Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

"Assalamualaikum," ucap Elena dengan riang.

"Ada apa, Mbak?" Selidik Naila.

"Mbaknya ucap salam bukan di jawab, malah di tanya ada apa. Gimana sih kamu, Nai," ucapku dengan nada datar sambil memandang Naila yang tengah terbaring di depan TV.

Naila mengubah tidurnya menjadi telungkup, "Loh, pulang-pulang kok riang, ya jadi penasaran dong, di sana ada apa," cetus Naila polos.

Memang Naila anaknya begitu, dia akan bertanya jika dia penasaran dan dia akan berkomentar jika dia tidak suka.

Naila dan Elena kurang akur karena blak-blakkan yang sering di tunjukkan dan di tanyakan oleh Naila.

"Ya, biasalah kalau ibu-ibu di warung. Pasti ngerumpi dan tadi ada cerita yang seru," katanya.

"Tapi tadi aku lewat enggak ada orang, Mbak?" Pertanyaan Naila membuat bibir Elena mengerut.

"Ada kok, kamu nya mungkin yang kurang memperhatikan," ujar Elena.

"Enggak, memang kosong itu tadi warungnya," ucap Naila ngeyel.

"Sudah-sudah, kalian ini kalau sudah jumpa memang enggak pernah akur, memanglah kalau sudah sesama betina, susah di bilangin," ucapku yang sedari tadi hanya diam sambil menghisap rokok.

Aku beranjak sambil mengantongi rokok beserta koreknya, sedangkan Elena sibuk di dapur membuat dagangan untuk besok. Naila sibuk dengan gawai sambil menonton sebuah sinetron yang berjudul lelaki perkasa.

"Kalau kamu pengen tinggal di sini, ambil hati mbak kamu sana! Bantu dia masak, pasti nanti boleh," bisikku sambil sedikit membungkuk.

Aku langsung keluar rumah untuk duduk bersama teman-temanku, sudah lima bulan terakhir aku melakukan aktifitas duduk bersama yang sering di katakan nongkrong sejak aku dan Elena berdebat masalah gawai miliknya.

Bagaimana aku bisa nyaman di dalam rumah di malam hari? Aku baring, dia natap gawai, aku duduk, dia natap gawai, bahkan sambil ngobrol pun dia bisa sambil menatap gawai. Dasar betina, sudah seperti itu masih saja tidak mau di salahkan. Hiks!

"Rustam! Mike mana?" Tanya Nole yang sudah sedari tadi di sana. Nole—temanku sejak kecil, dandanannya preman, rambut pirang, telinga memakai anting, tapi sebenarnya kami memiliki jiwa yang sama, cengeng. Kamis akan menangis bersama ketika satu di antara kami sedang di landa kesedihan.

"Lah, ke mana rupanya? Aku kan baru datang," ucapku heran.

"Tadi kata emaknya sih dia bawa tas ransel ke arah selatan. Ke arah keluar gang, jangan-jangan dia merantau, Rus," ucap Nole.

"Bisa jadi, karena kemarin dia bilang ada kerjaan tapi jauh."

"Dih, tuh anak, tega-teganya dia enggak pamit sama kita," timpal Juju.

"Biarlah, mungkin dia buru-buru, coba telpon," ujarku sambil mengambil posisi duduk di motor Juju.

"Aku enggak ada paket telpon," ucap Nole.

"Sama," ucapku dan Juju bersamaan.

Mike memang anak yang nekat, kemarin dia bilang mau merantau ke kota sebelah, dan pulang akan membawa istri. Dia pikir menikah itu enak apa, belum tahu dia bagaimana kenyang nya sarapan pagi pakai omelan. Hiks.

Juju duduk di sebelahku, tepatnya di sebelah motornya. Lelaki itu sedang meratapi nasib yang sama denganku, belum memiliki rumah namun dia sudah memiliki dua putra yang jarak usianya hanya berbeda satu tahun saja.

"Ju, kamu main gini, apa istrimu enggak repot di rumah?" Tanya Nole.

"Repot lah, tapi dia ngerti kok, apa kata dia, ya, udah sayang, kalau capek dengerin anak nangis di rumah, sana main saja seperti biasanya. Jangan di rumah aja, nanti bosan loh," gitu katanya. Nole mengangguk-anggukkan kepala.

"Kalau istriku, pasti aku malah di kurung di rumah," timpalku sambil tertawa lepas.

"Eh, tapi jangan salah loh, istri sekarang bakal bahagia kalau suaminya main keluar, coba deh teliti," ucap Juju.

Aku baru ingat sekarang, sebelum ini Elena kalau ke manapun pasti aku selalu di bawa. Belanja ke warung, ke pasar, kalau aku mau keluar pasti dia ngambek dulu, tapi kenapa belakangan ini enggak?

* * *

"Belum, mas, dia belum pulang." Terdengar suara Elena dengan jelas ketika aku melintas di jendela kamar bagian depan. Aku menghentikan langkah untuk mendengarkan kelanjutan pembicaraan nya.

"Ya, biarkan sajalah, mas. Aku capek bilangin dia supaya enggak main, tapi aku bisa apa? Yang penting sekarang aku sudah punya teman untuk ngobrol," ucapnya dengan nada manja.

Tanganku mengepal, rasa emosi mendorongku untuk melangkah dengan cepat menuju kamar. Aku membuka pintu depan, lalu membuka pintu kamar.

Hatiku semakin kesal ketika pintu kamar di kunci dari dalam.

Dor! Dor! Dor!

Suara gedoran pintu.

Tidak lama kemudian Elena membuka pintu dengan wajah panik.

"Ada apa, Mas?" Tanyanya.

"Ada apa? Kamu bilang ada apa?" Teriakku.

Teriakan ku sampai kamar belakang, terdengar oleh Naila.

"Ada apa toh mas?" Tanya Naila.

"Nelpon siapa kamu? Hah?" Bentakku.

"Ne-nelpon siapa? Siapa yang lagi te—"

Aku mengambil gawai yang ada di tangan Elena, membuatnya seketika terdiam. Aku semakin marah ketika gawainya kini di beri sandi.

"Buka sandinya!"

"Ta-tapi, Mas—"

"Buka!" Teriakku lagi.

Tangan Elena gemetaran ketika memegang gawainya, Naila ikut memandang gawai yang kini sudah berada di tanganku.

"Heh, sudah kuduga kamu telponan dengan lelaki itu. Apa yang buat kamu jadi seperti ini, Elena? Apa?"

Nafasku ngos-ngosan, tanganku berkacak pinggang sebelah kiri. Tangan kananku menumbuk daun pintu yang masih terbuka setengah.

Buk!

Suara itu membuat Naila dan Elena terperanjat. "Sejak kapan kamu telponan sama dia? Hah? Apa saja yang sudah kalian ceritakan? Apa saja yang sudah kalian rencanakan?" Tanyaku memaksa.

"A-aku cuman cerita biasa, mas," ucapnya gelagapan.

"Kamu bilang cerita biasa? Kenapa kamu harus cerita sama dia? Apa kamu kesepian?" Rentetan pertanyaan ku tidak di jawab olehnya. Aku membuka aplikasi hijau lalu kudapatkan pesan berbalas mereka.

Betapa hancur hatiku setelah aku tahu, Elena memiliki hutang sebesar 100 juta rupiah kepada Hamdan. Dan yang paling mengejutkan, Hamdan meminta Elena membayarkannya sekarang ini juga dengan cara menjadi istri lelaki itu selama tiga bulan ke depan.

Aku melemparkan gawai milik elena ke lantai, membuat gawai itu luluh lantak berantakan bahkan hancur lebur tak karuan.

Aku berjalan ke sofa lalu menghempaskan tubuhku di sana. Tak pernah terpikirkan olehku Elena akan setega ini, padahal besar harapanku untuk mendapatkan uang supaya kami bisa membangun sebuah rumah. Astaga.

.

.

"Mas, mas, kamu mau ke mana, Mas?" Tanya Elena mengejar langkahku ketika aku membungkus semua pakaianku ke dalam ransel.

"Kau bayar hutangmu itu dan kau lanjutkan hidupmu dengan Hamdan itu!" Ujarku dengan nada tinggi.

"Mas, mas mau pulang ke rumah ibu? Tunggu, aku ikut," ucap Naila sambil berlari ke kamar belakang.

'astaga, Naila, aku ini masih marah malah kamu bertingkah seperti itu,' batinku sedikit geli melihat larinya Naila yang ebol-ebol karena tubuhnya gembul.

Aku menendang sepeda yang sudah terparkir di halaman rumah untuk dagang keliling, membuat beberapa orang tetangga melihat pertengkaran kami.

Aku tak peduli dengan mereka, selama ini mereka juga sudah julid, selalu saja membicarakan tentang keluargaku yang belum memiliki momongan. Apalah dayaku yang memang belum di percaya.

"Mas, tolong dengarkan aku dulu," ucap Elena memohon ketika aku sudah duduk di atas motor.

"Sudahlah, anggap saja kita enggak pernah kenal. Lanjutkan apa yang kamu inginkan bersamanya, kau habiskan sendiri uang yang kau pinjam itu, kau pernah bilang, suamimu minggat 'kan? Hari ini ucapan mu terkabul. Selamat!"

Aku meninggalkan Elena yang masih menangis sampai terduduk di halaman rumah, sebenarnya aku tidak tega melihatnya seperti itu tapi rasa emosiku sudah tidak terbendung.

Bagaimana aku bisa memaafkannya? Aku bekerja keras supaya bisa menabung dan menambah rasa kebahagiaan dalam rumah tangga untuk menghadirkan seorang bayi mungil di antara kami, dia malah menaruh api yang menyala besar di antara kami.

"Mas, jadi mas cerai, ya, sama Mbak Elena?" Tanya Naila polos.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel