Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Bekal Widodo sudah terbuka, aku melihat ada telur rebus sambal dan rebusan daun singkong. Aku menatap orang-orang di sekelilingku, mereka makan dengan lahap karena sudah beberapa jam kerja yang menguras keringat.

"Rus, makan! Tunggu apa lagi?" Ujar Widodo.

"Enggaklah, aku masih kenyang," jawabku lalu meneguk segelas air mineral tanpa sisa di dalam gelas.

Sesekali kupandangi nasi milik Widodo yang ada di hadapanku, dan sesekali pula aku meminum air mineral untuk mengisi perutku yang kosong.

* * *

Bruk!

"Astaghfirullah, Rustam!" Ucap Pak Edwin sambil menggoyangkan lenganku.

Aku mendengar beberapa orang berlari mendekatiku, namun, aku tidak bisa membuka mata karena lelahnya tubuhku.

"Kenapa?" Tanya Pak Hamdan ketika berada di sampingku.

"Pak, Rustam pingsan," ucap Pak Edwin.

Aku berusaha membuka mata, ternyata aku sudah di kelilingi dengan teman-teman yang ada di lantai satu.

"Ayo, angkat ke dalam mobilku," ujar Pak Hamdan.

Aku berusaha menahan tangan Pak Edwin yang akan membopongku, aku tidak mau ke rumah sakit karena aku hanya kelelahan.

Rasa tenggorokanku sudah sedikit lega ketika Pak Edwin memberikan ku segelas air mineral, aku duduk sambil bersandar di tumpukan sak semen.

"Kamu sakit, Rus?" Tanya Pak Hamdan.

"Pak, kalau boleh saya izin pulang," ucapku lirih.

"Mari, aku antar," ujarnya.

"Enggak, Pak, biar saya pulang sendiri."

"Apa kamu bisa mengendarai motor?"

Aku mengangguk-anggukkan kepala, aku tidak mau Elena marah padaku kalau Pak Hamdan tahu Elena adalah istriku.

Di perjalanan pulang, aku merasa pusing dan pandanganku semakin kabur. Aku nekat dan menguatkan hati hingga aku sampai di rumah.

.

.

Krieett ...

Pintu rumah terbuka.

Aku mendongak memandang Elena yang baru pulang dari jualan keliling.

"Kok kamu sudah pulang, Mas?" Tanya Elena sambil menghempaskan bokongnya di sofa. "Apa sudah banyak uangmu?" Lanjutnya.

"Aku pusing karena enggak makan siang," jawabku sambil memalingkan wajah memandang TV.

"Halah! Alasan," ucapnya ketus.

"Elena! Aku ini benar-benar pusing, ngerti enggak sih kamu kalau pekerjaanku itu be—"

"Iya. Aku tahu pekerjaan kamu berat, Mas. Tapi kamu itu enggak boleh manja, baru enggak makan siang aja sudah loyo. Loyo apa malas?" Sentak nya.

Aku duduk lalu memandangnya, kalau ini di teruskan pasti bakal panjang ceritanya. Aku lebih memilih beranjak lalu tidur di kamar.

Suara barang pecah belah di dapur kembali berisik, pasti Elena membersihkan alat dagangannya. Aku menutup telinga menggunakan bantal.

"Hmmm, capeknya, untung dagangan ku habis," gumamnya sambil duduk di tepi ranjang.

Sedikit kubuka mata untuk melihat Elena, dia sedang duduk dan memandangi uang yang ada di tangannya dan sesekali menciumnya.

Elena membungkuk lalu mengeluarkan sebuah tabungan yang terbuat dari kaleng, dia memasukkan selembar uang berwarna hijau.

"Sabar, ya, Nak, mama masih mengumpulkan uang," ucapnya sambil mengelus-elus kaleng itu.

Sakit hatiku melihat Elena seperti itu, aku yakin Elena tidak sabar untuk memiliki momongan tapi kami masih dalam masa proses pembelian material.

Kami akan membangun rumah di sebelah rumah yang kami tempati sekarang ini, tanah itu bagian dari warisan orang tua Elena.

Aku enggak tahu harus marah atau bagaimana di posisi seperti ini, Elena selalu saja ada alasan kalau aku marah kalau aku melarangnya menjual pecel kepada Pak Hamdan.

* * *

Malam ini aku duduk sendiri di ruang tamu, sedangkan Elena masih pergi ke warung untuk membeli keperluan dapur. Aku duduk bersandar di sofa dan di temani segelas kopi hitam manis dan segar.

"Heh! Dasar ibu-ibu, enggak tahu apa-apa ikut campur," sungut Elena kesal sambil meletakkan sebuah kantong plastik berwarna hitam begitu saja di atas meja.

"Kenapa, Dek?" Tanyaku memandangnya.

"Eehh, Elena, kapan kamu nyusul? Ponakan ku yang baru menikah tahun lalu, tadi sudah melahirkan loh. Huh! Andai aku enggak butuh warungnya, enggak bakal aku balik lagi ke rumah itu," ucap Elena kesal.

Hari-hari Elena sudah biasa mendengarkan ucapan seperti itu, tapi Elena masih saja bertahan dengan omongan orang. Istriku tetap berpedoman pada kesepakatan kami.

"Biarlah, Dek, suatu saat nanti mereka tahu sendiri," ucapku dengan nada datar. "Besok aku enggak kerja, Dek," lanjutku.

"Enggak kerja? Ya, enggak apa-apa sih mas. Masih sakit 'kan?" Ucapnya.

"Enggak, aku mau ke sekolah Naila. Tadi dia telpon kalau aku besok harus hadir di acara sekolahnya."

"Oh, iyalah, mas," ucapnya singkat.

"Tumben kamu enggak marah?" Tanyaku penuh selidik.

Elena menghela nafas panjang, "Mas, mau kamu itu bagaimana? Aku marah, salah. Aku diam saja, salah. Aku mencoba ngerti dengan kondisi kamu, mas. Lagian adik kamu juga butuh kamu 'kan?" Ucapnya.

Aku mengangguk-anggukkan kepala, jujur aku masih ragu dengan sikap Elena saat ini. Biasanya dia akan menggerutu dan marah-marah jika aku tidak bekerja. Tapi sepertinya saat ini biasa saja.

Elena duduk di sampingku sambil bersandar di sandaran sofa. Wajahnya tampak lelah, di malam hari dia harus belanja dan pagi hari sebelum orang bangun, dia harus mulai masak. Aku tidak bisa berkomentar dengan kedekatannya dengan Pak Hamdan saat ini.

"Mas, besok kalau tabungan kita sudah banyak, langsung beli rumah saja, gimana?" Tanyanya padaku.

"Ah, mending buat saja, bisa mengikuti selera kita," ujarku.

"Kalau buat, kelamaan," jawabnya.

"Memangnya sudah berapa tabungan kita? Tanah plus rumahnya itu mahal banget loh."

"150juta, Mas," ucapnya lagi.

"Apa?" Sontak aku terkejut mendengar ucapan Elena. Padahal baru sebulan yang lalu, tabungan kami masih mencapai 30juta rupiah, dari mana Elena mendapatkan lebihnya itu?

"Kamu enggak percaya kan? Aku saja tadinya enggak percaya, mas, tapi nasib baik sedang menimpa kita," ucap Elena.

"Dek, mending buat saja, soalnya material sudah sebagian kebeli, masa mau di tinggal begitu saja, kan sayang," ujarku kekeh.

Elena mengangguk-anggukkan kepala, sepertinya dia setuju dengan pendapatku. Elena beranjak dan meninggalkanku ke dapur untuk menyiapkan bahan pecel di esok hari yang akan dia jual.

.

.

"Mas Rustam! Sini!" Teriak Naila ketika aku celingukan di sekolahnya mencari dirinya.

Gadis berambut panjang sebahu, berjalan ke arahku dengan gaya centilnya. Senyum semringah dia tunjukkan padaku, terlihat jelas di wajahnya dia sedang bahagia.

Bruk!

Naila bertabrakan dengan seorang pemuda, "Ih, jalan itu yang bener!" Sentak nya.

"Woi!" Sentakku pula. Aku tidak terima, adik kesayanganku di sentak oleh orang lain.

Pemuda itu hanya sekilas menoleh ke arahku, dia melanjutkan perjalanan ke koridor sekolah tanpa merasa bersalah.

Naila berjalan ke arahku sambil mengusap-usap lengan sebelah kanannya.

"Sakit, sayang? Siapa dia?" Tanyaku.

"Enggak, mas. Itu Eddy. Galuh Eddy Pratama namanya, siswa paling angkuh di sekolah ini, padahal papanya hanyalah seorang pemborong di sebuah bangunan. Gayanya udah kaya anak seorang pengusaha kaya raya," gerutu Naila.

"Anak pemborong?" Tanyaku ulang.

"Iya, bangunan hotel bintang lima yang masih di bangun itu, enggak jauh dari swalayan," ucap Naila menjelaskan.

"Hamdan?" Tanyaku.

"Kok, mas tahu?" Tanya Naila heran.

Aku tersenyum getir sambil menggelengkan kepala, ternyata Hamdan adalah lelaki yang tak tahu diri. Anak sudah dewasa masih mengaku bujang lapuk kepada istriku. Dasar!

Ternyata di sekolah Naila mengadakan acara perpisahan, tidak terasa, Naila sudah lulus sekolah SMP dan dia akan masuk ke sekolah SMA. Semoga saja, aku masih bisa membantu ibu untuk menyekolahkan adikku ini.

"Naila, itu, ibunya Eddy?" Tanyaku berbisik.

"Mungkin, Mas. Biasanya kalau ada acara, Pak Hamdan yang datang, tapi kali ini mungkin istrinya," jawab Naila.

Ternyata istri Pak Hamdan adalah seorang pekerja kantoran, pantas saja anaknya sombong, terus kenapa Pak Hamdan malah tidak mengakui kalau dia sudah punya istri? Ada apa di antara mereka?

Acara yang di selenggarakan hari ini berjalan dengan lancar, semua siswa dan siswi merasa sedih karena mereka akan berpisah dengan teman sekaligus guru-guru mereka yang sudah bersama selama tiga tahun di sekolah ini.

"Mas, bisa minta tolong ambilkan mobilku di sana? Sempit banget soalnya aku takut kalau kena mobil orang," ujar mamanya Eddy, tepatnya istri Pak Hamdan.

"Baik, Bu," ucapku sambil mengambil kunci mobil dari tangannya.

Kebetulan aku pernah bekerja sebagai supir pribadi, jadi mau sesempit apa pun keadaan, aku masih bisa melewatinya.

Aku menghentikan mobil berwarna merah itu tepat di depan pintu gerbang, aku berjalan mendekati seorang wanita paruh baya dengan rambut panjang sepinggang yang terurai.

"Terima kasih, ya, mas," ucap wanita itu sambil menerima kunci mobilnya kembali.

"Sama-sama, Bu," jawabku.

Wanita itu menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arahku, "Mas, jangan panggil, ibu. Panggil saja Alexa," ucapnya.

Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Memang, wanita itu tidak pantas di panggil ibu karena wajahnya masih terlihat muda, sama sepeti Elena, masih 25 tahun. Tapi kenapa Alexa sudah memiliki anak yang lulus SMP?

"Mas Rustam, aku pulangnya nanti, ya, mau kumpul dulu sama temen," ucap Naila yang baru saja datang di tempat parkir motor.

"Iya," jawabku singkat sambil memakai helm.

"Eh, Naila!" Teriakku. Naila menoleh, "Itu tadi beneran ibunya Eddy bukan sih?" Tanyaku penasaran.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel