Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8: Merawatnya?

Hari sudah gelap, karena perintah Fahmi membuat Sasha tak sempat memasak sebelum pergi ke kos Fani. Beruntung ia membawa uang lebih dan berniat akan singgah di warung sebelum kembali ke rumah.

Masa bodoh dengan ibu mertua dan suami yang belum makan. Sasha tak peduli. Terpenting sekarang adalah dirinya yang menghadapi Fani, calon pengganti posisinya. Semoga saja perempuan itu mau, ia akan memberikan dengan sangat ikhlas.

Rara mengantarnya ke tempat ini, mereka bertemu di depan lorong dan temannya itu langsung mengiyakan untuk mengantar dan nanti akan menjemput saat pulang.

Saat itu pula Rara mengomelinya, mengatakan bahwa salah sendiri hanya membeli ponsel murah dan menolak membeli Smartphone. Sasha pikir zaman masih sama, ternyata untuk mencari ojek pun harus menggunakan aplikasi.

Sasha mengetuk pintu kamar nomor tujuh, sesuai yang dikatakan oleh Fahmi. Seorang perempuan membuka pintu, perempuan yang pernah dilihat Sasha bersama suaminya di warung Fatimah.

Fani nampak terkejut, kemudian menutup kembali pintu dengan cepat. Namun, Sasha tak kalah cepat untuk menghentikan, apalagi tubuhnya ini terbilang lebih berisi dari perempuan itu, dan tubuhnya pun lebih tinggi.

Jika mereka bertengkar saat ini juga, saling adu jotos, sudah pasti Fani yang akan kalah. Namun, kedatangan Sasha ke tempat ini bukan untuk mencari ribut, ia hanya sedang bernegosiasi.

"Fahmi yang nyuruh aku ke sini, nggak perlu takut, aku datang bukan nyari ribut atau ngumumin ke yang lain kalau kamu pelakor. Malahan aku lebih seneng kalau kamu secepatnya ambil laki-laki itu dari aku," ucap Sasha langsung pada intinya.

Ini gila, seharusnya ada sakit di dada ketika mengatakan itu. Namun, yang ada hanya rasa lega, karena bisa memberikan suaminya kepada perempuan lain. Ini lebih baik dan Sasha merasa bahagia.

"Maksud lo?" Fani tak lagi berusaha menutup pintu, tetapi perempuan itu tak membuka pintu lebar, pertanda tidak ingin Sasha masuk ke dalam.

"Kita bicara di sini aja atau di dalam? Karena kalau di sini, yang lain bisa denger." Ia hanya memberi saran yang benar, perempuan itu malah berpikir keras. "Tenang, aku nggak sekejam itu mau bunuh kamu. Lagi pula aku bawa anak, seorang ibu adalah madrasah pertama untuk anaknya, aku nggak ada niat ngajarin anakku menjadi pembunuh."

Fani menegang, sepertinya Sasha salah bicara. Namun, bukan berarti ia ingin menarik kata-katanya lagi.

"Ya udah, kalau nggak percaya, kita bicara di sini aja." Sasha duduk di depan pintu, memangku Alvaro dan bersiap untuk melanjutkan pembicaraan. "Kamu suka sama suamiku?" tanyanya.

Fani tak menjawab, terlihat jelas tubuh itu semakin menegang. Wajah pucat karena sakit, semakin pucat terlihat di mata Sasha.

"Aku cuma bilang, ambil saja. Aku nggak ada niatan buat ngelarang. Yang lebih penting bagiku sekarang membesarkan Alvaro tanpa ada kekerasan."

Fani mengerutkan kening, nampak tak setuju dengan perkataan Sasha yang terlalu pasrah. "Pantes aja Mas Fahmi selingkuh, ternyata lo kayak gini aslinya."

Sasha mengangkat alis, tak melepaskan tatapan pada perempuan itu. "Emangnya ... lo bakal tahan dibentak dan dipukul hampir tiap hari? Ya, kalau tahan, sih, nggak apa-apa, silakan, mau nikah malam ini pun nggak masalah," tukasnya.

Fani dia tak membalas, wajahnya pun tak berubah iba, entah apa yang ada dalam pikiran perempuan itu. Sasha tak bisa menerka, maka dari itu ia lakukan untuk memberi pembelaan.

"Lo mau kerja cuma buat ngasih makan mertua dan suami pengangguran? Setelah itu masih saja dimarahi, dipukuli, diselingkuhi, nggak ada enaknya jadi gue. Jadi, jangan sok ngehakimi gue, karena gue yang lebih tahu apa yang ada di dalam rumah itu." Mendengkus, kemudian langsung berdiri untuk segera pergi.

"Malahan sekarang dia nyuruh gue buat ngerawat selingkuhannya yang lagi sakit. Kayak gitu laki-laki yang bareng lo sekarang," tambahnya, kemudian angkat kaki dari tempat itu.

----

"Bangun kamu!" sentak seseorang sembari menarik tangannya, membangunkan paksa.

Sasha langsung mengumpulkan kesadaran, alarm bahaya di kepalanya berbunyi. Satu tamparan ia dapatkan, tak perlu bertanya apa salahnya, karena selama ini ia tak pernah benar di mata pria itu.

"Sini kamu! Bangun!" Fahmi menyeret Sasha turun dari ranjang, melemparkan ke depan lemari.

Ia tak bisa bangkit, karena Fahmi terus menendangnya. Sasha tak melawan, dibiarkan kaki itu memberikan rasa sakit, menginjak, rasanya seluruh tulang Sasha akan remuk.

"KAMU BILANG APA KE FANI, HAH!" histeris Fahmi. "KAMU BIKIN DIA PUTUSIN AKU!"

Sasha tak menjawab, dibiarkan pria itu histeris, bau alkohol tercium di dalam ruangan ini. Sudah pasti Fahmi adalah pelakunya, lagi-lagi karena efek alkohol membuat Sasha tersudut.

Mau membalas pun tak ada gunanya. Tidak didengarkan, tidak seorang pun yang akan menolong.

"Mama," panggil Alvaro, anak itu terbangun karena suara gaduh yang begitu dekat.

Tentu saja Sasha langsung bereaksi, ia hendak bangkit untuk menuju sang anak, tetapi satu tendangan membuatnya kembali tersungkur.

"DIAM DI SITU!" sentak Fahmi.

Suara tangisan Alvaro terdengar, anak itu menangis, pasti karena sangat ketakutan. Apalagi Sasha tak bisa meraih, maka ketakutan itu semakin besar karena sang ibu tak bisa memberi perlindungan.

"DIAAAM!" teriak Fahmi, sembari melemparkan benda ke arah Alvaro.

Anak itu tersentak, suara tangisnya berhenti sekian detik, bersamaan bunyi keras menghantam tubuh. Tak ada yang Sasha pikirkan lagi, selain menggerakkan tubuh, menuju Alvaro.

Ketika tangannya dapat meraih tubuh kecil itu, Alvaro kembali menangis dengan dahi yang sudah mengeluarkan darah segar.

Sasha tak memikirkan apapun lagi, diraupnya selimut untuk membungkus tubuh itu, kemudian berlari keluar dari kamar, melewati Rahmi yang terkejut melihat kondisi Alvaro saat ini.

"SASHA! KE MANA KAMU?! JANGAN KE MANA-MANA!" teriak Fahmi, mengejarnya dari belakang.

Namun, Sasha tak akan berhenti, membuka pintu utama dengan sangat cepat, kemudian berlari keluar rumah untuk mencari pertolongan.

Alvaro masih menangis, itu membuatnya sangat bersyukur, itu berarti anaknya masih dalam keadaan sadar, meskipun darah kunjung berhenti mengalir.

Ia tak punya tujuan, dengan kaki telanjang terus berlari mencari pertolongan di waktu tengah malam, di mana semua orang tengah terlelap beristirahat sebentar setelah beraktivitas.

Sampai di jalan raya, kendaraan jarang berlalu-lalang, mata Sasha langsung menuju rumah yang berdiri megah di seberang sana. Kakinya bergerak cepat menyeberang jalan, mendapati seorang satpam berjaga di pos, dengan alis bertaut menatapnya bertanya-tanya.

"Pak, Dokter Maya ada, Pak? Tolong saya, anak saya butuh pertolongan." Sasha tak sadar, air matanya mengalir entah sejak kapan.

Kepalanya tak memikirkan apapun selain keselamatan Alvaro, harus memaksa untuk melewati gerbang tinggi itu pun, Sasha tak peduli, asalkan Alvaro bisa mendapatkan penangangan.

"Anaknya kenapa, Bu?" tanya Pak Satpam, sambil membuka gerbang. "Astaghfirullah!" serunya ketika Sasha menunjukkan selimut yang ternodai darah segar.

----

Alvaro telah tertidur satu jam yang lalu, tetapi Sasha belum ingin meninggalkan anaknya itu. Mereka berada di ruangan yang terdapat empat brankar, masing-masing diisi pasien yang juga anak-anak.

Hanya anaknya yang masuk rumah sakit dengan alasan mendapatkan kekerasan dari sang ayah. Padahal, masih berumur di bawah lima tahun.

Tubuh Sasha masih terasa sakit, tetapi ia tak ingin menunjukkan pada siapa pun. Hanya saja, Maya malah menyadari hal itu, sudut bibirnya yang berdarah membuat wanita tersebut paham, apa yang terjadi sebelum Alvaro mendapatkan kekerasan.

"Sasha," panggil Maya, yang ternyata belum pulang ke rumah.

"Iya, Dok?" Sasha menoleh.

"Saya sudah selesaikan bagian administrasi, selanjutnya urusan kamu jelaskan ke polisi." Maya mengucapkan dengan tenang seakan tidak terganggu tentang apa yang akan terjadi.

"Dok, saya belum bisa ninggalin Al sendirian di sini." Bukannya menolak kebaikan, hanya saja Sasha masih ingin fokus kepada sang anak, urusan efek jera nanti saja.

"Kalau begitu, polisi yang datang ke sini, sekalian, kamu harus divisum," ucap Maya lagi, sembari berjalan mendekati Alvaro yang sedang tertidur. "Atau kamu mau lindungi orang yang tega sama anakmu?"

Sasha langsung menggeleng cepat. Sumpah mati, ia sangat ingin melihat Fahmi menderita, ditangkap polisi, dan otomatis Sasha terlepas, tinggal bagaimana ia mengurus perceraian.

"Saya bersedia, Dok." Memantapkan hati untuk melawan pria itu.

Maya tersenyum, kemudian merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel dari sana. Setiap gerakan wanita itu, terlihat menawan di mata semua orang yang melihat. Begitupun dengan Sasha, betapa ia mengagumi wanita itu, sejak peduli padanya di warung Fatimah.

"Tunggu di sini, polisi akan datang meminta keterangan," ujar Maya.

Sasha mengangguk, ditatapnya Alvaro yang masih tertidur. Teringat lagi kejadian beberapa jam yang lalu, di mana tangis anak itu terhenti sekian detik akibat kaget mendapatkan perlakuan kasar. Lalu, jangan lupakan dara segar yang mengalir, Sasha tak bisa berpikir apapun saat itu, selain keselamatan sang anak.

Sudut mata Sasha kembali basah, malam ini terlewati atas bantuan Maya. Ia tak bisa mengucapkan apapun selain rasa terima kasih.

"Ah, Dok," Sasha teringat sesuatu, "nanti uangnya saya ganti," ucapnya, merasa tak enak pada Maya.

"Nggak usah." Maya langsung menolak. "Sebagai gantinya, kerja di rumah saya, nanti saya sediakan kamar. Baru-baru ini ART ada yang pulang kampung, saya kekurangan orang. Kamu mau, 'kan?"

Sasha menelan ludah, ditatapnya wanita itu. "Saya jadi nggak enak, Dok."

Maya menggeleng. "Anggap ini rezeki. Lagi pula, Alvaro butuh suasana baru untuk tumbuh."

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel