Bab 8 Permintaan Istri Joey
Bab 8 Permintaan Istri Joey
“Di ... dia bukan suami saya, Pak. Dia teman, yang menyelamatkan saya,” buru-buru Viona meralat.
“Ih, bapak nih, kan Mbaknya sudah cerita tadi, kalo ini hanya temannya,” kata wanita paruh baya.
“He hee, lupa Bu. Habisnya, mereka berdua secara wajah sangat serasi,” puji lelaki ini.
“Iya, sih. Hidung mereka berdua mancung.”
“Ayo, Bu! Bantu bapak naikin temen mba ini ke atas mobil, Bu,” ucap lelaki paruh baya.
Viona menghembuskan napas pelan. “Biar saya yang bantu, Pak.”
“Kamu yakin mba?” tanya wanita paruh baya sedikit tidak yakin.
Viona memaksakan tersenyum saat mendengar pertanyaan wanita paruh baya di sampingnya. “Yakin, Bu.”
“Kalau begitu kamu bantuin Bapak, biar ibu telpon kantor polisi, untuk melaporkan kejadian ini,” putus wanita paruh baya akhirnya.
“Baik, Bu,” jawab Viona lalu segera menghampiri lelaki paruh baya yang sedang memapah tubuh Joey yabg sedang tidak sadarkan diri.
“Mba, naik ke atas dulu,” perintah lelaki paruh baya kepada yang kini sudah berdiri di sampingnya.
Tanpa menjawab Viona langsung naik ke atas bak mobil pick up yang berisi banyak karung sayuran yang Viona tebak akan di bawa ke daerah Plamboyan di Pontianak.
“Sekarang saya harus apa, Pak?” tanya Viona yang mendadak jadi seperti orang linglung.
“Tahan tangan temen kamu ya,” kata lelaki paruh baya.
“Baik, Pak,” jawab Viona lalu menahan tangan Joey seperti perintah lelaki paruh baya.
Begitu sudah melihat wanita yang di tolong memegang tangan temannya, lelaki paruh baya pun sedikit membungkukkan tubuhnya, memeluk pinggang Joey dan mendorong pelan tubuh lelaki yang sedang pingsan itu ke atas bak pick up seperti karung sayur.
“Bang Joey, aku mohon bertahan. Aku tidak akan pernah bisa maafin diri aku kalau terjadi sesuatu yang buruk padamu,” ucap Viona sambil menangis saat tubuh Joey sudah terbaring lemah di atas bak pikc up dengan paha-nya sebagai penyanggah kepala Joey.
“Semua akan baik-baik saja, Mba. Percaya dan yakinlah,” ucap lelaki paruh baya yang tidak tega melihat Viona.
“Semoga saja, Pak. Dia seperti ini karena menolong saya.”
“Kita segera bawa teman kamu ke rumah sakit. Menurut kamu lebih baik kita bawa teman kamu ke rumah sakit mana?”
“Antonius, Pak,” jawab Viona dengan spontan karena mengingat tempat tinggal Joey tidak jauh dari sana.
“Baik kalau begitu,” kata lelaki paruh baya lalu segera masuk ke dalam mobil di mana istrinya sudah menunggu.
“Sudah di telpon, Bu?”
“Sudah, Pak. Mereka sudah menuju TKP sekarang.”
“Baguslah. Orang-orang tidak bermoral seperti mereka harus segera diberikan efek jera agar tidak menjadi sampah masyarakat!” kata lelaki paruh baya dengan menggebu sambil melihat ke arah empat orang yang sedang tidak sadarkan diri di tepi jalan.
“Aku akan hubungin istri kamu, Bang, agar dia nggak kepikiran sama kamu,” kata Viona lalu mengambil hape Joey yang ada di saku celana.
Viona segera mengirimkan pesan kepada istri Joey, untuk memberitahukan keadaan Joey yang akan dibawanya ke rumah sakit. Dia tuliskan, tanpa mengurangi ataupun melebihkan cerita tentang apa yang sudah terjadi dan menyebabkan Joey tidak sadarkan diri dan harus masuk rumah sakit.
Viona dapat melihat bahwa pesan yang dikirimnya sudah di baca oleh istri Joey, tapi sama sekali tidak ada balasan seperti harapan Viona. Membuat wanita yang hampir diperkosa sebanyak dua kali ini menghembuskan napas panjang, karena perasaan yang tidak karuan.
Tidak terasa mobil pick up milik sepasang suami istri pembawa sayur yang membantu dan mengantarkannya ke rumah sakit sudah berhenti di depan UGD rumah sakit Antonius.
Tanpa pikir panjang Viona langsung turun dari mobil dan berlari menghampiri perawat jaga untuk segera memberikan pertolongan kepad Joey.
“Mas, Mba, tolong teman saya,” teriak Viona dengan tidak sabaran.
Dengan cekatan perawat jaga yang berjumlah empat orang langsung mengambil brankar dan mengikuti langkah kaki Viona yang sudah lebih dulu kembali ke luar menuju mobil di mana Joey berada.
Keempat perawat jaga tersebut dengan hati-hati memindahkan tubuh Joey yang terkulai lemas dari bak pick up ke brankar dan segera membawanya masuk ke dalam UGD untuk segera mendapatkan pertolongan.
“Tenang, Mba,” ucap pasangan suami istri saat melihat kepanikan Viona.
“Saya tidak bisa tenang, kalau teman saya belum sadarkan diri, Pak, Bu,” jawab Viona jujur.
Terdengar Viona sedikit terisak. Dia paksakan terus menemani Joey, meski dia semakin lemah. Namun, dia haris mengantar penolong baik ini terlebih dahulu, setidaknya sampai di lobi rumah sakit.
“ Tapi saya mau mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena Bapak dan Ibu mau menolong kami,” lanjut Viona dengan suara bergetar.
“Itu sudah menjadi kewajiban kami, Mba. Sudah seharusnya kita sebagai manusia saling tolong menolong,” jawab wanita paruh baya dengan bijak.
“Tapi, tetap saja saya banyak hutang budi terhadap Bapak dan Ibu.”
“Jangan pikirkan itu, Mba. Sekarang lebih baik temani teman kamu dan kami juga harus pergi,” ujar lelaki paruh baya.
“Baiklah kalau begitu. Sekali lagi terima kasih, Pak, Bu,” ucap Viona dan itu menjadi ucapan terakhir sebelum mereka berpisah di lobi rumah sakit.
Viona memutuskan untuk pergi sebentar ke kantin dua puluh empat jam rumah sakit. Dia putuskan untuk membeli teh hangat, sekedar memberi energi bagi tubuhnya.
Lalu, Viona dengan langkah lemah, hendak menemui Joey yang setelah di tangani tim medis ternyata sudah di pindahkan ke ruang rawat inap. Dalam hati, dia terus memanjatkan doa, agar lelaki ini baik-baik saja.
Tapi seketika langkahnya terhenti di depan pintu ruang rawat Joey saat melihat Manda-istri Joey dan Wilona-anak Joey sedang meratapi keadaan Joey yang masih tidak sadarkan diri di ranjang pasien.
Tapi setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Viona memutuskan untuk masuk ke ruangan rawat Joey untuk mengetahui keadaan lelaki yang sudah menolongnya.
“Bagaimana keadaan Bang Joey, Manda?” tanya Viona saat sudah berdiri di samping istri Joey.
Manda yang sedang menangis, melihat ke arah Viona dengan tatapan penuh kebencian.
“Untuk apa kamu ada di sini, hah?!” bentak Manda lalu berdiri, hingga posisinya dengan Viona menjadi sejajar.
“Aku mau tahu keadaan, Bang Joey,” jawab Viona apa adanya.
“Plakkk!”
Sebuah tamparan dilayangkan Manda ke pipi mulus Viona dengan penuh emosi. “Mau tahu keadaan suami aku, iya! Kamu tidak sadar apa bagaimana, hah?!” teriak Manda sambil menunjuk Viona tepat di wajah. “Suami aku nyaris mati karena ulah kamu!”
Viona terdiam. Dia terima sepenuhnya apa yang dilakukan oleh Manda. Dia tidak marah sedikit pun. Memang sepantasnya demikian.
“Aku minta maaf, Manda,” ucap Viona sambil memegangi pipinya yang terasa kebas.
“Minta maaf kata kamu? Kamu kira dengan kata maaf yang keluar dari mulut kamu, Joey bisa langsung membaik, iya?!” teriak Manda lagi, “Aku udah muak sama kamu, Vi!
Harusnya kamu bisa jaga diri sendiri tanpa harus membuat suami aku kayak gini!”
“Aku tidak ada niat buat Bang Joey seperti ini, Manda,” ucap Viona mencoba membela diri.
“Cukup! Diam kamu, Vi!” bentak Manda semakin emosi mendengar pembelaan yang keluar dari mulut Viona.
Manda menatap Viona, selayak sampah yang harus ia singkirkan. Ada sedikit iri, meskipun dengan aroma tanah, rerumputan, mungkin menempel ketika Viona hendak diperkosa, tapi perempuan itu tetap cantik.
“Dengarkan aku! Harusnya kalau tidak mau tubuh indah kamu itu menarik perhatian banyak lelaki, buat saja kekar sekalian. Goblok!” umpat Manda tanpa memikirkan perasaan Viona sama sekali.