Bab 10 Mengambil Hati Enggar
Bab 10 Mengambil Hati Enggar
Enggar tampak sangat antusias diajak Bara turun ke bawah ke studio Gymnya, ia sampai terheran-heran melihat semua peralatan Gym yang ada di sana. Satu persatu Enggar menyentuh dan bertanya apa nama-nama dari alat-alat itu. Layaknya seorang anak kecil, Enggar ternyata sangat aktif dan lincah. Mulut mungilnya tak henti-hentinya berceloteh bertanya segala hal kepada Bara. Walaupun usianya masih terbilang kecil,namun Enggar benar-benar paham cara berbicara sopan kepada orang yang lebih tua darinya. Ia juga pintar, setiap kali Bara mengajaknya berbicara ia pasti menjawab dengan benar dan jelas.
"Enggar tahu tidak, ini apa?" Bara bertanya pada Enggar mengenai sebuah tali yang sedang di pegangnya saat ini.
"Tali. Buat lompat ya kan, om?" jawab Enggar dengan polosnya.
"Iya – Enggarpintar! Pernah main ini belum?"
Enggar menggeleng. "Tapi Enggar sering melihat mama melompat-lompat pakai itu kalau lagi di rumah pagi-pagi"
"Oh ya? Terus mama melakukan apa lagi selain main lompat tali?" Bara sengaja, bertanya tentang Cantika untuk mengetahui keseharian wanita yang sedang dia incar itu.
"Habis itu mama masak, membuatkan Enggar susu dan pancake. Pancake buatan mama enak sekali, om!" Dengan polosnya Enggar bercerita.
"Wah, benarkah? Kapan-kapan om mau juga ya makan pancake buatan mama Enggar!"
"Boleh! Om main ke rumah Enggar saja nanti"
Bara tersenyum, lalu mengacak rambut Enggar gemas. Ia tak menyangka bahwa Enggar sangat pintar diajak mengobrol. Ia semakin semangat dalam mendekati Enggar agar ia dapat sekalian mendekati Cantika juga. Sungguh paket komplit.
"Memangnya boleh? Nanti papa Enggar marah kalau om main ke rumah Enggar ..." lanjut Bara lagi .
"Papa kan tidak ada om, papa jarang pulang. Di rumah cuma ada Enggar sama Bik Minah!"
Bara manggut-manggut. Sedikit demi sedikit ia mendapatkan informasi dari Enggar. "Emmmh ... Memangnya papa Enggar kemana?"
"Di rumah papa sendiri –"
"Ohh ..." Bara hanya ber-oh saja. "Ya sudah yuk om ajarkan Enggar lompat tali, mau?"
Enggar mengangguk dengan semangat.
"Comehere!Enggar nanti pegang ujung tali nya ya, 1 ujung di tangan kanan, 1 nya lagi di tangan kiri. Terus lompat!" Bara mempraktikkan apa yang dia sebutkan tadi di hadapan Enggar, ia melompat dengan cepat dan lincah. Membuat anak itu seakan terkagum dengan kehebatan Bara.
Enggar bertepuk tangan. Wajahnya berbinarsemringah seakan sesuatu yang Bara lakukan itu adalah hal yang sangat luar biasa. "Waw! Hore ... Om Bara hebat!" Enggar bertepuk tangan.
"Hahaha ... Yuk, sekarang giliran Enggar yang mencoba!"
Bara kemudian memberikan tali yang di pegangnya itu kepada Enggar. Mengajarinya cara memegang dan melompati tali tersebut. Perlahan-lahan Enggar pun bisa melakukan hal itu walau tak sesempurna saat Bara menunjukkan tadi, tapi Enggar anak yang cepat tanggap ia langsung bisa mengerti apa yang di ajarkan kepadanya.
"Hahaha ... Hore ..." Enggar tertawa senang dan gembira. Ini pertama kalinya bagi dia diajarkan hal yang seperti ini. Ia sangat senang kepada Bara, karena Bara sangat baik mau mengajarinya hal seperti ini.
"Enggar senang?"
"Iya, Senangsekali. Enggar mau punya badan bagus seperti om!"
Barat tertawa mendengarnya, lalu ia dan Enggar menepi, mengajak Enggar duduk beristirahat.
"Kalau seperti itu, Enggar harus sering-sering main kemari, ya! Biar kita latihan terus. Nanti om akan ajarkan olahraga yang lainnya lagi" Iming Bara
Enggar mengangguk senang. Wajahnya masih tampak riang dan gembira. Keringat yang mengucur di dahinya pun seolah tak terasa. Ia sangat semangat untuk bermain olahraga bersama om Bara yang sangat baik ini – menurutnya.
"Emmh, om Bara sudah punya pacar belum?"
Pertanyaan tiba-tiba Enggar itu sukses membuat Bara kelabakan dan kikuk, ia tak menyangka bahwa Bara akan menanyakan hal itu to the point dan tanpa aba-aba.
"Memangnya kenapa?" Tanya Bara penasaran.
"Om mau tidak, pacaran sama mama Enggar?"
Bara kaget, ia bahkan sampai membelalakkan matanya dan menatap Enggar bingung.
"Hahaha ... Memang papa Enggar tidak marah kalo mama pacaran sama om?"
Enggar menggeleng.
"Kan papa tak pernah pulang juga, mama kasihan sendirian kalau pergi dan pulang kerja!"
Benar-benar anak yang cerdas! Bara sampai bingung mau berkata apa. Untuk sekian detik ia bisa mencerna maksud dari perkataan Enggar barusan adalah bahwa mamanya ini sangatlah kesepian menjalani hari-harinya seorang diri.
Bara hanya memandang Enggar dengan dalam, dan tak melanjutkan lagi topik yang tadi.
"Enggar mau jajan, tidak? Di depan banyak yang jual makanan!"
"Memangnya boleh, om?" Enggar mengedip polos.
Bara mengangguk. "Boleh sayang! Yuk .."
Ia lalu berdiri dan meraih tangan Enggar untuk di peganginya. Kedua orang itu pun lalu berjalan ke luar gedung untuk menuju ke pinggir jalan. Aneka makanan ringan banyak di jual oleh pedagang kaki lima di dekat gedung studio nya tersebut.
"Eh, tapi Enggar di bolehkan mama tidak, jajan seperti ini?" Bara menghentikan langkahnya dan bertanya lagi kepada Enggar. Kalau-kalau anak itu ada alergi terhadap makanan tertentu.
"Enggar tak pernah memang jajan disini, om!" Lagi-lagi Enggar menjawab dengan kepolosannya.
"Emmh, kalau seperti itu kita ke minimarket yang di seberang sana saja yuk! Takutnya mama Enggar marah lagi sama om karna mengajak jajan sembarangan"
Enggar mengangguk, dan menurut saja apa yang di katakan Bara. Termasuk saat Bara dengan entengnya menggendong anak itu saat menyeberangi jalan raya. Bara sungguh sangat maskulin dan macho. Dengan satu tangannya ia bahkan menggendong tubuh Enggar hingga lengannya yang tampak berotot dengan baju tanpa lengan itu pun terpampang nyata. Semua yang melihat pastilah tahu bahwa Bara adalah seorang instruktur Gym.
Mereka berdua kemudian memasuki minimarket. Bara menurunkan Enggar lagi dan membiarkan anak itu berjalan menuju ke tempat makanan ringan yang ia suka. Tentu saja setiap anak kecil pastilah sangat menyukai makanan ringan seperti snack dan es krim, begitu pula Enggar. Ia mengambil 2 buah snack berukuran sedang dan satu buah es krim cone rasa coklat.
"Sudah, om!"
"Yakin? Kenapa sedikit sekali? Tidak mau mengambil yang lain lagi ya?"
Enggar menggeleng. "Sudah om, cukup. Nanti mama sedih kalau jajannya banyak-banyak!"
"Kenapa?" Bara mengerutkan alisnya.
"Iya, mama bilang kalau banyak jajan nanti sakit perut. Kalau Enggar sakit perut mama kan jadi sedih. Enggar tak maumembuat mama sedih"
Dengan polosnya anak kecil berusia 7 tahun ini bercerita, membuat Bara sedikit terenyuh. Cantika benar-benar seorang ibu yang patut diacungi jempol. Ia mendidik Enggar dengan sangat baik dan hati-hati. Seusia ini saja sudah sangat mengerti apa yang boleh dan apa yang di larang oleh mamanya. Itu menunjukkan bahwa apa yang diajarkan Cantika pada anaknya benar-benar suatu didikan yang baik.
"Ya sudah yuk, kita ke kasir!"
Bara lalu mengambil snack dan es krim yang di pegang Enggar untuk ia letakkan di atas meja kasir. Kemudian sang kasir menyebutkan nominalnya. Bara kemudian memegangi kantong celananya. Ia tiba-tiba kaget.
"Ya ampun! Aku lupa bawa dompet. Tadi kan memang ganti celana! Ck!" Bara berdecak, sambil memegangi kantong celananya yang kosong, untung saja saat itu suasana minimarket terbilang sepi dan hanya ada dirinya bersama Enggar di sana.
"Bagaimana ini, mbak? Aku boleh ambil dulu ya belanjaannya. Aku instruktur Gym di depan sana itu – " Bara menunjuk seberang jalan tempat gedung berlantai 4 itu berada. Ia tidak mungkin mengurungkan belanjaan untuk Enggar hanya karena kebodohannya yang lupa membawa dompet.
Sang kasir pun tampak berdiskusi dengan sesama rekannya. Memandangi Bara dengan kaos shirtlessnya yang berlogo tempat Gym di seberang jalan.
Bersambung