Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6: Kabar

Dua hari ini rasanya sangat aman, Fahmi ataupun Rahmi tak cari gara-gara dengannya. Mungkin pria itu menceritakan pada sang ibu tentang apa yang terjadi di warung Fatimah waktu itu.

Beberapa kali saat Sasha mempersilakan Rahmi untuk makan, wanita itu tak kunjung keluar dari kamar. Saat ia dan Alvaro memilih tidur, barulah dapur terdengar suara sendok bertemu piring. Gengsi, begitulah yang terjadi.

Seperti malam ini, lagi-lagi Rahmi tak langsung menuju ruang makan ketika Sasha memberitahu bahwa makanan sudah siap. Wanita itu mengurung diri di kamar.

Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 22:35, tetapi belum ada tanda-tanda bahwa orang di dalam sana sedang menahan lapar. Sasha hanya bisa berharap, semoga saja masih hidup.

Ia sengaja kembali duduk di dapur, setelah menidurkan Alvaro di kamar. Hanya satu keinginan Sasha, memergoki Rahmi yang akan makan, lalu melayangkan tatapan penuh ledekan. Ya, setidaknya wanita itu mendapatkan sedikit pelajaran darinya.

Lima menit menunggu, akhirnya yang diinginkan terjadi juga. Rahmi terkejut ketika mendapatinya masih terbangun dan kini sedang duduk santai sembari menikmati teh yang berada di atas meja makan.

"Ngapain kamu?" tanya wanita itu.

Sasha hanya mengangkat gelas, sebagai jawaban. Rahmi berdecak, lalu memutar tumit kembali ke kamar.

"Dih, sok gengsi, padahal lapar." Ia menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan kelakuan wanita itu.

Setelah menghabiskan minumannya, Sasha mencuci gelas tersebut kemudian kembali dalam kamar. Bukan apa-apa, takutnya wanita itu akan mati kelaparan jika ia terus-menerus di dapur dan tidak berniat untuk tidur.

Begitu saja cukup, melihat wajah Rahmi yang kehilangan keangkuhan, membuatnya ingin tertawa keras. Besok dan besoknya lagi, entah apa yang akan terjadi. Meski begitu, Sasha yakin semua ini bisa dibalasnya.

---

"Ini abang kamu?" tanya Rara, sembari memperlihatkan layar ponsel kepada Sasha.

"Iya," jawabnya, menatap ponsel itu dengan kerutan di dahi, "kenapa kamu bisa dapet FB abangku?"

"Aku ubek-ubek pertemanan FB-mu." Rara kemudian berlalu, meninggalkannya di depan bak cuci piring.

Sasha tak memusingkan lagi, segera kembali melanjutkan pekerjaan. Ia sudah lama tak berselancar di Facebook, mungkin terhitung tahun.

Saat ponselnya rusak, saat itu pula terakhir ia menghubungi keluarganya. Berpikir mereka akan gelisah rasanya tak mungkin, karena tidak seorang pun datang ke Depok untuk mengunjunginya.

Luka itu masih sama, siapa pun pasti sulit memaafkan. Kuliah di kampus swasta, tentu membutuhkan banyak uang untuk membayar semester. Untuk masuk saja, orang tuanya menghabiskan hampir puluhan juta.

Lalu, dengan tanpa berpikir panjang, Sasha malah mengecewakan dan memberi luka. Marah, kecewa, kepercayaan hilang, peduli tak sama seperti sebelumnya, inilah yang harus diterima Sasha.

Setelah menyelesaikan cucian, Sasha menuju kursi yang berada di sudut ruangan. Secangkir teh dinikmatinya, sembari menunggu piring kotor dibawa oleh karyawan lain dari ruang depan.

"Sasha!" panggil Rara heboh, "abang kamu nelepon."

Tentu Sasha langsung berdiri, diterimanya ponsel yang diberikan oleh Rara. Temannya itu kemudian berlalu setelah memberikan ponsel tersebut.

Sasha menelan ludah, kemudian menempelkan benda itu ke telinga. "Halo," sapanya.

"Sha?"

Suara itu terdengar senang ketika mendengarkan suaranya. "A."

"Kamu kenapa baru bisa dihubungi sekarang?"

"A," panggilnya lagi.

Ingin sekali Sasha menumpahkan segala penderitaan kepada lelaki itu, tetapi mulutnya kelu, terlalu sibuk menahan tangisan yang hampir meledak.

Tidak, Sasha tak ingin membuat khawatir. Ini risiko yang harus diterimanya, orang-orang yang pernah ia kecewakan tak perlu untuk menanggung.

"Aa apa kabar? Bapak sama ibu sehat?" tanya Sasha, duduk di kursi dan berusaha menenangkan diri.

"Sehat. Kamu sama Alvaro sehat?"

"Iya, kami sehat." Sasha memperhatikan karyawan yang berlalu-lalang, sedikit takut kena teguran karena menelepon di saat kerja.

"Nomormu udah nggak aktif," ucap Ari, "kasih tahu di sini, nanti Aa simpan."

Sasha menggigit bibir, ada rasa menggelitik ingin minta dijemput. Namun, untuk saat ini jangan dulu, memar di wajah belum menghilang sepenuhnya. Bisa-bisa mereka curiga dan malah menjadi masalah.

"HP aku udah rusak, A."

Terdengar helaan napas di ujung sambungan. Mungkin masih bisa dimaklumi, tetapi akan aneh jika sang kakak bertanya soal nomor ponsel Fahmi yang juga sudah tidak aktif.

"Nomor Fahmi juga ikutan nggak aktif. Kalian jatuh miskin sampai HP aja udah nggak punya dua-duanya?"

Tentu langsung ketahuan, Sasha tak perlu menyalahkan kakaknya yang bisa menebak. Tak juga menyalahkan dirinya yang tidak segera membeli ponsel baru, karena memang keadaan tidak memungkinkan.

"Fahmi kerja apa, sampai HP aja nggak bisa kebeli?"

Lagi, inilah yang tidak disukai Sasha. Keluarganya begitu memandang rendah sang suami yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Ini pun salah satu sebab mengapa ia tak mencari bantuan kepada keluarga.

Mungkin Sasha pun akan mendapatkan ucapan yang sama, menjatuhkan, menyalahkan, dan tentu hinaan pun tidak akan lepas. Sejauh ini, ia terus mengatakan pada diri sendiri bahwa bisa melewati semuanya.

"Kirim nomor rekening kamu, Aa transfer uang buat beli HP," ucap tegas lelaki itu.

"Nggak usah, A." Sasha langsung menolak.

Jika orang tuanya sampai tahu, pasti ia akan mendapatkan lebih banyak hinaan. Belum lagi saudara-saudara ayah dan ibunya. Ah, jangan harap Sasha akan merasa tenang jika kembali ke Sukabumi.

Keluarganya cukup terpandang di kampung, memiliki sawah berhektar-hektar, kebun, ternak, dan jabatan sang kakak di kantor desa membuat derajat keluarga mereka semakin tinggi.

"Atau Aa minta Rara buat pinjemin no rekeningnya. Aa transfer ke dia. Jangan membantah, kamu hidup susah aja sombong banget," cerca sang kakak.

Sasha memejamkan mata, kemudian menarik napas. Ego harus diturunkan, setidaknya bisa mencukupi kebutuhan Alvaro. Anak itu tak pernah lagi minum susu, tubuhnya kurus seakan tak terurus.

"A, aku harus balik kerja, nanti tanyain aja nomor rekening ke Rara," ucapnya.

Sasha berdiri dari duduk, buru-buru mencari Rara ketika melihat tumpukan piring kotor yang dibawa oleh salah satu pegawai ke bak cuci piring. Prinsipnya adalah, tidak menumpuk pekerjaan.

"Kamu kerja?" Sang kakak kaget mendengarkan ucapannya. "Fahmi nyuruh kamu kerja?"

"Nggak, A, aku sendiri yang mau," selanya. "Udah ya, A. Ini HP-nya aku kasih ke Rara, Aa tanyain aja nomor rekening ke dia." Memberikan ponsel kepada perempuan yang duduk di meja kasir.

"Udah?" tanya Rara.

"Aa mau ngomong ke kamu, aku balik kerja dulu." Sasha segera angkat kaki menuju bak cuci piring.

Sejujurnya, ia merasa bahagia mendengar bahwa sang kakak akan mengirimkan uang. Ada rasa menggelitik ingin langsung menghabiskan semuanya untuk dirinya dan Alvaro.

Mungkin karena sudah terlalu lama tidak memegang uang banyak, maka sedikit norak ketika mendengar akan transfer uang oleh sang kakak. Rasanya seperti bisa membeli dunia.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel