereka saling pandang heran dan tak mengerti. "Siapa yang mati, Mia?" tanya Ferry padaku tak mengerti. Aku tidak menyangka dalam urusan kematian daya tangkapnya juga lamban. Ferry adalah temanku yang paling lola dalam mengerti suatu perkara. Jika seumpama kami merencanakan untuk bermain bola sepak maka ia akan menyediakan bola basket.
"Iya, Mia! siapa yang telah mati?" tanya Rio padaku. Aku juga tidak menyangka bahwa Rio juga tidak menyadari kalau dirinya telah meninggal. Sungguh kasihan ibunya, kini ibunya harus tinggal sendiri di rumah karena Rio telah mati bersamaku. Aku semakin menangis memikirkan ibu Rio yang selama ini telah baik padaku. Aku menyesal karena diriku, semua temanku juga ikut mati.
Aku menoleh ke arah pria paruh baya yang menatapku bingung.
"Pak malaikat, bawa aku pergi sekarang ke surga ... " pintaku kepadanya.
"Apa?" sontak temanku semuanya kaget mendengarku. Kemudian mereka tertawa terbahak-bahak.
"Apa yang kau katakan, nak?" tanya bapak malaikat itu kepadaku.
"Bukankah aku telah ..."
"Papa ... " Gadis yang mirip denganku itu meraih tangan bapak malaikat di hadapanku. Ia memandang bapak malaikat setelah memandangku penuh ragu. Semua temanku berhenti tertawa dan menatap gadis yang mirip denganku itu dengan wajah kaget dan bingung.
Mereka gantian menantapku dan gadis itu dengan tatapan seolah tak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Mereka heran, aku tidak, karena aku sadar aku telah mati, ya, aku telah mati! Tapi ... tunggu! Kapan aku naik mobil mewah? Bukankah aku sedang berlari mengejar layang-layang? Dan kenapa gadis itu memanggil pria paruh baya yang mengenakan jas hitam dengan sebutan Papa? Bukankah dia bapak malaikat? Lagi pula, ayahku tidak setampan dia! Aku mengamati bapak malaikat itu dari atas ke bawah. Aku bingung.
"Apa kalian kembar?" tanya Faisal tiba-tiba. Ia menunjuk dan menatap kami baik-baik.
"Mia!!!!" panggil seseorang lantang. Ayahku sedang berlari menuju diriku. Dan kalimat pertama yang melintas di benakku adalah aku masih hidup karena ayahku tidak mungkin mati dengan teriakannya yang mengundang seluruh tatapan orang-orang di sekitarku.
"Faisal, coba kau cubit pipiku!" pintaku kepada Faisal yang masih bingung menatapku dan gadis yang mirip denganku itu. Serta merta ia mendaratkan tangannya dan menyubit pipiku dengan keras sekali hingga aku menjerit kencang dan memukulnya. "Faisal! Sakit!" ujarku marah padanya seraya mengelus-ngelus pipiku. Sekarang aku benar-benar yakin kalau aku memang masih hidup.
"Nak, kau baik-baik saja?" tanya Ayah cemas sesampainya beliau di hadapanku. Ia meraih tubuhku dan memeriksanya baik-baik.
"Pak Rendy?" panggil bapak malaikat itu kepada ayahku. Ayahku menoleh dan terkejut saat mengetahui siapa yang memanggilnya. Ia memutar bola matanya dan mendapati gadis yang mirip denganku juga sedang menatap dirinya. Seketika Ayah tercengang.
"Pak ... Hen-dy?" tanya ayahku ragu-ragu. Bapak malaikat itu mengangguk pelan.
"Sepertinya saya perlu bicara dengan bapak." ujarnya. Ia lalu berjalan bersama putrinya ke mobil mewah itu, berbicara beberapa kalimat yang tidak aku tahu kepada putrinya sebelum akhirnya putrinya masuk ke dalam mobil dan pria paruh baya itu kembali menemui Ayahku. Mereka berdua menjauh dariku juga.
Ayah memintaku untuk pulang bersama teman-temanku dan berjanji akan menceritakannya padaku perihal gadis perempuan yang mirip denganku itu. Saat aku berjalan melewati mobil mewah tersebut, kaca mobil itu perlahan terbuka. Aku melirik ragu-ragu.
"Hei!" panggil gadis yang mirip denganku itu. "Papa bilang kau saudara kembarku! bawalah ini ... " ujarnya padaku seraya memberikan sebuah gelang indah dengan ukiran hati dan di ujung ukiran terdapat ukiran lain yang berbentuk seperti lubang kunci. "Pakailah ... aku memiliki gelang yang lainnya, kunci gemboknya." imbuhnya seraya memamerkan gelang yang ia kenakan yang tak jauh berbeda denganku, tetapi di ujung ukirannya terdapat kunci mungil.
***
"Malam itu ayah cerita semuanya kepadaku Kak Rangga bahwasannya aku memiliki saudara kembar perempuan." ujarku kepada Kak Rangga santai. Kami duduk di bawah sebuah pohon tempatku dan Kak Rangga dulu bertemu. Matahari semakin terlihat ingin menenggelamkan tubuhnya. Aku memutar-mutar gelangku, gelang yang diberikan Kak Abby kepadaku. " Ayah dan ibuku terpaksa memberikan Kak Abby kepada keluarga kaya demi operasi kakakku. Namun, kakakku tak tertolong, ia meninggal di meja operasi." imbuhku. Aku menghapus air mataku yang menetes tanpa perintahku.
Aku selalu saja menangis jika teringat akan kata-kata Ayah bahwa Kak Abby lah yang berkorban untuk Kak Satria. Kak Rangga tak bersuara sejak ia tertawa lepas membayangkan ceritaku, dan hal konyol tentang pemikiranku yang telah mati tertabrak mobil yang dikendarai oleh Ayah kak Abby. "Gadis yang selama ini kau lihat adalah Kak Abby dan bukan diriku, gadis kaya itu, Kak Abby ... " tambahku menjelaskan kepadanya.
Aku menitipkan kisahku dan Kak Abby kepada senja. Semoga senja menyimpan rahasiaku seperti ia menyimpan dirinya rapat-rapat demi sang malam. Aku dan Kak Abby seperti matahari dan bulan, sama-sama tinggal di langit namun tak pernah selangit.
