Bab 11 Tarik, Sis, Semongko!
Bab 11 Tarik, Sis, Semongko!
“Kalau ternyata Kemal itu jodoh kamu gimana?” tantang Intan.
Dan rasanya, kata-kata Intan itu membuat Viona mual. Ingin ia muntahkan isi perutnya, karena geli memikirkan wajah Kemal.
“Tidak mau! Aku tidak mau punya jodoh buruk rupa, kayak dia,” teriak Viona dengan dramatis.
“Nyebut, Vi, nyebut,” kata Intan sambil menggelengkan kepalanya.
“Cukup Intan, berhenti bahas Kemal. Ganti topik saja, biar aku tidak makin stres,” ujar Viona sambil cemberut.
“Ya sudah deh, sebagai sahabat terbaik kamu, aku tidak akan bahas Si Kemal lagi,” kata Intan menyetujui permintaan sahabatnya.
Pagi-pagi sekali Viona sudah siap dengan pakaian formalnya. Wanita cantik ini tidak berniat mengambil cuti kerja, meskipun berita pemerkosaan yang menimpa dirinya dan sedang panas-panasnya, membuatnya Viona merasa sedikit khawatir.
Ia takut jika teman-teman sekantor jadi memandangnya sebelah mata. Tapi, dengan banyak pertimbangan akhirnya Viona memutuskan tetap berangkat kerja, berharap semua akan baik-baik saja.
“Sudah siap berangkat?” tanya Intan yang sudah menunggu di depan pintu kos-kosan Viona.
“Sudahlah,” jawab Viona tidak semangat.
“Lesu amat masih pagi, Buk?” goda Intan berniat mengembalikan mood Viona.
“Au ah, pusing,” kata Viona lalu berlalu pergi meninggalkan Intan berniat menuju parkiran.
Intan mengejar Viona. “Kamu yakin mau lewat pintu depan?”
Viona diam saja tidak menghiraukan ucapan sahabatnya. Terlalu banyak masalah yang tidak bisa Viona yang menjadi beban pikirannya, terlebih yang menyangkut Zio dan juga Joey.
“Viona ... aku serius,” ucap Intan menarik tangan Viona agar menghentikan langkah kakinya.
Viona yang ruwet menatap Intan dengan bingung. Dia tarik ujung blazernya, yang sempat direnggut Intan.
“Maksud kamu apa, sih, Intan?” tanya Viona sedikit kesal.
“Di depan itu banyak kerumunan wartawan yang lagi menunggu kamu. Memangnya kamu mau diwawancarai mereka?”
“Hah! Serius kamu?”
“Seriuslah, memangnya kapan aku pernah bohong sama kamu?” tanya Intan yang merasa gemas dengan sahabatnya ini.
Viona meraup wajahnya gusar, “Jadi, aku harus bagaimana?”
Intan menjentikkan jarinya. “Gampang. Kamu lewat pintu belakang dan tunggu aku di depan gang,” ucap Intan memberi solusi.
Viona tersenyum lebar. “Kamu pinter banget sih, nggak sia-sia memang punya sahabat kayak kamu,” kata Viona lalu mencubit pelan pipi Intan karena gemas.
“Istttt, cepet deh sebelum kamu ketahuan,” kata Intan menepis pelan tangan Viona yang masih bersarang di pipinya.
“Oke, aku pergi lewat belakang sekarang,” kata Viona lalu berlalu pergi menuju pintu belakang di mana wartawan tidak akan pernah menemukannya.
Viona langsung masuk ke dalam mobil yang dikenalinya sebagai mobil milik Intan – sahabatnya.
Dengan napas sedikit ngos-ngosan Viona duduk di samping Intan yang dengan sabar menunggunya di gang.
“Sumpah! Apes banget sih aku,” keluh Viona dengan raut wajah kesal.
“Nikmati saja, Vi. Anggap saja kamu itu artis terkenal yang dikejar-kejar wartawan karena ketenaran kamu,” seloroh Intan berniat bercanda.
“Idih, tidak minat aku!” sahut Viona sambil menggeleng.
Intan tertawa. “Oh ya, nanti pulang kerja mau bareng aku, apa kamu di jemput Zio?” tanya Intan yang mulai melajukan mobilnya menuju salah satu bank swasta di mana mereka bekerja.
Intan yang belum tahu kalau Zio hampir saja memperkosa Viona, karena sahabatnya ini belum cerita, tanpa beban sama sekali bertanya, sehingga membuat raut wajah Viona menjadi sendu.
“Intan! Bisa tidak, kamu jangan membahas Zio di depan aku?!”
Intan mengerutkan keningnya, merasa heran dengan respon Viona yang tidak biasa. Intan kenal betul dengan sahabatnya yang biasanya sangat bersemangat jika dia menyebutkan nama Zio.
“Kalian lagi ada masalah ya?”
“Intan, tolong, untuk sekarang jangan bahas Zio! Kalau aku sudah siap, aku janji bakalan cerita semuanya sama kamu,” ucap Viona setengah memohon kepada Intan bahkan matanya sampai berkaca-kaca.
Intan yang melihat reaksi berlebih yang diberikan Viona, jadi menduga-duga. Sepertinya, hubungan sahabatnya dengan Zio memang sedang ada masalah.
Tapi, Intan tidak ingin memaksa Viona untuk cerita tentang masalahnya, jika sahabatnya ini belum mau bercerita. Dia cukup mengerti.
“Oke! Aku tidak bakalan bahas Zio, tapi sudah dong sedihnya. Aku jadi ikutan sedih, kalau lihat kamu kayak gini,” ucap Intan, yang memang paling tidak bisa melihat sahabat yang sudah dikenalnya sejak kuliah itu bersedih.
Viona langsung memeluk Intan dengan erat. Tidak peduli jika saat ini sahabatnya sedang fokus menyetir.
“Kamu memang sahabat terbaik aku, Intan.”
“Sudah deh, tidak usah lebay,” protes Intan sambil tertawa.
Tanpa terasa kini perjalanan mereka dari kos-kosan sampai ke bank swasta di mana mereka bekerja sudah sampai.
Viona dan Intan langsung masuk ke dalam bank, di mana sudah ada beberapa nasabah yang sudah mengantri menunggu jam operasional bank dimulai.
Tapi Viona mendadak rikuh dengan pandangan beberapa orang nasabah yang melihatnya dengan pandangan tidak biasa. Viona yakin, jika semua ini masih ada kaliatannya dengan berita yang sudah menyebar di media masa maupun media online.
“Sudah, santai aja. Abaikan mereka, toh kamu nggak kenal sama orang-orang itu,” bisik Intan mencoba menyemangati Viona.
Viona tersenyum. “Bakalan aku coba,” jawab Viona yang sebenarnya tidak yakin dengan ucapannya sendiri.
Viona langsung duduk di kursi kerjanya, di mana ia menjabat sebagai seorang teller. Berbeda dengan Intan yang menjabat sebagai customer service.
Viona langsung memasang wajah cemberut, saat melihat Kemal datang menghampirinya dengan sebungkus martabak brownies yang langsung diletakkan di atas meja kerjanya.
“Martabaknya sangat manis, semanis yang dikasih,” kata Kemal merayu Viona.
Viona memutar bola matanya malas saat melihat Kemal kini berdiri di hadapannya, bahkan dengan santai merayunya, padahal sudah jelas Viona tidak suka itu.
“Iya! Martabaknya sangat gelap, segelap yang mengasih,” balas Viona dengan sengit.
Viona berlisan pedas, tanpa memikirkan perasaan Kemal yang tak lain adalah manager di tempatnya bekerja. Santai saja, dia mengisi beberapa berkas.
Kemal tersenyum kecut mendengar ucapan Viona yang jelas-jelas menghinanya. Tapi, karena rasa cintanya terlalu besar kepada Viona, Kemal peduli, bahkan dengan santai lelaki buruk rupa ini menyerahkan dua tiket bioskop kepada Viona.
“Aku punya dua tiket bioskop. Filmnya bagus, nanti pulang kerja kita nonton bareng ya?” ajak Kemal penuh harap.
“Aku tidak mau pergi nonton dengan Bapak. Lagi pula, aku sudah ada janji,” kata Viona menolak ajakan Kemal tanpa basa-basi.
“Kalau begitu, ambil saja dua tiket bioskop itu. Kalau kamu tidak mau pergi nonton sama aku ya tidak apa-apa, terserah tiketnya mau kamu apakan,” ucap Kemal dengan kecewa.
Seolah tidak peduli dengan perasaan Kemal, Viona dengan kejam memanggil Bu Nuni – seorang gadis tua yang memiliki badan tambun dan jika tertawa seperti orang asma.
“Bu Nuni, sini deh,” panggil Viona saat melihat gadis tua itu melintasi mejanya dengan wajah masam.
Bu Nuni yang baru datang dan merupakan asisten Kemal menghentikan langkah kaki lalu menoleh ke arah Viona.
“Ada apa, kenapa memanggil saya?”
Viona tersenyum menyeringai ke arah Kemal, membuat lelaki buruk rupa ini merasa curiga dengan perubahan sikap yang diberikan Viona.
“Aku cuma mau kasih tahu, ini ada dua tiket bioskop buat Bu Nuni dari Pak Kemal. Barusan, Pak Kemal minta tolong sama saya buat memberi ke Bu Nuni dan bilang kalau beliau mau ajak Ibu nonton nanti pulang kerja,” kata Viona berbohong, membuat gadis tua ini tersenyum sumringah, berbeda halnya dengan Kemal yang tersenyum kecut.
Apa? Tega sekali Viona padaku, batin Kemal merutuk.
“Tentu saja saya mau menonton bioskop sama Pak Kemal,” jawab Bu Nuni penuh semangat.
“Kalau begitu, nanti langsung pulang bareng saya saja,” kata Kemal dengan pasrah, lalu tanpa permisi pergi meninggalkan meja kerja Viona.
Viona yang melihat reaksi yang diberikan Kemal, mati-matian menahan tawanya.
Ia puas sudah berhasil mengerjai Kemal – lelaki buruk rupa yang tidak pernah bosan mendekatinya, meskipun sudah berkali-kali ditolak.
Lelaki buruk rupa, yang sejatinya sangat tampan ini masih mengintip Viona dari celah pintu. “Kamu boleh tertawa sekarang, Vi. Tapi, aku tidak akan menyerah. Tarik, Sis, Semongko!”