Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Pengkhianat

Bagas memijit keningnya yang mulai berdenyut pusing.

Sudah sejak  tiga jam yang lalu ia berusaha menghubungi Audriana, namun ponsel gadis itu selalu tidak aktif. Dan kini ia sangat khawatir, cemas juga... menyesal. Sangat menyesal.

Ya Tuhan. Apa yang ada di dalam pikirannya ketika memutuskan untuk menukar keperawanan kekasihnya sendiri dengan promosi jabatan menjadi Manajer?

Dia benar-benar sudah gila!

Silau akan jabatan yang sudah diidam-idamkan sejak lama membuat Bagas gelap mata dan memutuskan hal yang tidak akan pernah bisa diterima oleh hati nurani.

Sambil mendesah keras, Bagas berdiri dari kursi kerjanya dan memutuskan berjalan menuju bagian pantry untuk menyeduh secangkir teh hangat.

"Hai, Bagas. Mau ke pantry?" Seorang wanita dengan make up tebal dan rok mini ketat menyapanya sambil tersenyum manis. Namanya Lisa, salah satu staf keuangan sama seperti Bagas.

"Oh. Hai, Lisa. Ini mau ke pantry bikin teh," sahut Bagas sambil lalu. Pikirannya masih fokus kepada Audriana yang telah menghilang terlalu lama bersama Jaxton Quinn. Tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di lengannya, dan Bagas pun menoleh dan menatap bingung kepada Lisa yang tiba-tiba saja sudah memeluk satu lengannya dengan manja.

Kedua buah dada montok dan padat wanita itu terasa menyenggol lengan kekarnya, membuat Bagas kaget dan salah tingkah. Dengan rikuh, perlahan ia pun melepaskan tangannya dari Lisa.

"Kebetulan aku juga mau menghangatkan makan siang di microwave. Boleh bareng?" Lisa kembali memamerkan senyumnya yang manis kepada Bagas.

"Ya, tentu saja boleh," sahut Bagas ringan, yang langsung membuat Lisa berbunga-bunga.

Pantry kantor ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Selain mesin kopi instan, tersedia juga microwave dan dispenser air dingin dan hangat. Juga disediakan piring-piring serta gelas yang bisa digunakan para karyawan yang membawa bekal dari rumah. Kursi-kursi empuk ditata mengelilingi meja bundar berukuran sedang.

Bagas duduk di salah satu kursi setelah untuk menyesap teh hangat yang baru saja ia seduh sendiri, sambil terus terpaku pada layar ponsel yang ia pegang. Resah terus mendera pikirannya karena hingga waktu makan siang, Audriana masih belum ada kabar beritanya.

Gadis itu memasuki ruang CEO sejak pukul tujuh pagi, dengan diantarkan oleh Bagas sendiri. Dan sejak itu pula, Audriana tidak terlihat lagi.

Apa Mr. Jaxton memperlakukan kekasihnya itu dengan kasar? Apa Audriana... sudah memberikan kepewaranannya kepada CEO itu??

Bagas menelan salivanya yang mendadak terasa pahit. Serbuan rasa bersalah pun kembali bertubi-tubi menyerangnya rasa kemanusiaannya.

"Maafkan aku, Audriana..." tanpa sadar ia pun mengguman sambil melamun.

"Hah?" Bagas tersadar dari lamunannya saat sepiring steak tiba-tiba tersaji di depannya.

"Ini untuk kamu. Sekarang kan waktunya makan siang, tapi aku lihat kok cuma ada teh di meja kamu," cetus Lisa yang tersenyum geli dan menempati kursi di sampingnya.

"Oh, thanks Lisa. Tapi ini kan bekal makan siang kamu?" Tanya Bagas.

"Aku bawa dua kok. Ehm... kebetulan, aku memang sudah lama ingin mengajak kamu makan siang. Tapi selama ini aku lihat kamu jarang banget keluar di jam istirahat. Dan sekalinya keluar, pasti dijemput sama cewek," tukas Lisa panjang lebar. "Pacar kamu ya?"

Bagas mengangguk, lalu kembali melirik layar ponselnya yang telah gelap. "Iya, dia pacar aku," sahutnya lesu. 'Pacar yang telah aku jerumuskan ke dalam lembah nista hanya demi promosi sialan itu', pikir Bagas pahit.

"Ooh, pantesan kalian mesra banget. Aku sampai iri, lho," balas Lisa dengan senyum yang tak pernah lepas terkulum di bibir berperona merah menyala miliknya.

Bagas hanya memberikan senyum sopan kepada Lisa yang ia rasa semakin aneh, karena tiba-tiba saja tangan berjemari lentik itu sudah mengusap-usap lengannya yang terbalut kemeja hitam.

"Lisa, sorry. Ini nggak enak kalau sampai dilihat pekerja lain." Bagas pun kemudian menarik tangan Lisa dari lengannya.

"Jadi kalau nggak ada yang lihat, boleh dong?" Ucap Lisa sambil mengerling genit. Tangannya itu pun kini dengan nakal bergerilya di bawah meja, mengelus-elus paha Bagas dari balik balik celana panjang chinos-nya.

Bagas merasakan darahnya berdesir hebat karena jemari lentik Lisa yang sengaja menyenggol bagian sensitifnya. Bagaimana pun Bagas adalah lelaki muda yang berorientasi normal, rayuan agresif seperti yang dilakukan Lisa membuat hasratnya seketika melambung tinggi dan ingin sekali meladeni wanita itu--jika saja dia belum memiliki Audriana.

"Kayaknya aku harus kembali ke meja," cetusnya dingin sembari menyingkirkan tangan Lisa dari pahanya, dan bergegas berdiri. "Duluan, Lis," ucapnya sambil bergegas keluar dari pantry dengan terburu-buru.

Sementara itu, Lisa hanya tertawa kecil mendapati penolakan Bagas yang terlihat lucu sekali di matanya. "Sudah lama aku naksir sama kamu, Bagaskara," gumannya sembari tersenyum dan memandangi lekat punggung lelaki itu.

'Dan sikap kamu yang dingin itu membuat aku semakin gemas. Tak sabar untuk merasakan bermain di ranjang bersama kamu', batin Lisa dalam hati dengan menggigit bibirnya membayangkan momen erotis bersama Bagaskara.

***

Audriana dikawal oleh dua orang bodyguard berbadan besar ketika keluar dari kamarnya menuju ruang makan yang sangat mewah. Ada banyak kursi-kursi yang berjejer berukiran rumit berwarna putih-emas, serta meja panjang yang terbuat dari granit.

Chandelier kristal berkilau berwarna kuning redup terlihat menggantung di langit-langit yang tinggi, menebarkan suasana yang terasa hangat.

Namun hal itu sama sekali tidak berlaku bagi Audriana.

Semua kemegahan di kediaman mewah Jaxton Quinn sama sekali tidak membuatnya tertarik, kecuali mungkin jika seluruh properti ini hangus terbakar dalam kobaran api.

"Kalian boleh pergi," ucap Jaxton kepada dua orang bodyguard yang mengawal Audriana. Setelah memberikan hormat kepada Tuannya, kedua lelaki bertubuh besar itu pun akhirnya keluar dari ruang makan dan tak lupa menutup pintu ganda sebagai akses masuk, seakan ingin memberikan privasi kepada Jaxton dan wanitanya.

Audriana berdiri di samping Jaxton yang telah lebih dulu duduk menunggunya di meja makan. Lelaki itu hanya mengenakan bath robe hitam berbahan beludru yang sedikit tersingkap di bagian dada, memperlihatkan kulit liat penuh otot bidang di sana.

Netra hijau zamrud lelaki itu terlihat bersinar-sinar memandangi Audriana yang mengenakan gaun tidur tipis berwarna putih, yang menampakkan bahu mulus kuning langsat serta paha jenjang yang cantik.

"Warna putih sangat cocok untukmu," ucap Jaxton menyimpulkan ketika ia memandangi Audriana dari atas ke bawah dengan pandangan menilai. Kilatan gelora ikut terpantul jelas dalam sorot matanya yang tak lepas menatap gadis bersurai legam sepinggang itu.

"Kemarilah, kelinci kecilku," panggil Jaxton sembari mengulurkan tangan kirinya kepada Audriana.

Satu sudut bibir pink pucat Jaxton melekuk naik ke atas, ketika melihat bagaimana kelinci kecilnya itu terlihat patuh pada perintahnya.

Meski dengan wajah yang terlihat enggan, Audriana mengayunkan kakinya mendekati Jaxton untuk berdiri dengan jarak selangkah dari kursi dimana lelaki itu berada.

Ia sadar kalau tidak ada gunanya melawan. Gadis itu sedang memainkan peran berpura-pura menjadi penurut, sambil mencari celah untuk melarikan diri dari penjara megah ini.

"Aaaahkkk!!" Audriana memekik kaget ketika Jaxton tiba-tiba menarik keras pergelangan tangannya hingga membuat tubuh mungil gadis itu terjatuh tepat di atas pangkuan lelaki itu. Jaxton pun memerangkapnya hingga tak berkutik dan tak bisa bergerak.

"Tuan Jaxton, tolong lepaskan saya!" geramnya kesal.

"Temani aku makan siang, kelinci kecil," guman Jaxton yang kini telah menyusupkan hidungnya yang mancung ke dalam helai-helai lembut rambut Audriana yang menguarkan aroma apel.

"Ayo kita makan bersama. Aku yang akan menyuapimu." Jaxton menyesap ceruk leher Audriana yang membuatnya gemas, sebelum satu tangannya melepas tubuh menawan itu untuk meraih garpu.

"Jangan pernah berani beranjak dari pangkuanku, kelinci kecil. Atau aku akan menidurimu di atas meja makan ini sekarang juga," ancamnya dalam suara geraman rendah yang membuat bulu kuduk Audriana meremang.

Audriana pun memutuskan untuk kembali menjadi penurut, ketika Jaxton menyuapkan sepotong kecil steak yang ditusuk garpu ke depan bibirnya. Ia memakan semua yang disodorkan Jaxton tanpa protes sama sekali, hingga akhirnya sepiring steak beserta semangkuk salad telah habis tak bersisa.

Raut penuh kepuasan terlukis di wajah blasteran Jaxton yang rupawan, bahkan seulas senyum pun ikut tersemat di bibirnya kala melihat Audriana yang menghabiskan semua makanan yang ia beri.

"Kau benar-benar telah membuatku senang hari ini," ungkap Jaxton ketika Audriana telah menghabiskan segelas air putih.

"Katakan apa pun permintaanmu, kelinci kecil. Aku akan mengabulkannya. Asalkan bukan permintaan untuk pergi dari rumah ini, semuanya akan kuberikan."

Audriana pun tercenung mendengarnya. Apakah si Jaxton-brengsek-Quinn ini mengira dia adalah wanita simpanan yang memberikan kepuasan di ranjang sebagai bayaran untuk kehidupan mewah?!

"Aku bukan wanita seperti itu," sahut  Audriana datar.

Jaxton terkekeh kecil mendengar nada arogansi yang terdengar dari ucapan Audriana. Sembari memain-mainkan rambut panjang gadis itu, Jaxton pun berucap, "mungkin kau dulu bukan wanita seperti itu, Audriana Camelia. Tapi sekarang kau sudah menjadi wanita penghangat ranjangku."

Lalu dengan tiba-tiba, Jaxton mengangkat tubuh mungil berlekuk indah itu ke atas meja makan. "Makan siangmu sudah selesai, kelinci kecil. Dan sekarang giliranku untuk menyantap dirimu."

Suara-suara piring serta alat makan yang jatuh dan pecah berhamburan di atas lantai begitu memekakkan telinga, namun Jaxton tetap tak peduli. Ia menyingkirkan semua yang tergeletak di atas meja makan, lalu merebahkan tubuh Audriana di sana.

"Kau akan menjadi makan siang terlezat yang pernah kucicipi, baby," bisiknya sebelum merobek kasar gaun putih Audriana dan mengulum rakus dua bulatan sempurna dengan puncak merah mudanya yang menggairahkan itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel