Bab 3
Dulu saat Joy masih kecil, toko roti yang dibuka setiap hari dari jam delapan pagi sampai sepuluh malam tidak seramai sekarang.
Namun Joy kecil sangat menyukai rasa roti tersebut, sehingga hampir tiap malam dia akan merengek pada ibunya untuk dibelikan roti.
Seiring berjalannya waktu, justru pemilik toko roti yang sering 'merengek' agar ibunya membeli sisa stok roti yang ada.
Ibunya yang baik hati selalu mengabulkan permintaannya. Sebulan sekali ibunya memesan sejumlah roti dalam skala besar untuk pertemuan teman teman sosialnya.
Sejak saat itu toko roti tersebut menjadi semakin ramai dan terkenal. Sangat disayangkan, pemiliknya berubah menjadi arogan dan sombong. Pria itu bahkan tidak menginginkan orang yang berbaju kotor seperti Joy hanya berdiri di depan tokonya.
Padahal Joy tidak menyentuh jendela kaca ataupun menganggu jalan masuk kedalam toko. Dia hanya memandangi kue dari balik jendela kaca tanpa berniat merugikan orang lain.
"Hei! Sampai kapan kau mau berdiri didepan tokoku terus huh?"
Joy meratapi nasibnya yang malang tanpa menghiraukan pemilik toko yang terus berusaha mengusirnya. Bisa dibilang, Joy terlalu bersedih dan seakan jiwanya telah lama meninggalkan tubuhnya sehingga dia tidak segera merespon pemilik toko yang membentaknya untuk mengusirnya.
Saat ini pikirannya kembali ke kenangan masa silam dimana dia masih memiliki sebuah rumah serta makanan cukup menghilangkan rasa laparnya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan hingga tahun berganti tahun, kondisi keuangan keluarganya semakin menurun seiringnya semakin hebatnya pertengkaran kedua orangtuanya.
Hingga di satu titik dimana akhirnya sang ayah menyetujui pengajuan cerai dari istrinya, Joy mengira badai kehidupan di rumah ini akan berhenti. Tidak akan ada lagi teriakan keras yang menyakitkan telinga ataupun ucapan kalimat yang menyakitkan yang keluar dari mulut kedua orangtuanya.
Sayangnya, kondisi keuangan mereka semakin buruk dan entah kenapa hutang yang dimiliki perusahaan sang ibu malah semakin membengkak.
Bukankah sebelum ini keuangan mereka merosot karena sang ayah yang suka beli minuman hingga mabuk atau berjudi di luar? Setidaknya itulah yang dikatakan sang tante tiap kali datang ke rumah ini.
Beliau terus memasuki pikirannya dengan berkata bahwa sang ayah suka minum-minuman di luar dan berjudi. Sang tante suka sekali menjelekkan sang ayah dengan mengatakan bahwa ayahnya suka sekali menghabiskan uang yang dihasilkan susah payah oleh sang ibu.
Joy memang tidak melihatnya sendiri karena ayahnya jarang sekali pulang ke rumah. Namun disaat ayahnya pulang ke rumah, pria itu tampak lemas dan mengunci diri di kamar sambil memandang ke arahnya dengan kecewa.
Joy tidak mengerti kenapa ayahnya merasa kecewa padanya. Seharusnya dia yang merasa kecewa pada pria mala situ. Itu sebabnya, semakin hari, Joy semakin membenci pria itu dan berharap ayahnya segera menyetujui pengajuan cerai dari ibunya.
Dia sudah mulai bosan mendengar kata ‘cerai’ keluar dari mulut sang ibu namun ayahnya bersikeras menolaknya.
Namun akhirnya ayahnya sudah menyetujuinya. Seharusnya kehidupannya bersama ibunya semakin baik karena kedua orangtuanya telah bercerai. Seharusnya, ibunya tidak perlu lagi berkerja keras karena uang yang dihasilkannya tidak akan dipakai oleh sang ayah untuk berjudi.
Tapi kenyataannya berbicara lain. Semenjak kedua orang tuanya bercerai, ibunya malah harus bekerja dua kali lebih keras demi melunasi hutang-hutang perusahaan keluarga.
Darimana hutang ini berasal? Sejak kapan perusahaan ibunya memiliki hutang di bank? Joy yang masih belum lulus sekolah sama sekali tidak mengerti dan tidak ambil pusing.
Dia merasa ibunya tidak pernah melibatkannya dalam urusan keuangan keluarga sehingga dia tidak perlu mengkhawatirkannya. Asalkan dia masih bisa bersekolah, membeli pakaian baru tiap minggu serta mengikuti trend fashion zaman sekarang, Joy tidak mempermasalahkan pekerjaan ibunya yang bisa saja membuat kesehatan sang ibu memburuk.
Sejak itu pula ibunya jarang di rumah seperti ayahnya dulu. Mereka mulai jarang berkomunikasi dan baru bisa berkomunikasi di hari Minggu saja. Itupun, mereka hanya saling menanyakan apa kabar atau mau makan apa, seakan mereka adalah dua orang asing yang baru saja berkenalan. Sedikit demi sedikit Joy mulai merasakan dia seperti tidak memiliki seorang ibu.
Yah, dia tidak masalah karena dia juga tidak peduli dengan kasih sayang ibunya. Dia mulai terbiasa hidup dengan uang. Selama ibunya memberinya uang, dia tidak akan pernah komplain.
Begitulah hidupnya dia jalani dengan bersenang-senang mengikuti pergaulan teman-temannya. Berbelanja baju dan tas bermerk, pergi hingga larut malam dan sering ke luar kota bersama teman-temannya.
Meskipun hidupnya mulai diluar kendali dia tetap menjaga dirinya tak tersentuh oleh seorang pria. Bukan karena dia membenci pria karena alasan tertentu.
Tapi dia masih mengingat didikan kedua orangtuanya sejak dia masih kecil. Khususnya dari ayahnya yang selalu memberinya nasihat mengenai hal ini.
Seorang gadis haruslah menjaga martabatnya dan hanya memberikan keperawanannya pada suami di malam pertama pengantin mereka.
Meskipun dia tidak suka mengingat-ingat 'pria' itu, tapi yang dikatakannya masuk akal. Joy sendiripun tidak ingin menyerahkan dirinya pada sembarang pria. Khususnya tipe pria seperti 'pria itu'.
Karena itu dia sering dihina temannya karena selalu menolak untuk pergi ke klub malam. Joy sangat bersikukuh dan menjaga betul agar tidak terjebak kedalam pergaulan bebas mereka.
Dia bahkan rela untuk lepas dari mereka jika harga yang harus dibayarnya untuk berteman dengan mereka adalah keperawanannya. Namun, tampaknya merekalah yang tidak rela melepaskan Joy.
Seringkali Joylah yang menraktir mereka atau keluar dana yang paling besar. Itu sebabnya mereka tidak memaksa Joy dan terus melekat padanya.
Lambat laun, disaat dia berada di tahun terakhir SMA, dia mengetahui sesuatu yang mengejutkan. Berbagai macam perusahaan yang dikiranya adalah murni milik ibunya ternyata bukan seperti yang dibayangkannya.
Tidak ada satupun perusahaan tersebut adalah milik ibunya. Melainkan milik kelima saudara-saudara ibunya.