7: Penjelasan
"Kamu kerja di Maya, tapi masih mau ngurus Putra. Maaf, udah bikin repot." Maryam memulai percakapan setelah Putra membawa Alvaro bermain bersama Jessi dan Junior.
Sasha menggeleng tegas. "Putra sama sekali nggak bikin repot, dia nggak pernah memberatkan saya untuk melakukan sesuatu."
"Dulu dia nggak gitu," Maryam tersenyum tipis, menatap tanaman di depan mata, dengan tatapan menerawang. "Nakal banget, orang-orang udah nggak mau sama dia, termasuk Maya. Lebih baik dia ngurung diri di kamar, daripada ladenin nakalnya Putra, bikin dia nggak bisa nahan diri buat ngelakuin hal kasar."
Sasha sudah mendengarkan cerita ini, langsung dari yang bersangkutan. Kalau dulu ia cukup terkejut dengan sikap Maya, tetapi sekarang ia merasa datar.
"Pernikahan Mahendra dan Dara terjadi karena kesalahan saya. Memaksa itu nggak baik, ternyata," ucap Maryam, menyadari kesalahan di masa lalu. "Ujung-ujungnya, anak yang harus nanggung kesalahan saya."
Sasha menelan ludah susah payah, saat ini pengakuan Maryam menjelaskan bahwa Dara benar-benar tidak selingkuh, tetapi Maryam-lah yang merebut kebahagiaan wanita itu.
Apa yang dijelaskan Rara memang benar adanya. Namun, sosok itu terlihat mulai membuka mata, seperti tak ingin melakukan kesalahan yang sama.
"Mahendra terlalu fokus pada karir, buat saya khawatir dia nggak bakal menikah. Akhirnya saya nemuin orang yang pas menurut saya, tapi tutup mata kalau orang itu punya kebahagiaan lain." Maryam masih terus menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu.
Sebenarnya, Sasha merasa kurang pantas mendengarkan masalah ini, karena ia hanya bawahan. Dina saja yang sudah lama bekerja bersama Maryam, malah mengetahui karangan belaka, yang bukan kenyataan.
Namun, sikap Maryam yang menceritakan semuanya kepada Sasha, membuat alarm di kepala berbunyi keras. Ya, wajar saja ia curiga, karena wanita itu pernah membuat kesalahan fatal.
"Kali ini saya biarkan Mahendra melakukan semaunya, tetapi nyatanya anak saya itu sangat payah soal perempuan." Maryam tertawa sembari mengelap sudut mata yang berair.
Sasha belum juga menanggapi, tak tahu harus membalas apa. Biarkan saja Maryam terus bercerita, lagi pula menyela ucapan orang tua sama saja tidak sopan. Ya, begitulah pikir Sasha.
Maryam menatapnya, untuk yang kesekian kali di hari ini. Sasha bersiap menunggu apa yang akan diucapkan wanita itu. Senyum beliau lembut, penuh permohonan.
"Saya titip Putra, sama kamu dia nggak nakal lagi," ucap Maryam, penuh Permohonan. "Untuk sekarang, hanya itu yang bisa saya minta ke kamu."
Menghela napas pelan, Sasha mengangguk bersedia. Lagi pula, anak itu sudah terbiasa bersamanya, dan tidak membedakan kasta. Terbukti saat Putra mau makan sepiring bersama anaknya.
"Meskipun ayahnya punya waktu bareng dia, tapi sebenarnya Putra kesepian kalau ayahnya bekerja. Mau main bareng Jessi dan Junior, yang ada Maya sering jauhin anaknya dari Putra."
Ya, begitulah yang terjadi pada keluarga ini sebelum Sasha datang. Maya memang mengatakan pada Sasha, tidak mengizinkan Jessi dan Junior untuk bermain bersama Putra, ada baby sitter yang selalu menjaga di sisi kedua anak itu.
----
"Terus?" Sasha mendengarkan apa yang keluar dari mulut Rara.
"Ibuku marah ke mertuamu—"
"Dia udah bukan mertuaku," ralat Sasha.
"Ah, Bu Rahmi kena marah sama Ibuku, terjadi adu mulut di dapur. Akhirnya Bu Rahmi nggak tahan, terus pulang, deh. Sampai sekarang nggak balik kerja, malu kayaknya." Rara mendecih. "Giliran gitu malu, waktu nyebar fitnah, santai aja dia."
"Terus, si Mira gimana?" tanya Sasha, sembari menahan pergerakan Alvaro yang hendak berjalan ke tepi jalan.
Ya, mereka sedang berbicara tepat di depan gerbang rumah Dokter Maya. Sore ini Sasha bertemu Rara saat perempuan itu melakukan lari kecil di depan warung Ibu Fatimah. Niat awal Rara untuk olahraga, ujung-ujungnya malah meng-ghibah.
"Udah diam dia, dikeroyok tetangga di komentar posting-annya. Jangan hirauin mereka, Sha, kamu fokus aja besarin Alvaro." Rara mendengkus, sembari mengangkat dagu. "Biar aku yang urus mulut-mulut kotor itu."
Sasha tertawa geli. Rara memang suka semaunya. Jikapun Sasha masih belum memiliki Alvaro, pasti ia sendiri yang akan turun tangan menghadapi mantan ibu mertuanya itu.
Namun, ia tidak ingin melakukan hal tersebut karena beliau adalah nenek dari anaknya. Sama saja Sasha mengajarkan Alvaro untuk bersikap kasar pada orang tua.
Tidak, Sasha ingin anaknya sopan, menghargai orang yang lebih tua, dan menyayangi sesama. Bukan anak yang suka berbuat onar dan membalas rasa sakit dengan sakit pula.
"Mira baru mau kuliah, tinggal di rumah Bang Fahmi karena kampus dekat dari sini. Eeh ... si Bu Rahmi malah ceritain yang nggak bener tentang kamu. Nyari pembelaan dia, tapi malah fitnah."
"Aku sebenarnya nggak masalahin, Ra, tapi keluargaku terlanjur tahu," ujar Sasha. "Mereka marah, sampai katanya mau lapor polisi karena udah nyangkut nama baik."
"Aku setuju, Sha!" pekik Rara, mata itu berbinar dan bibir tersenyum licik.
"Tapi aku nggak mau memperpanjang masalah, yang penting aku udah selesai sama mereka." Sasha langsung membuat Rara cemberut, temannya itu seperti kehilangan permainan yang berharga.
"Yaaah ...." Rara mendengkus.
"Kamu bilang tadi fokus aja ke Alvaro, kenapa malah kecewa gini?" Sasha tersenyum geli dengan kelakuan Rara.
Temannya itu langsung menatap Sasha dengan wajah garang. "Itu demi kebaikanmu, Sha, setidaknya mertuamu itu dapat efek jera."
"Dia udah jera, kok," Sasha percaya, wanita itu akan menyerah mengganggu hidupnya. "Hujatan itu berefek banget bagi hidup seseorang."
"Waduh, omonganmu terlalu berat." Rara berdecak. "Sangking beratnya, ada yang sampai bunuh diri."
"Nah, itu tahu," sela Sasha. "Makanya, diam aja. Para tetangga udah tahu kenyataannya, karena kesalahan Fahmi ninggalin bekas, bahkan ke anaknya sendiri."
---
Sasha mengangkat pakaian dari jemuran ketika baru saja sampai di rumah. Mertuanya tidak akan melakukan hal tersebut, meskipun tahu bahwa ia sedang bekerja.
Sudah dicucinya, dijemur, bahkan disetrika, tetapi membantu hal kecil saja seperti alergi untuk melakukannya. Sasha sedikit penasaran, bagaimana jika di rumah ini tak ada dirinya.
Sasha menaruh tumpukan pakaian itu ke atas meja yang berada di sudut ruang tamu. Nanti, setelah mandi, akan ia setrika semua pakaian itu.
"Al, mandi dulu," ajaknya pada sang anak yang bermain di sofa.
Jangan kira sofa yang mahal seperti punya artis, itu sama sekali tidak mungkin. Hanya sebuah perabotan lama yang mungkin sekarang sudah tak diproduksi lagi.
Jika Rahmi adalah ibunya yang di kampung, mungkin benda ini sudah dibuang karena tak enak untuk dipandang lagi. Ya, begitulah ibunya, sangat menjunjung tinggi omongan orang lain. Sofa yang sudah rusak, di mata sang ibu seperti aib.
Mungkin sifat itupun yang diturunkan kepada Sasha sekarang. Bagaimana ia tak ingin pulang ke kampung jika belum mendapatkan sesuatu yang layak untuk dipamerkan. Namun, akhirnya Sasha sadar, tak ada yang bisa dibawanya pulang selain Alvaro dan kabar tentangnya yang tak akur dengan suami.
"Wuuu ...." Sasha mengguyur tubuh kecil itu dengan air, setelah menggosokkan sabun di tubuh.
Alvaro melompat-lompat karena kesenangan. Ya, mungkin di rumah ini hanya air yang disukai oleh anak itu. Jika ditanya, sudah lama Alvaro tak digendong sang ayah, atau sekadar menjaga dikala Sasha mengerjakan pekerjaan rumah.
Anak itu memilih bermain di dalam kamar, tanpa tertawa, atau mengeluarkan kata-kata seperti anak berfantasi pada umumnya. Alvaro lebih banyak diam, hanya suara roda mobil mainan yang terdengar di ruangan tersebut.
"Di sini ternyata."
Suara berat itu membuat Sasha menoleh sekilas, kemudian kembali memandikan Alvaro.
"Cepet mandinya, aku ada perlu sama kamu," ucap Fahmi, kemudian berlalu menuju ruang tamu.
Sasha segera memakaikan handuk di tubuh Alvaro, membungkus anak itu agar tidak kedinginan. Ada rasa tak ingin mendengarkan pria itu, karena memang sudah jenuh dengan semuanya.
Itu sebabnya ia melewati Fahmi yang berada di ruang tamu, dan menuju kamar untuk memakaikan pakaian ke Alvaro.
Derap langkah berjalan cepat ke kamar, Fahmi ada di sana, memasang wajah kesal karena Sasha tak menghiraukan perintahnya.
"Ngelawan, ya," geram Fahmi.
Sasha berdecak. "Nggak lihat aku lagi ngapain? Kalau aku ladenin kamu, yang ada Alvaro kedinginan. Gitu aja nggak bisa dipikir." Mendengkus.
Fahmi diam, memilih untuk memperhatikan Sasha memakaikan pakaian kepada Alvaro. "Habis ini ke kosan Fani, dia lagi sakit. Urusin, aku nggak tahu ngurusin orang sakit."
Otomatis Sasha menoleh dengan wajah tak habis pikir. "Gila kamu?" umpatnya.
"Sayangnya aku masih waras. Udah sana, aku nggak punya uang buat ngurusin dia."
"Emang dia siapaku? Mending aku habisin duit buat Alvaro, ngapain ngurusin orang lain." Mendengkus kesal, Sasha menantang tatapan itu.
"Ngelawan?" Fahmi berkacak pinggang, menatapnya nyalang.
Sasha tak membalas, diikuti saja permainan pria itu. Mungkin dengan bertemu Fani, posisinya saat ini bisa digantikan perempuan itu. Maka ia bisa lepas, hidup tenang, mencari pengganti Fahmi.
Ah, itu baru terpikirkan. Mungkin iya, Sasha harus lepas dari Fahmi dan mencari pendamping yang lebih bisa menghargai.
"Aku mandi dulu kalau gitu." Sasha menggendong Alvaro, dan mendudukkan di sudut ruangan. "Al di sini dulu, ya. Mama mau mandi."
Dibandingkan menitipkan kepada sang ayah, Sasha lebih baik menyuruh anaknya main sendiri di sudut kamar. Bukan apa-apa, ia tak ingin anaknya tertular sifat kurang ajar dari Fahmi. Lagi pula, pria itu mana mau main bareng Alvaro.
--