Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

"Enggak tahu sih, mas, soalnya aku juga baru lihat. Nantilah aku cari informasi, "ucapnya sambil tersenyum. "Eh, jangan-jangan, hayo loh, mas, hati-hati sudah punya mbak Elena," lanjutnya sambil tertawa lepas.

"Apaan sih, kamu," ucapku sambil mencubit pipi chubby nya.

Aku melewati gedung yang sudah 80% akan selesai, namun, tidak terlihat motor Pak Hamdan di sana. Mungkin hari ini dia ada keperluan lain sehingga tidak sempat mengontrol para pekerja.

Aku melewati gang rumahku yang terlihat sepi, kalau siang begini memang seringnya sepi karena semua tetanggaku sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

Aku mengerutkan kening ketika melihat sebuah motor gede parkir di halaman rumahku, tidak lain dan tidak bukan itu adalah motor Pak Hamdan.

"Ngapain di rumahku?" Batinku.

Aku mematikan motor, Elena dan Pak Hamdan akan keluar dari dalam dan berdiri di pintu.

"Eh, rumah kamu di sini juga, ya, Rus? Yang mana?" Tanya Pak Hamdan.

Mata Elena membelalak lebar dengan bibir menganga, mungkin Elena menyangka aku akan singgah ke rumah ibu dan akan pulang malam.

"Eh, eee, anu, Pak, rumah saya di belakang sana. Saya mau pesen pecel untuk acara di rumah ibu saya besok," ucapku berbohong.

'aduh, kenapa aku malah berbohong?' batinku.

Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa marah-marah seperti orang lain ketika melihat istrinya bersama laki-laki lain, aku malah melindunginya dan terlihat mendukung.

Bukan apa-apa, aku tidak mau ada keributan di rumah tanggaku dan terakhir bakal aku yang salah, padahal sudah jelas di depan mata kesalahan itu ada padanya, namun, akan berbalik padaku. Aku yakin itu.

"Oh, iyalah," ucapnya sambil tersenyum. "Tuh, Elena, ada pesanan," ucapnya memandang Elena.

Elena tidak bisa berkata, dia hanya bisa tersenyum getir dengan sesekali menatap ke arahku.

Aku dan Elena menyaksikan kepergian lelaki paruh baya itu, aku langsung masuk ke dalam rumah ketika body motor sudah tidak terlihat.

"Mas, mas, aku bisa jelasin, mas," ucap Elena.

"Jelasin? Jelasin apa? Kalau kamu main belakang dengan bosku, gitu?" Sentakku.

Aku menghempaskan tubuhku di sofa, duduk dengan punggung bersandar dan kaki lurus di atas meja. Elena mendekatiku dan duduk di sampingku.

"Mas, tadi mas Hamdan hanya singgah, kebetulan kami jumpa di simpang gang depan, mas," ucapnya padaku.

Aku hanya diam lalu menghembuskan nafas berat, kutinggalkan begitu saja Elena yang masih memandangku.

"Mas, aku enggak ada hubungan apa-apa sama dia," ucap Elena lagi.

Istriku mengejar langkahku yang akan masuk ke dalam kamar, namun, aku secepatnya menutup pintu di saat sudah sampai dalam dan kubiarkan dia di luar.

Inilah aku, kenapa aku tidak bisa seperti lelaki lain yang kuat mental? Yang kuat menghadapi masalah? Kini aku hanya bisa diam dan menangis, menyesali semua perkataan ku yang seharusnya tidak pernah aku katakan dulu.

"Aku enggak akan punya anak, kalau aku belum punya rumah," ucapanku itu di setujui dan di benarkan oleh istriku.

Tapi kenyataannya sangat mengejutkan, aku dan istriku sudah berusaha untuk mendapatkan momongan pun, tidak bisa, tidak terkabul. Maka sekuat tenaga kami bekerja sama untuk mendapatkan sebuah rumah.

Tak pernah terpikirkan olehku ternyata punya sebuah rumah itu membutuhkan modal yang sangat besar. Sayangnya aku dan istriku tidak bisa menarik ucapanku itu hingga akhirnya sampai saat ini kami belum bisa memiliki momongan. Aku yakin karena ucapanku itu, bukan karena satu di antara kami yang mandul.

"Maaas, aku mohon, buka pintunya," ucap Elena di sertai dengan ketukan pintu. "Maaas, aku minta maaf," lanjutnya.

Aku tidak bisa membiarkan istriku sedih seperti itu terus, aku juga harus memikirkan tekanan batinnya untuk memiliki seorang anak.

Kriieet ...

Pintu terbuka.

Elena menghambur ke dalam pelukanku, air mata yang sedari tadi menetes dari sudut mataku, kini mengalir semakin deras.

"Mas, maafin aku," ucapnya sambil memelukku dengan erat.

Aku memeluknya dengan erat sambil menganggukkan kepala.

.

.

"Mas, aku mau belanja dulu, ya. Kalau mau makan, itu sudah aku siapkan di meja makan," ucap Elena.

"Iya, dek," jawabku sambil menganggukkan kepala.

Setelah Elena menutup pintu depan, langkah kakinya memakai sendal terdengar, aku beranjak ke meja makan untuk makan malam.

Dreett ...

Dreett ...

Aku mendengar suara getaran gawai, aku berjalan ke sumber suara getaran ternyata gawai tergeletak di meja rias begitu saja.

'nomor baru?' batinku.

Set!

Aku terkejut ketika Elena menyambar gawai miliknya, "HP ku ketinggalan," ucapnya nyengir.

Aku memaksakan bibirku merekah, "Nomor baru, siapa dek?" Tanyaku.

"Entah enggak tahu, mas. Sudahlah biarkan saja, enggak penting," ujarnya sambil meninggalkanku di dalam kamar.

Aku mengikutinya dari belakang, ternyata Elena kembali berjalan ke arah warung. Aku kembali menikmati masakan Elena yang sudah tersaji di meja makan.

Gulai kepala patin di campur dengan terong ungu, hmmm mantap. Itulah Elena, mampu mengambil hatiku, di setiap ada masalah di rumah ini pasti ada saja caranya untuk menyenangkan hatiku.

"Benar juga, masakan istriku ini enak dan lezat, pantas saja aku enggak tergoda untuk makan di luar," gumamku.

Tok! Tok!

Suara ketukan pintu.

"Masuk saja loh, Dek, enggak di kunci pun," ujarku dengan suara sedikit berteriak.

"Ini aku, mas, Naila," teriak gadis chubby yang sangat aku sayangi.

Aku beranjak dari meja makan setelah mencuci tangan terlebih dahulu.

Kriieet ...

"Dor!" Naila mengejutkanku.

"Ih, apaan sih," ucapku kesal sambil menonyor jidatnya.

Aku masuk ke dalam, Naila mengikutiku dari belakang lalu mencampakkan tasnya ke sofa. Tangannya sibuk membuka tali sepatu di tengah-tengah pintu.

"Mbak ke mana, Mas?" Tanya Naila.

"Ke warung, belanja," jawabku sambil mengambil posisi duduk.

"Di warung? Warung siapa? Perasaan waktu aku lewat enggak ada siapa-siapa deh," ucapnya sambil masuk ke dalam dan menenteng sepatunya.

"Ada itu, kamu yang enggak ngeh," ucapku menenangkan hati.

Naila berdiri di depanku sambil menatap lauk yang ada di sebuah mangkuk berukuran sedang yang ada di meja makan.

"Mas, ibu tadi pagi masak dendeng loh," ucapnya sambil duduk.

"Masa? Kok kamu enggak bawa?" Tanyaku.

"Aku ke sini enggak sengaja, karena sudah kemalaman tadi dari rumah teman maka pulangnya ke sini. Mas, aku boleh tinggal di sini enggak? Kalau boleh, aku mau sekolah SMA yang dekat sini saja," ujar Naila.

"Nai, tanya mbakmu nanti, ya, mas enggak tahu," ucapku.

Memang baru saat ini Naila ingin tinggal bersama kami, dari awal Naila tinggal bersama ibu di rumah setelah ayah meninggal.

"Mas, tadi itu beneran mamanya Eddy, tapi dia cuman ibu sambung. Ibu kandung Eddy masih ada sih katanya tapi dia sendiri juga belum pernah jumpa," ucap Naila.

'jadi Pak Hamdan sudah menikah dua kali? Dan sekarang masih ingin mendekati istriku?' batinku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel