Bab 2: Gadis Misterius
Aku mengusap keningku, keringatku terus mengalir. Hari ini karena mama Kak Abby tiba-tiba datang ke sekolah, aku terpaksa harus jalan kaki pulang ke rumah. Matahari semakin membara seolah benar-benar akan membakar Jakarta. Untung saja saat aku keluar sekolah tadi tak ada satu siswapun yang mengetahuinya, terutama Seira. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku bertemu dengan gadis itu dalam keadaan seperti ini. Dia pasti akan mengeluarkan kalimat yang tidak-tidak.
Terkadang aku bertanya kenapa Ayah tak memberikanku kepada keluarga Kak Abby , kenapa harus Kak Abby yang pergi ke rumah mewah itu? Namun, setiap kali aku bertanya kepada Ayah setiap kali itu pula kediaman menjadi jawabanku. Aku mencoba memahami alasan keluargaku, tetapi, tetap saja aku merasa cemburu kepada kakakku. Semua yang ada pada kami tidak hanya berbeda seratus delapan puluh derajat melainkan tiga ratus enam puluh derajat! Pasti menyebalkan, bukan?
Aku menengadahkan kepalaku ke langit dan melihat layang-layang putus. Lalu, aku teringat kejadian malam itu. Satu tahun yang lalu, saat aku menemukan Kak Abby berada di musholla sekolahku setelah dia raib beberapa jam, seolah hilang di pohon Kinanti memasuki lorong waktu seperti yang kubaca di Novel Nusantara dengan judul novel Hilang karya Ekkaia.
Malam itu udara dingin karena hujan, aku berlari ke sana kemari, mengunjungi setiap rumah yang kuyakini kakakku berada di dalamnya. Namun, aku tak dapat menemukannya. Sudah hampir lima jam aku berkeliling mencari kakakku yang hilang. Ponselku terus berdering, Ayah hampir setiap lima belas menit sekali meneleponku hanya untuk sekedar bertanya apa aku sudah menemukan Kak Abby atau belum? Apa aku sudah mencari ke seluruh temannya? Dan masih banyak pertanyaan lain yang muncul hingga aku mulai merasa muak dengan semuanya lalu kumatikan ponselku. Ayah bahkan tak bertanya apa aku sudah makan atau belum? Selalu seperti ini!
Malam itu kuputuskan untuk tak meneruskan pencarianku, aku lelah. Aku pun tak ingin pulang ke rumah. Aku tak ingin bertemu dengan Ayah atau orang tua angkat Kak Abby. Aku bosan dengan mereka! Aku memutuskan akan tidur di sekolah saja, di ruang ekskul literasiku.
Aku mendengar suara-suara di musholla saat aku hendak menuju ruang ekskulku. Malam itu tak ada siapapun di sekolah, karena aku masuk sekolah dengan memanjat pagar. Suasananya menjadi sangat mengerikan. Bayangan mengenai hantu terus memenuhi ruang di kepalaku. Tapi, tak sedikit pun aku gentar. Aku melangkahkan kakiku ke musholla kecil yang berada di samping ruang UKS. Suara itu semakin jelas terdengar, bahkan aku melihat ada sedikit cahaya yang bersinar dari dalam ruang itu. Aku berdiri di depan pintu geser kaca dengan lafadz Allah di tengah-tengahnya. Sticker kaligrafi yang indah.
Samar-samar dari tirai aku melihat bayangan putih. Hatiku berdegup kencang dan rasa penasaranku meninggi. Aku ingin berlari pergi dan berteriak namun nuraniku berkata sebaliknya. Aku menggeser pintu di depanku, suara itu berhenti. Aku melangkahkan kakiku untuk masuk ke dalam dan makhluk berbalut mukenah itu bergerak. Jantungku masih berdegup kencang saat aku mendekati ruangan ini tadi, napasku tak karuan, tapi mataku tak mau lepas darinya.
"Kak Abby?" panggilku sedikit tak percaya dengan apa yang aku lihat. Sinar kecil yang aku dapati dari luar tadi berasal dari handphone di tangannya. Aku mulai meraba dinding lalu menghidupkan lampu musholla. "Kak Abby di sini? Semua orang sedang mencari kakak!" kataku kesal. Waktu itu aku tak melihat ada sisa-sisa air mata di pipinya. Ia hanya diam tertegun melihatku. Ia mematikan senter di HP-nya. Berbalik dan menutup Al Qur'an. Rupanya suara-suara yang kudengar tadi adalah bacaan surat Al Qur'an. Aku masih diam menunggunya menjawab pertanyaanku. Dia melepas mukenah dan melipatnya lalu meletakkanya di dalam lemari kecil di pojok kanan dekat dengan jendela. Kemudian ia menatapku.
"Kamu sedang apa di sini?" baliknya bertanya. "Bukankah ini sudah malam?" imbuhnya menghakimiku. Aku menghela napas kesal mendengarnya. Apa dia tidak melihat wajah lelahku karena mencarinya selama lima jam?
"Apa kakak nggak mendengarku atau gimana?" Aku bertambah kesal karena ia tak menghiraukanku. Tak ada jawaban. Ia berjalan melewatiku keluar dan memakai sepatunya seraya duduk di ambang pintu. Anehnya, aku tak melihat ada sepatu itu tadi di depan pintu musholla.
"Kok ada sepatu itu di situ?" kataku seraya mengamati tangan Kak Abby yang menalikan sepatunya. "Lalu, di mana sandalku?" imbuhku seraya sadar bahwa sandal jelekku tak ada di lantai. Kak Abby menghentikan tangannya yang menalikan sepatunya, mendongak ke arahku dengan tatapan heran.
"Kamu yakin naruh sandal kamu di sini?" tanyanya. Aku mengangguk pasti.
"Glodak!!" Aku dan Kak Abby menoleh ke arah lorong yang sepi. Kemudian kami saling pandang dengan tatapan bertanya-tanya. Aku yakin sekali kalau aku mendengar ada benda jatuh. Bayangan hantu suster ngesot, genderuwo atau kuntilanak melambai dibenakku. Aku lalu mengutuki diriku yang berada di sekolah malam-malam begini. Tapi, aku lebih takut kepada hantu berkepala hitam atau dengan kata lain hantu jadi-jadian; pria. Kak Abby mengeluarkan HP-nya dan menyalakan senter. Aku berjalan mendahuluinya. Kak Abby mengikutiku seraya membujukku kembali ke musolla, tapi aku menolak. Aku penasaran.
"Sudah sampai sini kak! kita lihat saja, ada orang apa gak?" kataku sok berani.
"Tapi ... " Kak Abby tak bisa melanjutkan kalimatnya. Ia terlihat ketakutan, matanya berkedip-kedip. Aku kembali melanjutkan langkahku mencari tahu dari mana asal suara itu berada. Aku menengok setiap kelas dengan cahaya yang ada di HP kak Abby, tapi kosong. Sampai aku tiba di ruang OSIS yang pintunya sedikit terbuka. Aku mengira-ngira suara benda yang jatuh tadi dan letak ruang OSIS ini serta jaraknya dari musholla. Aku membuka dengan sisa-sisa keberanian ruang OSIS itu dan terkejut dengan apa yang aku saksikan.
"Kamu? Gadis itu?" tanya Kak Abby seraya mendekatkan senter HP-nya di dekat wajahnya. Ia sedikit ketakutan. Gadis kecil itu mengenakan sandal jelekku dan menundukkan wajahnya.
"Kakak kenal dia?" tanyaku kepada Kak Abby dan ia menggelengkan kepalanya. Aku bingung dengan jawaban Kak Abby, terlebih lagi bagaimana bisa ruang OSIS ini tidak terkunci? Kak Abby mendekati gadis kecil itu yang tertunduk takut. Dia sedikit kotor dan kumal. Aku melihat ke sekitar ruang OSIS dan mendapati beberapa kardus kosong berserakan di bawah, dugaanku sekarang adalah suara benda yang terjatuh tadi adalah suara kardus, mungkin gadis kecil ini menurunkan kardus dari atas lemari untuk dibuatnya alas tidur. Dan karena lantainya dingin, untuk itu ia mengambil sandalku. Kak Abby mengajak gadis cilik itu duduk di kursi setelah aku menghidupkan saklar listrik.
"Ceritakan pada kakak bagaimana kau bisa sampai di sini? Apa kau mengikutiku saat di lampu merah tadi? Di mana orang tuamu? Dan untuk apa kardus-kardus itu?" Kak Abby menyerbunya dengan berbagai pertanyaan. Aku membenarkan kardus-kardus di lantai yang berserakan. Tak ada jawaban dari gadis kecil itu. Selesai memindahi kardus dan beberapa dokumen yang berserakan, aku kembali mendengar suara derap langkah kaki yang mendekat.
Aku dan Kak Abby saling pandang kembali.
Kali ini suara langkah kaki itu berisik, menandakan kalau yang datang lebih dari satu orang. Aku mulai takut, begitupun kak Abby. Kak Abby berdiri dari duduknya dan menggandeng tangan gadis itu erat. Kami menunggu dengan cemas siapa yang sedang berjalan mendekat, kami harap itu adalah orang-orang kampung saja yang melihat ruangan OSIS ini menyala. Semoga mereka orang baik dan bukan orang jahat, pikirku.
"Kalian?" ucap seorang pemuda bermata coklat yang tak lain adalah Kak Danu. Dia berdiri di ambang pintu OSIS. Aku menghirup napas lega dan meletakkan penggaris besi yang kupegang erat untuk antisipasi. Kak Danu menatapku tak percaya saat melihat penggaris itu, aku hanya tersenyum nyengir. Pemuda lain yang berdiri di samping Kak Danu juga terkejut melihatku dan Kak Abby berada di ruang OSIS malam-malam begini. "Abby? Ayahmu meneleponku seharian penuh!" ujar kak Danu kesal.
"Akan aku jelaskan nanti Danu!" ujar kak Abby tegas. Kali ini ia kembali mengalihkan perhatiannya kepada gadis kecil di hadapannya. "Adik cantik, jelaskan kepada kakak, kamu siapa? Di mana rumah kamu? Nanti kakak antar kamu untuk pulang," Gadis itu menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Kak Abby. Kak Abby menoleh ke arahku, Kak Danu dan Variz dengan tatapan bingungnya. Aku menghampiri gadis kecil itu. Sepertinya aku tahu harus bagaimana menghadapinya.
"Jika kamu gak mau cerita gak pa-pa. Tetapi, ketika kami semua sudah pergi dari sini, apa kau tidak takut sendirian di sini? Bagaimana jika ada ... " Aku mulai menakut-nakutinya. Kak Abby menyenggol lenganku, aku meringis ke arahnya.
"Kakak akan pergi?" tanyanya memotong kalimatku. Akhirnya dia berbicara. Kak Abby memandangku dengan penuh heran.
"Sayang ... " Aku membelai rambutnya. "Di sini bukan rumah kami, kami harus pulang, begitu pun dengan kamu," imbuhku lembut padanya.
"Tapi, aku tidak punya rumah ... " lirihnya. Aku dan Kak Abby saling pandang. "Perempuan yang kupanggil mama kemarin meninggalkanku di lampu merah ... Aku tidak tahu harus mencari papa ke mana, papa sudah lama tidak pulang, dan aku tidak tahu jalan pulang, aku ... " Dia mulai menangis. "Aku hanya ingin Bi Ijah ... Kata Bunda ... Bi Ijah akan menjagaku ketika bunda pergi ke sur-ga ... " Air matanya semakin meleleh. Jelas sekali kalau ia rindu Ibunya. Entah mengapa tiba-tiba hatiku ikut sedih mendengarnya. Cerita singkatnya sudah cukup bagiku untuk menggabungkan keseluruhan kisahnya yang tak perlu ia jabarkan.
Layang-layang putus itu telah terbang semakin tinggi dan jauh, sejauh aku berusaha melupakan malam itu, malam di mana aku dan kakakku menemukan gadis cilik malang yang sekarang tinggal bersamaku. Gadis itu melambaikan tangannya menyambutku dari jauh, dia selalu tersenyum apapun kondisinya, dia bilang agar bundanya tenang di surga. Darinya aku belajar menyayangi seseorang setelah sekian lama aku mengutuki kematiannya, kakak sulungku, Kak Satria.
