Bab 5: Diantara Dua Nama
Kak Danu sedang berdiri di depan Restaurant tempatku bekerja. Ia mengenakan Hoodie biru dan Skinny jeans. Ia terlihat keren dengan pakaian itu dan gayanya yang cuek mengundang beberapa teman kerjaku mencuri-curi pandang ke arahnya. Hanya dia dan Rania yang tahu kalau aku bekerja di sini, seluruh teman sekolahku tidak mengetahuinya. Entah dari mana ia tahu. Tapi, aku lega tidak ada yang tahu soal pekerjaanku, karena jika ada yang tahu selain mereka-mereka yang kupercaya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kisah selanjutnya.
Baik Kak Danu atau Kak Rangga, keduanya sama sekali tidak pernah setuju bahwasannya aku bekerja di sini sebagai seorang pelayan. Aku benar-benar tidak bisa menjelaskan kepada mereka semua bagaimana aku harus berjuang agar keluargaku tidak menerima uang dari keluarga Kak Abby terus menerus.
"Kakak di sini lagi?" tanyaku jengah kepadanya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku ke arahnya. "Pergilah kak Danu ... " pintaku kepadanya. Dia tak menghiraukanku. Ia malah masuk ke dalam Restaurant. Aku mengikutinya dan menarik lengannya. "Kakak! mau apa?" Aku menatapnya kesal.
"Aku mau makan, satu jam aku berdiri di sana menunggumu, aku lapar!" jawabnya kesal. Ia kembali berjalan masuk ke Restaurant. Aku mendengus kesal. Aku melirik jam di pergelangan tanganku, lima menit lagi aku harus sudah stand by kerja. Sudah sampai di sini, aku tidak mungkin pulang dan bolos lagi. Lagi pula, Bu Rina sudah melirikku dari dalam Resto, mengawasiku dengan matanya yang tegas itu.
Baru beberapa hari lalu Kak Rangga juga memergokiku kerja di sini. Dan kemarahannya itu membuatku malas, kini gantian Kak Danu! Dua pemuda yang aneh! Kenapa mereka berdua tidak suka melihatku bekerja? Seandainya saja mereka mengerti alasanku tanpa aku harus menjelaskannya. Menggantungkan ekonomi keluargaku kepada keluarga angkat Kak Abby itu seperti benar-benar menjual Kak Abby ke sana! Dan itu berhasil menyiksaku perlahan. Dan aku hanya bisa diam, memendam rasa ini sendiri.
Aku menyibukkan diriku di dalam dapur, mencuci semua piring dan tak keluar dari dapur hanya untuk menengok Kak Danu atau melihat situasi lain. Aku sungguh malas jika harus berdebat, bertengkar atau pada akhirnya memberinya pengertian sehingga harus menceritakan derita keluarga kandungku. Aku benci melakukan itu! Apa setiap perkara harus kujelaskan kepada mereka? Tidak, kan? Aku juga punya kehidupan privacy! Terlebih, aku tidak suka dikasihani, itu menyakitkan.
"Mia, meja nomer 5 hanya ingin kamu yang nganterin makanannya ... " ujar Rita kepadaku untuk yang ketiga kalinya. Aku tidak mengerti kenapa Kak Danu begitu menggangguku.
"Aku harus selesaiin cucian piringku Rit!" jawabku kesal.
"Kau sudah membilasnya tiga kali Mia!" jawab Rita. Aku melirik dirinya yang berdiri bersandar wastafel. "Meja nomer lima tidak menyentuh makanannya sama sekali, dan ini sudah yang ketiga kalinya dia memesan tanpa menyentuh makanannya. Setiap kali pesan, dia hanya ingin kamu yang mengantarnya!" ujarnya seraya memiringkan kepalanya, memandangku lekat-lekat. Matanya penuh tanya dan terlihat bosan saat menatapku.
Ia pasrah menghadapi Kak Danu.
Aku membilas tanganku lalu mengeringkannya dengan segera. Aku tak ingin hanya karena masalah ini, Bu Rina sampai bertanya macam-macam kepadaku. Aku membawa nampan berisi makanan yang dipesan oleh Kak Danu dan berjalan ke arahnya yang duduk di pojokan dekat dengan jendela.
"Selamat sore ... Ini pesanan anda!" ujarku seraya menaruh makanan di atas mejanya. "Selamat menikmati menu kami, jika ada hal lain yang anda butuhkan silahkan panggil kami ... " imbuhku seraya tersenyum nyengir kepadanya. Aku berjalan mundur satu langkah dan ketika hendak berbalik,
"Berhenti!" perintah kak Danu. Apa lagi ini?!
"Iya, Pak, Apa anda membutuhkan sesuatu?" tanyaku ramah.
"Duduklah bersamaku ... " pintanya padaku.
"Terima kasih sebelumnya, tapi saya mohon maaf, pelayan dilarang duduk bersama tamu," ujarku menjelaskan dan masih berusaha tersenyum ramah kepadanya. Tanpa berpikir lagi, aku berbalik dan melangkah pergi namun dengan tanggap Kak Danu meraih lenganku. Ia memegangnya erat sekali. Aku menatapnya tajam. Bu Rina memerhatikanku dari tempat berdirinya. Aku mulai cemas. "Kak! lepaskan tanganku! Apa kau tidak lihat seisi ruangan ini melihat kita?" ujarku berbisik kepadanya. Ia balik menatapku tajam sekali.
"Aku tidak peduli!" katanya tegas. "Duduklah bersamaku! makan bersamaku ... " pintanya sekali lagi.
"Harus aku bilang berapa kali bahwa pelayan tidak boleh ... " ujarku berbisik kepadanya tegas. Ia mendekatkan wajahnya sehingga aku bisa menghirup aroma tubuhnya yang khas dan merasakan desahan napasnya. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang dan bayangan Kak Abby muncul seketika. "Lepaskan aku kak!" pintaku pelan. Kali ini aku benar-benar tak bisa menatap wajahnya, aku merasakan kegugupan yang luar biasa sedang menguasai diriku.
Ia menyeretku untuk duduk di kursi meja makannya. Aku tak tahu apa tujuan Kak Danu bersikap seperti ini. Aku menoleh ke arah Bu Rina, beliau melihatku, tapi tak beranjak untuk segera menegurku. Aku memerhatikan teman-temanku dan mereka terkejut menyaksikanku duduk di meja makan. Aku hendak berdiri, namun kak Danu mendudukkanku kembali, ia memegang bahuku kuat sekali. Ia kembali menatapku dengan mata cokelatnya dan mendekatkan wajahnya padaku.
"Kau tahu? jika kau tidak datang barusan, aku benar-benar akan menjemputmu ke dapur dan menarikmu keluar dari sana!" ucapnya tegas. Ia mendekatkan seluruh makanannya di hadapanku. "Makanlah ... " perintahnya dengan suara yang pelan kepadaku. Aku memandang makanan di hadapanku. Sungguh aku lapar sekali sebenarnya, tetapi aku tidak boleh menyantap makanan tamu. Aku memandang wajahnya kembali.
"Kak ... aku mohon, aku masih punya alasan yang kuat kepada Bu Rina kenapa aku duduk di sini sebelum aku dikeluarkan dari tempat kerjaku ini," ujarku kepadanya. Ia membuang wajahnya dan menatap ke arah Bu Rina lalu kembali menatapku. Ia membuka serbet dan menaruhnya di atas rok kerjaku, lalu mengambil garpu dan sendok dan memaksaku memegangnya.
"Makanlah Mia! setelah kau makan aku akan tenang ... " ujarnya. Entah kenapa hatiku semakin berdegup kencang mendengarnya. Aku menatap makananku dan menatapnya kembali. Garpu dan sendok yang kupegang bergerak karena aku gugup. "Kau nggak akan dikeluarkan dari tempat kerjamu hanya karena ini," jelasnya padaku. Apa maksudnya? Ia lalu mengangkat tangannya dan Bu Rina menghampirinya.
"Iya, Pak?" tanya bu Rina sesampainya ia di meja ini. Aku tak berani menatapnya dan hanya bisa tertunduk bersalah.
"Mbak Rina bisa tolong bawakan aku semangkuk sup lagi?" pinta Kak Danu.
"Baik, Pak." jawab Bu Rina. Aku tidak pernah melihat Bu Rina melayani tamu. Tapi mengapa? Aku mulai bertanya-tanya. Aku memandang Kak Danu lekat-lekat, mencoba mencari jawaban darinya.
Aku teringat Kak Rangga melarangku kerja di sini karena ini Restaurant milik Ayahnya, Rudi Hasanudin. Dan nama Kak Rangga adalah Aditya Rangga Hasanudin. Aku kembali mencoba mengingat-ingat nama lengkap Kak Danu. Ketika aku berhasil mengingatnya, bersamaan itu pula supnya datang dan sikap Bu Rina terlihat sangat menghormati Kak Danu.
Tanganku masih gemetaran, dan aku sudah tak selera melihat meja yang penuh dengan makanan meski aku lapar. Kak Danu masih menatapku dengan sorotan matanya yang tajam. Setelah Bu Rina menjauh, aku meletakkan sendok dan garpuku.
"Danu Anggara Hasanudin?" panggilku kepada kak Danu dengan memberikan penekanan terhadap nama keluarganya. Ia menatapku biasa. "Kakak pemilik restaurant ini, kan?" tanyaku kepadanya. Ia hanya diam memandangku. Kali ini aku benar-benar merasa seperti gadis bodoh.
Berapa kali lagi aku harus dibohongi oleh orang-orang di sekitarku? Pertama Ayah yang berbohong tentang Kak Abby. Dan bagaimana bisa Kak Danu tidak mengatakan kalau dia adalah putra pemilik restaurant ini? Apa karena ia juga aku bisa bekerja secara istimewa di sini? Dan apa ini? Perlakuan istimewa apa ini? Seorang pelayan yang duduk di meja bersama dengan tamunya? Pikiranku penuh dengan amarah. Aku berdiri kesal.
"Duduk Mia!" perintah Kak Danu padaku. Aku tak kuasa lagi membendung air mataku. Tiba-tiba jatuh begitu saja. Aku memandangnya nanar. Aku merasa semua orang adalah pembohong, aku dan Kak Abby hanya mainan mereka. Aku ingin meluapkan kemarahanku kepadanya, tetapi mengingat bagaimana dia telah begitu baik kepada Kak Abby atas permintaanku, kuurungkan niatku. Aku kemudian berlari pergi.
***
Aku terus berlari dan tak menghiraukannya memanggilku. Rasanya aku marah dan benci sekali dengan mereka semua, orang-orang terdekatku. Kak Danu terus memanggilku, kakiku mulai lemah, aku merasakan letih karena memang aku belum makan apapun seharian. Aku lapar. Sungguh. Aku diam dan menangis. Kak Danu berdiri di hadapanku. Aku memukul dadanya dengan sisa-sisa tenagaku.
"Kakak jahat! Aku sudah mulai tercekik di sekolah! Di rumah aku pun merasa bersalah! Dan sekarang? Ketika aku mulai percaya padamu? Kenapa nggak kamu katakan saja bahwa kamu yang ngasih pekerjaan! Kamu bahkan nggak ngebiarin aku berterima kasih padamu! Harus berapa kali lagi aku ngerepotin orang-orang di sekitarku?!" ucapku sedih. Aku masih menangis. Suaraku mulai melemah. "Kak Abby harus tinggal di rumah yang bukan keluarganya ... Aku sedih mikirin kak Abby yang pengen ketemu Ibu tapi aku gak bisa bawa dia pulang, aku sedih ketika aku gak bisa ngomong sama Ibu bahwa putrinya yang lain masih hidup, dan dia gak perlu doa aneh-aneh," Aku menangis tersedu lalu terjatuh. "Kenapa kakak bantu aku? Kakak kan tahu kalau Kak Abby cinta sama kamu!" tegasku padanya. "Gimana jika kak Abby lihat kita tadi?" kataku pasrah. Ia mendekat padaku.
"Mia ... Kau yang paling tahu ke mana arah hatiku selama ini," ujarnya padaku. Ia menghapus air mataku. Aku berusaha menepis tangannya, tapi ia menggenggam wajahku erat sekali. Ia mengarahkan wajahku untuk menatapnya. Mata itu, mata itu yang kusaksikan beberapa tahun lalu, mata itu yang membuka kedua mataku, mata itu pula yang membuat kakakku tergila-gila kepadanya.
Dahulu, pada sebuah senja aku menitipkan sebuah nama. Aku benar-benar berharap nama itu menjadi milikku. Tetapi, nama itu pun menjadi doa dari orang yang berjasa bagiku.
