Bab 4 Pameran Sapu Lidi
Bab 4 Pameran Sapu Lidi
Cantika kemudian mampir terlebih dahulu ke toilet yang ada di lantai 1 gedung itu. Ia berganti pakaiannya dan memakai sebuah gaun. Ya, Cantika akan menghadiri pameran lukisan yang diadakan oleh keluarganya di galeri seni ‘Sapu Lidi’ milik mereka itu.
Selesai berganti pakaian dan berdandan sedikit, Cantika kemudian keluar dari toilet dengan penampilan yang sangat cantik. Sungguh berbeda dengan tampilan ia sewaktu menjadi instruktur yoga sebelumnya. Gaun berwarna peach bermotif simple melekat pas di tubuh indahnya. Sepatu berjenis stiletto ia pakai untuk mempercantik kaki jenjangnya. Cantika memang masih sangat segar, walau sudah menjadi ibu dan memiliki 1 anak, tapi penampilannya masih tak kalah oke bak seorang gadis.
Cantika lalu memasuki mobilnya yang terparkir di depan gedung studio tersebut, ia menyapa Erza dengan tersenyum lalu menghidupkan mesinnya dan melaju meninggalkan area studio Cipta Raga itu untuk menuju ke galeri seni.
Jalan raya yang tak terlalu ramai membuat Cantika dengan cepat sampai ke tempat pameran tersebut. Ia hanya berkendara kurang lebih selama 20 menit hingga akhirnya sampai disaat pameran baru saja di buka.
Cantika bergabung dengan anggota keluarga yang lain, ibunya, ayahnya dan beberapa sepupunya yang memang sengaja hadir untuk meramaikan pameran tersebut. Ia kemudian berjalan berkeliling, melihat-lihat semua lukisan yang tampak artistik dan berkelas itu.
"Semuanya sungguh tampak bagus-bagus, ya!" Cantika menghampiri seorang gadis yang juga merupakan pelukis di sana.
"Eh, kakak!" Rintan– adiknya, pun refleks menoleh ke arah Cantika yang berdiri di sebelahnya. "Kapan kakak datang?"
"Barusan! Kamu apa kabar?" Cantika kemudian duduk di kursi di samping Rintan. Ia sengaja menanyakan ‘kabar’ Rintan yang saat ini ia ketahui tengah menghadapi polemik perjodohannya.
Rintan yang belum menjawab pertanyaan Cantika itu tampak masih menoleh ke arah seorang pelukis laki-laki yang sedang di kerumuni beberapa orang.
"Rin..." panggil Cantika pada adiknya itu."Dia siapa? Pelukis baru?" tanya Cantika penasaran karena melihat adiknya yang tak melepaskan pandangan sedikit pun pada laki-laki itu.
Rintan menatap nanar ke arah Cantika. "Namanya Agung, Kak!" jawab Rintan lirih. Kemudian duduk kembali ke kursi yang ada di dekat Cantika.
"Jadi, dia ..." Cantika seolah memastikan.
Rintan menoleh sekali lagi ke arah Agung, kemudian tersenyum getir menatap kakaknya kembali yang mulai membuka obrolan di antara mereka berdua. "Bukan siapa-siapa, Kak!"
Adalah Agung Pramudya, seorang pemuda yang sangat berjiwa seni, ia merupakan seorang pelukis dan sangat menyukai lukisan. Pemuda tampan yang juga sedang mengikuti pameran di Galeri Sapu Lidi tersebut sukses menarik perhatian semua orang, termasuk Rintan.Agung tengah memamerkan lukisan yang terlihat unik dan abstrak hingga semua pengunjung mengerumuninya.
Cantika kemudian ikut menoleh ke arah Agung, dari jauh ia dapat melihat bahwa pemuda itu juga sesekali menoleh ke arah adiknya.
"Kau melukis apa ini, Rin?" Cantika berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Apa maknanya?"
"Ini berarti kehidupan seorang wanita yang hanya mempunyai 2 warna dalam hidupnya, hitam dan putih!"
Cantika mengernyitkan dahinya, "Terdengar menarik! Wanita memang selalu tak mempunyai pilihan yang lebih!"
Rintan mengangguk " Iya, mungkin semacam takdir yang sudah di tuliskan Tuhan!" Rintan berbicara getir. Matanya lagi-lagi memandang ke arah Agung di tengah-tengah kerumunan orang-orang itu, ia tampak nanar dan langsung terlihat salah tingkah menatap ke arah lain begitu Agung tak sengaja menatapnya balik, membuat mata mereka bertubrukan beberapa detik. Cantika yang sedang duduk dalam jarak dekat dengannya pun dapat menyadari maksud dari tatapan Rintan barusan, walau raut wajahnya berusaha menutupi, tapi Cantika cukup mengertiarti dari ekspresi adiknya itu.
"Lukisan dia memang bagus, ya!"
Rintan sontak menoleh ke arah Cantika, ia langsung mengerti arti kata ‘dia’ yang dimaksud Cantika adalah Agung, karena Cantika yang baru saja menatap Agung kemudian berpindah menatap dirinya pula.
Rintan hanya mengangguk malu-malu, di dalam hatinya ia memang sangat mengagumi Agung, namun ia tak bisa berbuat apa-apa walau hanya sekedar menyapanya saat ini.
"Orangnya juga tampan!" Jawab Rintan refleks, nada bicaranya sungguh terdengar getir di susul dengan helaan nafasnya yang samar.
"Kalian juga kelihatannya cocok, sama-sama mencintai seni" sambung Cantika.
Rintan tersenyum tipis, senyuman nestapa yang sangat terlihat jelas di raut wajah cantiknya,"Kami tidak cocok sama sekali, Kak! Itu kata-kata untuk orang yang bisa bersama, sedangkan kami – " Rintan menghentikan ucapannya.
"Bisa aku tebak, kalian hanya saling mengagumi dalam diam. Iya, kan?" Telak, Cantika dapat membaca maksud dari perkataan Rintan barusan.
Rintan mengangguk pelan. Lagi-lagi ia menghela nafasnya. "Sama hal nya seperti lukisan ini, wanita hanya punya 2 pilihan. Mengejar atau mengikhlaskan"
Cantika sangat tertarik dengan topik pembicaraan mereka malam ini, sudah lama memang ia tak mendengar curahan hati adiknya ini, kesibukan keduanya menjadi penghalang untuk mereka menghabiskan waktu bersama."Jadi apa pilihanmu?"
"Apa lagi selain mengikhlaskan, Kak!"
"Why?"
"Seperti yang kau tahu, perjodohan sudah memasungku dari awal!"
"Jadi kamu mau menerima perjodohan itu?"
Tatapan Rintan kembali nanar, ia tak menjawab dan hanya menunduk. Cantika cukup mengerti, dirinya hanya bisa menenangkan dengan mengelus pundak adiknya itu, ia bisa ikut merasakan gejolak batin yang dirasakan Rintan karena ia lebih dulu sudah merasakannya beberapa tahun yang lalu. Perjodohan yang juga mengantarkan dirinya dengan status yang disandangnya saat ini. Ia sangat tahu bagaimana bimbangnya hati Rintan untuk menerima jodoh yang dipilih oleh keluarga tanpa pernah bertanya apakah ia suka atau tidak.
"Kalau aku boleh saran, kamu sebaiknya perjuangkan apa yang patut di perjuangkan. Katakan pada Papa kalau kautak ingin menerima perjodohan ini. Karena akan sangat sulit membina hubungan rumah tangga nantinya tanpa pernah ada perasaan cinta!"
Rintan menoleh ke arah Cantika lagi. "Benarkah?"
"Ya!" Cantika mengangguk. "Kau lihat, aku menjadi janda karena itu, kan! Dan aku tak ingin bila nantinya kau berakhir seperti aku juga"
"Emmh, sebenarnya apa yang terjadi dalam rumah tanggamu, Kak? Sejak dulu aku sangat ingin bertanya mengenai hal itu"
Cantika menghela nafasnya dalam, kali ini malah dirinya yang terlihat getir. "Seperti yang aku katakan tadi, akan sangat sulit membina hubungan rumah tangga yang dijalani tanpa cinta. Tak pernah ada kecocokan, karena perasaan cinta tidak pernah tumbuh dalam hati kami walau seberapa kerasnya kami mencoba" Cantika menerawang, mengingat kemelut yang terjadi di rumah tangganya dulu.
"Jadi kalian berpisah karena merasa tidak cocok?"
"Iya! Perceraian adalah solusi yang tepat saat 2 orang sudah tak bisa di satukan lagi" Cantika menatap Rintan, "Sebenarnya dia adalah laki-laki yang baik, bertanggung jawab dan tidak pernah berlaku kasar, tapi beberapa tahun membina rumah tangga cinta itu tak pernah hadir diantara kami. Memaksakan untuk terus bersama hanya akan menyakiti diri masing-masing"
Rintan hanya diam mendengar cerita dari Cantika. Ia bukannya tak tahu alasan Kakaknya menggugat cerai suaminya dulu, hanya saja masalah mendetailnya Cantika memang tak pernah menceritakan pada siapa pun.
"Andai saja tradisi itu bisa di hilangkan ya, pasti kita tak perlu menahan pedih hati seperti ini"
"Iya, makanya aku menyarankanmu untuk memikirkan matang-matang sebelum menerima. Ya ... Kecuali kau mau bernasib seperti aku, jadi janda di usia muda" Cantika tertawa kecil
"Hahaha ... Tapi janda juga semakin di depan, Kak!" Rintan ikut tertawa.
Tanpa terasa waktu pun sudah sangat larut, pameran pun akan segera di tutup dan di lanjutkan esok hari. Setelah membantu Rintan membereskan lukisannya untuk di masukkan ke dalam Galeri, Cantika pun kemudian menemui anggota keluarga yang lainnya. Ia berpamitan untuk pulang ke rumahnya sendiri.
"Salam buat Enggar, ya!" ujar Ayah dan Ibunya.
"Tentu, mungkin ia pasti sudah tertidur di jam seperti ini" Cantika melihat jam di tangan kirinya. "Bye, Ma, Pa ..."