Bab 3: DRAMA
Aku membenarkan letak tasku, berjalan ragu-ragu dan gugup ke arah Tara. Gadis itu masih menoleh ke arahku dan tak menghiraukan apa yang diterangkan oleh pemuda yang sedang membacakan sebuah buku. Langkahku semakin dekat dengan ruangan yang tak luas dan juga tak sempit yang berisi beberapa anak seumuran dengan Tara, dan juga anak yang lebih besar dari Tara, kira-kira 15 anak sedang duduk menghadap seorang pemuda.
"Assalammualaikum ... " sapaku kepada mereka semuanya.
"Waalaikumsalam kak Mia ... " jawab mereka semua serempak senang. Aku melirik ke arah pemuda yang menjadi salah satu guru di Sekolah Terbuka ini, pemuda yang sedang membacakan sebuah puisi karya Jalaludin Rumi. Ia hanya melirikku dan diam serta menjawab salamku sangat singkat. Sikapnya beberapa hari ini sangat dingin, seperti es yang baru luber dari gunung es di kutub utara.
"Eh, Mia, sudah pulang sekolah?" tanya seorang gadis yang tiba-tiba datang. Aku mengangguk ke arahnya. Gadis itu berjalan melewatiku dan membagikan beberapa kue yang ia bawa untuk anak-anak di sini. Anak-anak berebutan menghampirinya. "Bagaimana sekolahnya?" tanya gadis itu lagi, ia tersenyum padaku dengan lesung pipit yang indah yang membuatnya terlihat semakin manis dan elok. Namanya Lira, aku biasa memanggilnya Mbak Li. Ia sedang menempuh pendidikannya di Universitas Indonesia jurusan Ekonomi Akuntansi program beasiswa bidik misi semester tiga. Dia dan kak Rangga-pemuda yang sedang merapikan buku dan cuek kepadaku akhir-akhir ini-adalah orang yang mendirikan sekolah terbuka ini. Kak Rangga adalah pemuda tampan dan terkenal karena penampilannya sebagai host dari acara ke acara. Dia sedang menempuh pendidikannya di Universitas Indonesia juga, jurusan Kedokteran.
Kak Rangga meninggalkan anak-anak setelah menutup mata pelajaran hari ini dengan doa. Aku melirik jam di tanganku, seharusnya jam pelajaran usai setengah jam lagi. Aku menerka-nerka dan merasa Kak Rangga sengaja mengakhiri mata pelajaran anak-anak hanya karena kehadiran diriku. Aku mencari jawaban dari Mbak Li, ia hanya mengangkat bahunya saja. Kak Rangga keluar dari pondok sederhana dan berjalan pergi tanpa pamit atau menoleh kepadaku. Aku hanya menatap punggungnya, ia semakin berjalan menjauh. Aku tak tahan dengan sikapnya itu, aku berlari menyusulnya.
"Kakak, tunggu!" teriakku. Tapi, ia tak mengubrisku. Ia tetap berjalan. Aku berhasil menangkap tangan kanannya dan membalikkan tubuhnya. "Apa salahku?" tanyaku kepadanya. Ia tak memandangku. Ia mendengus kesal. Kaca mata minusnya tak mengalahkan paras tampannya, itu sebabnya Mbak Li suka kepadanya.
"Kamu nggak kerja?" sindirnya padaku. Sudah kuduga ini pasti soal pekerjaanku sebagai pelayan di restaurant milik ayahnya. Ia tidak suka jika aku harus bekerja di restaurant milik ayahnya itu.
"Masuknya kan jam empat sore," kataku malas. Ia menatapku penuh amarah dan kembali melangkah pergi. "Kenapa kakak nggak suka ngelihat aku kerja?" tanyaku lantang. "Aku nggak ngasih tahu siapapun tentang kakak dan kegiatan kakak di sini!" ujarku. Ia berhenti dan menoleh kepadaku. Ia berjalan menghampiriku.
"Mia! Kau putri dari salah satu pengusaha kaya di sini! Bagaimana jika ayahku dan ayahmu tahu kalau kamu kerja paruh waktu? Apa jadinya nanti?" tanyanya kesal. Rasanya hatiku tertohok mendengarnya. Dia memang belum mengenal siapa sebenarnya diriku dan tidak ada yang tahu tentang diriku kecuali teman-teman dekatku, teman-teman sekolahku pun tidak ada yang tahu kalau aku dan Kak Abby tidak satu rumah, yang tahu semua ini hanyalah Kak Danu.
"Aku bukan anak orang kaya kak," jawabku lirih, ia terlihat tak peduli. "Kakak nggak percaya?" tanyaku. Aku menarik tangannya dan mengajaknya pergi dari sini. Aku benar-benar tak berniat membuat prasangka yang bukan-bukan di hadapan Mbak Li ketika ia melihatku menarik tangan Kak Rangga, tapi aku harus menjelaskan sesuatu kepada Kak Rangga. Aku tidak suka melihatnya tak bicara kepadaku, aku sudah menganggapnya sebagai kakakku selama ini. Namun, yang ia tahu aku adalah putri dari keluarga besar Soetomo. Naomi Abigail Soetomo, kakakku.
Aku dan kak Rangga sampai di depan rumah mewah jajaran rumah elit Pondok Indah di Jakarta. Kak Rangga mengira aku tinggal di sini. Aku merapikan letak wig di atas rambutku dan kaca mata hitamku di kaca spion motor Kak Rangga. Ia menatapku bingung dan bertanya-tanya. Aku lalu menarik tangan kak Rangga menuju satpam depan rumah Kak Abby.
"Selamat siang, Pak, Abby nya ada di rumah?" tanyaku ramah kepada pria paruh baya yang terlihat sedikit garang. Pria itu memperhatikan diriku baik-baik dan juga menilai Kak Rangga.
"Temennya non Abby sekolah?" Aku mengangguk dan tersenyum. "Ada perlu apa?" tanyanya tegas sembari terus memperhatikan identias sekolah di seragamku.
"Ada tugas kelompok dari sekolah, saya lupa tentang pembagian tugasnya ... " jawabku berbohong. Pria paruh baya itu kembali ke pos dan menelepon rumah dari dalam posnya setelah menimang-nimang jawabanku dengan ragu. Aku menatap Kak Rangga yang masih kebingungan. "Kakak, setelah ini aku mohon jangan kaget!" kataku. Ia hanya diam tak mengerti apa yang kumaksudkan.
"Non Abby akan turun sebentar lagi!" kata pria paruh baya itu tanpa senyum apapun. Aku mengangguk kepadanya. Aku mengalihkan pandanganku ke Kak Rangga, mengulang kalimatku tadi, lalu ia meminta kejelasan kenapa ia kubawa kemari.
"Pak Sukri kenapa temanku tidak disuruh masuk?" Suara Kak Abby memecahkan percakapanku dan Kak Rangga. Kak Rangga tampak terkejut, ia menatapku dan Kak Abby kaget. Aku menolehkan wajahku dan mendapati Kak Abby tengah berjalan ke arah pintu gerbang tempatku dan kak Rangga berada. Ia menghentikan langkahnya tiba-tiba karena menyadari siapa diriku meski aku sudah menyamar. Ia buru-buru menghampiriku dengan langkahnya, lalu menyeretku menjauh dari pagar dan juga Pak Sukri-satpam-yang terus mengawasi kami. Kak Rangga mengikuti kami dengan tatapan tak percayanya.
"Mia apa yang kau lakukan ini?" tanya kak Abby marah padaku. "Gimana jika mama tahu?"imbuhnya marah dan cemas.
"Maafkan aku kak ... " ujarku lirih.
"Kalian ... ?" Kak Rangga masih kebingungan menyaksikan diriku yang lain sedang berdiri di hadapanku.
"Abby! Kenapa temannya tidak disuruh masuk rumah, sayang?" teriak ibu Kak Abby dari dalam mobil mewah yang baru saja datang dan masih terparkir di luar pagar rumahnya. "Suruh masuk, sayang!" imbuhnya memerintah kak Abby. Kak Abby menoleh kepadaku dengan mendelik tajam setelah terkejut melihat kedatangan Ibunya.
"Iya, Ma!" sahut kak Abby. Kali ini jantungku kembali berdetak. Kenapa hari ini penuh dengan hari Ibu kak Abby? Batinku kesal. Aku mengutuki diriku yang mengajak Kak Rangga kemari. "Benarkan wig-mu Mia! dan jangan lepas kacamatamu!" kata Kak Abby memerintahku. Kak Abby berjalan mendahuluiku.
"Mia?' panggil Kak Rangga kebingungan. Ia menagih penjelasan kepadaku dengan tatapannya.
"Kak, mulailah bermain drama, aku yakin kakak bisa ngerti keganjilan ini," kataku yang terdengar aneh ditelingaku sendiri. "Sepulang dari sini aku akan ceritakan semuanya," ujarku meyakinkannya penuh arti. Ia memandangku dengan tatapan bingung, kesal, merasa bersalah namun akhirnya ia mengangguk. Entah apa arti anggukannya itu. Aku pasrah.
Aku dan Kak Rangga duduk di kursi tamu mewah di ruang tamu Kak Abby dengan canggung. Di dinding di hadapan kami terpajang foto keluarga yang indah dan mewah. Aku dan Kak Rangga mengamati ruangan ini baik-baik. Kak Abby sedang menuju kamarnya berpura-pura mengambil buku, sedang ibu Kak Abby berada di dapur memerintahkan pelayannya untuk menyuguhiku dan Kak Rangga beberapa kue dan minuman.
"Silahkan diminum dan dimakan kuenya nak ... " ujar ibu Kak Abby ramah. "Kamu satu kelas, ya?" tanyanya padaku dan aku mengangguk tersenyum. Ibu kak Abby mengalihkan pandangannya dariku ke Kak Rangga. "Apa kamu juga?" tanya ibu Kak Abby kepada Kak Rangga. Kali ini ibu Kak Abby mungkin berpikir bahwa tidak mungkin pemuda dewasa seperti Kak Rangga seumuran denganku.
"Tidak tante, saya adalah kakak kelas Abby, saya sengaja datang bermain ke rumah Abby sepulang kuliah dan kebetulan bertemu di depan dengan teman Abby tadi," jawab kak Rangga berbohong. Aku meliriknya takjub dan tersenyum garing.
"Oh, ya? Kakak kelas Abby berapa tingkat? Nama kamu siapa? Kuliah di mana?" tanya Ibu kak Abby antusias.
"Tahun Abby masuk sekolah tahun itu saya lulus, tante ... Saya semester tiga di Universitas Indonesia jurusan Kedokteran. Nama saya Aditya Rangga Hasanudin," jawab Kak Rangga.
"Kamu putra dari Rudi Hasanudin?" tanya Ibu Kak Abby meyakinkan apa yang didengarnya. Ia terlihat sedikit terkejut.
"Iya, tante." Jawab Kak Rangga. Suara langkah Kak Abby memecahkan percakapan kami.
"Mia, ini bukunya, sudah aku selesaikan sebagian, kamu cek email, bagian yang lain kamu selesaikan ya," ujar Kak Abby. Aku menerima buku itu sambil berdiri, begitu pun dengan Kak Rangga.
"Kenapa pakai kaca mata hitam?" tanya Ibu kak Abby padaku. Aku menelan ludah.
"Dia sakit mata ma ... " jawab Kak Abby cepat-cepat.
"Saya permisi, tante." pamitku kepada Ibu kak Abby.
"Loh ? Kenapa buru-buru?" tanya Ibu kak Abby. "Dan Rangga, bukankah kamu tadi ingin bertemu dengan Abby?" kata Ibu Kak Abby kepada Kak Rangga. Kak Abby menatapku tak mengerti. Aku hanya bisa menggeleng pasrah.
"Iya, tante. Tapi, tadi Abby bilang ia ingin istirahat, katanya ia lelah, mungkin lain waktu saya akan main ke sini lagi," ujar Kak Rangga.
"Tadi kak Rangga ngajak Abby main teater Ma ... dia itu ketua Teater di sekolah dulu Ma ... Terus Abby bilang kalau Abby lelah dan belum ijin ke Mama ... " ujar Kak Abby menjelaskan kepada ibunya. Aku tidak mengerti dari mana Kak Abby belajar main drama sebagus ini. Aku tercengang kaget sampai terdiam untuk sepersekian detik sebelum akhirnya Kak Rangga menyenggol lenganku. Aku dan Kak Rangga pamit undur diri diantar Kak Abby sampai keluar pagar rumahnya.
"Besok, jelaskan padaku semuanya di sekolah!" ujar Kak Abby berbisik padaku marah. Rasanya lebih baik aku tidak pergi sekolah saja besok jika harus mendengar seluruh omelannya kepadaku. Tapi, itu tidak mungkin.
