Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9: Lepas!

Rara menjemput Sasha dari rumah sakit, tujuan mereka adalah pulang ke rumah untuk mengambil pakaiannya dan Alvaro, untuk segera dibawa ke rumah Maya.

Ya, keinginan Sasha sudah bulat, setelah Alvaro diperbolehkan pulang, ia akan langsung bekerja di rumah wanita penolongnya itu.

"Mbak Indri baik banget, mau jagain Alvaro," ucap Rara, saat mereka berjalan menuju area parkir. "Aku tahu ada yang pengin kamu tahu, aku ceritain di mobil nanti."

Ternyata temannya itu bisa membaca raut wajahnya. Laporan telah selesai, Sasha pun sudah divisum, seharusnya pria itu telah dibawa ke kantor polisi. Itulah yang ingin sekali ia dengarkan dari Rara.

Menunggu Indri yang menceritakan, rasanya tidak mungkin. Wanita itu tidak akan membeberkan aib seseorang, lebih baik dipendam, meskipun Sasha bertanya pun, pasti jawabannya, 'lihat ke depan'.

Sasha duduk di jok penumpang, bersandar untuk mencari posisi nyaman. Ia hanya tertidur satu jam, setelah polisi selesai meminta keterangan.

Orang tua pasien yang sedang menjadi sang anak, terlihat begitu ingin tahu dengan kejadian yang dialami ia dan Alvaro. Tentu, kedatangan pria berseragam yang membuat rasa ingin tahu itu menjadi bertumpuk.

Rasanya sangat iri, ketika melihat seorang ayah begitu perhatian kepada sang anak yang sedang sakit. Ya, ketiga pasien anak-anak yang berada di ruangan sama dengan Alvaro, nampak hidupnya begitu lengkap. Hanya anaknya saja yang terlihat berbeda.

"Dia ditangkap tadi subuh," ucap Rara, memulai cerita. "Aku kebangun gara-gara ibu gedor pintu kamarku. Ibu nyuruh aku buat nyariin kamu, eh ... ternyata kamu nggak bawa HP. Untung ketemu Dokter Maya di warung."

"Aku nggak tahu harus bawa Alvaro ke mana, otakku mendadak buntu karena panik. Sampai di jalan raya, mataku nggak sengaja lihat rumah Dokter Maya, akhirnya aku minta bantuan ke dokter," jelasnya.

"Berarti kamu benar-benar panik sampai rumahku aja dilewati." Rara menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan kejadian malam itu. "Aku langsung ke rumahmu, ngelewatin Fahmi yang ngelawan pas ditangkap. Aku cari ke kamarmu, tapi kamu sama Al nggak ada. Tante Rahmi nangis-nangis nggak mau anaknya ditangkap."

Rara mendengkuskan tawa meledek, perempuan itu terlihat puas dengan apa yang terjadi hari ini. Bukan hanya Rara, Sasha pun merasakan hal yang sama. Kali ini ia tak ingin memberi ampun, tak ingin kasihan, apapun yang terjadi, kasus ini akan berlanjut.

Setelahnya Sasha tinggal mengurus cerai.

"Nanti, temenin aku ngurus cerai," pintanya pada Rara.

"Apa pun itu, asalkan kamu lepas dari Fahmi, aku bakalan anterin kamu ke mana pun." Rara mengulurkan tangan, menepuk bahu Sasha.

"Ra, makasih, selama ini kamu udah baik sama aku."

Perempuan itu menoleh sekilas, kemudian kembali fokus ke jalanan. "Jangan ngomong gitu, yang gue lakuin belum apa-apa, sebagai manusia membantu memang hal wajar."

"Apa salahnya kamu balas sama-sama?" Sasha mengerutkan kening.

"Biar aku kelihatan keren," balas Rara, mengedipkan sebelah matanya, "by the way, kamu belum cerita kejadian semalam kayak gimana. Emangnya, Fahmi marah gara-gara apa?"

Sasha menghela napas. "Sebelum balik ke rumah sakit, kita singgah di kosan yang semalam kamu anterin aku," pintanya lagi.

Beruntung temannya ini begitu baik, tak masalah jika ia meminta bantuan berkali-kali. Selalu saja diberi pertolongan. Fahmi salah ketika mengatakan Sasha dijadikan kacung oleh Rara. Nyatanya, malah ia yang merasa tak enak karena lebih sering meminta tolong.

----

Rumah itu hampa, tak ada kehidupan. Bisa dilihatnya pot bunga berserakan di teras, saat ia membuka pagar kayu tersebut, dapat dirasakannya ketegangan yang luar biasa.

Meskipun keadaan sudah sangat aman, tetapi Sasha masih merasa waspada ketika masuk ke rumah ini. Mungkin karena terbiasa, hanya saja sedikit pun tak bisa menurunkan ketegangannya.

"Assalamualaikum," salamnya, sembari membuka pintu.

Ditelannya ludah susah payah, mendapati rumah begitu berantakan. Namun, Sasha tak berminat untuk membersihkan, ia abaikan semua kekacauan itu dan masuk ke dalam kamar.

Sasha segera menuju lemari, memasukkan pakaian sang dan pakaian miliknya yang hanya beberapa. Di lihatnya robot maina Alvaro berada di atas kasur, sebuah benda yang Fahmi lemparkan pada sang anak untuk menyuruh diam.

Sungguh, sebagai ibu, Sasha tak terima anaknya diperlakukan seperti itu, maka sampai kapanpun ia tidak akan menarik kasus ini meskipun Rahmi atau Fahmi bersujud di kakinya.

"Akhirnya kamu pulang juga," ketus seorang wanita. "Gara-gara kamu, anak saya dibawa polisi!"

Sasha hanya menghela napas, mendengarkan Rahmi yang histeris. Ia lanjutkan aktivitas memasukkan pakaian ke dalam tas, begitu pula dengan mainan milik Alvaro. Kecuali robot itu, hanya akan menimbulkan luka jika membawanya.

"Kamu dengar saya, Sasha!" sentak Rahmi, meminta perhatian.

"Nggak, di sini Sasha nggak salah, Mas Fahmi yang tiba-tiba datang mukul Sasha. Alvaro kebangun dan nangis. Dia, anak Ibu yang kurang ajar itu, malah lemparin Al pakek benda ini." Sasha menunjukkan robot mainan sepanjang 10 cm, palu membuangnya ke sudut ruangan.

Setelah memastikan tas tersebut tertutup rapat, Sasha mengangkatnya dan menuju keluar kamar, melewati Rahmi yang tak melepaskan pandangan ke arahnya.

"Sasha pergi, Bu, jangan cari Sasha lagi," ucapnya, tanpa menoleh ke wanita itu.

"Enak aja!" bentak Rahmi, menarik tangan sang menantu. "Kamu udah bikin anak saya masuk penjara, seharusnya kamu tanggung jawab buat ngasih saya makan!"

Sasha mendecih, ditatapnya wanita itu dengan mata merendahkan. "Ibu bener-bener nggak punya perasaan, ya. Salahin semuanya ke anak Ibu, saya nggak ada urusan dengan hidup Ibu. Lagian, ada dan tidak adanya Fahmi, Ibu tetap nggak bakal dikasih makan sama dia." Mendengkus, sembari menarik tangannya yang digenggam oleh Rahmi.

Ia melangkah keluar rumah, tanpa mengucapkan salam ataupun pesan tersirat. Rara sudah menunggunya di depan sana, untuk mengantarkan ke rumah Dokter Maya, lalu ke kos milik Fani untuk mengatakan sesuatu, dan setelahnya kembali ke rumah sakit.

"BERHENTI KAMU SASHA!" teriak Rahmi, mencegahnya untuk masuk ke mobil. "SAYA BILANG, BERHENTI!"

Sasha tak menggubris, ia duduk tenang di dalam mobil, Rara berdecak tak habis pikir dengan perkataan yang keluar dari mulut Rahmi.

Berhenti katanya. Untuk apa? Menjadi kacung di rumah itu lagi?

Bodoh, Sasha mana mau melakukan hal itu. Ia sudah lepas dari semuanya, kesabaran yang ia tumpuk selama ini, akhirnya membuahkan hasil.

Tinggal bagaimana ia bisa hidup bersama Alvaro, memberikan cinta dan kasih sayang, menggantikan sosok ayah dalam hidup anaknya. Ya, Sasha sudah bebas sekarang.

Bening itu menumpuk di pelupuk mata, kala meninggalkan rumah yang sudah ditempatinya selama empat tahun. Bukan kesedihan yang ia rasakan, melainkan rasa syukur.

"Aku bebas, Ra," lirihnya, kemudian tak sanggup untuk membendung tangis itu.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel