Bab 6
"Naila, jangan nyerocos dulu, mas, masih pusing," ucapku dengan nada tinggi karena kami masih di perjalanan.
"Kan aku tanya, Mas."
"Iya, tanyanya nanti di sana saja. Sekarang mas lagi enggak bisa mikir," ujarku kesal.
"Jadi, Mas, enggak ada pikiran?"
"Astagaaa, Nailaaaa," teriakku. Takku hiraukan beberapa pengendara lain yang melintas memandangku yang teriak-teriak seperti hilang akal.
Aku pulang ke rumah ibu, yang jaraknya 60 menit dari rumahku. Rencana Naila mau sekolah dari rumahku, kini mustahil terjadi. Karena saat ini aku tidak ingin pulang ke rumah.
* * *
"Rustam, tumben kamu ke sini enggak sama Elena. Elena mana?" Tanya ibuku dengan tangan masih memegang daun pintu dan kepalanya celingukan.
"Enggak ikut, Bu," jawabku singkat lalu masuk ke dalam melewati ibu yang masih menutup pintu.
Aku merebahkan tubuhku di sofa, perjalananku ke proyek sangat jauh. Tapi mau bagaimana lagi, mungkin aku mulai besok bisa ikut camp di sana bersama beberapa orang yang jauh rumahnya.
Ibu ikut duduk denganku di sofa berseberangan denganku, rasa penasarannya masih tampak di wajahnya.
Untung saja Naila langsung masuk ke kamarnya, sedari tadi dia ngoceh ingin tidur karena rasa kantuk sudah menyerangnya.
"Rustam, ada apa kamu malam-malam begini ke rumah ibu? Tapi adik kamu mau tidur sana, kok enggak jadi?" Tanya ibu dengan lirih.
"Bu, aku ke sini ngantar Naila, dia minta pulang. Kasian kan kalau dia harus pulang sendirian?" Ucapku berbohong.
"Hoak itu, Bu. Mas Rustam berantem sama mbak Elena," timpal Naila yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.
'Astaga ini anak, enggak bisa banget jaga rahasia,' batinku.
"Berantem?" Tanya ibu terkejut.
"Bu, sudah enggak apa-apa, bukan masalah besar kok," ucapku sekilas menatap wajah Naila dengan mata melotot.
"Rustam, kalau bukan masalah besar, kenapa kamu harus ke rumah ibu malam ini?"
Pertanyaan ibu tidak dapat kuelakkan, aku menghela nafas panjang. Andai aku cerita pun, pasti aku yang tetap salah. Karena di keluarga kami, bagaimana pun masalahnya jangan sampai keluar dari rumah.
Aku tidak mau menceritakan masalah ini pada ibu, kalau bisa pun ibu tidak usah pernah tahu. Apalagi kakak-kakak iparku, pasti mereka akan marah besar kalau tahu aku keluar dari rumah itu.
"Bu, aku capek, aku mau istirahat," ucapku sambil beranjak dari dudukku.
Malam ini aku tidur di kamarku yang dulu, di mana aku masih bujangan. Di sini masih banyak kenangan yang terpendam, foto-foto dan cerita indah yang telah aku lewati tertempel di dinding kamarku.
.
.
Tampak dari kejauhan, sepeda Elena sudah terparkir di halaman gedung yang masih di garap. Namun, tak ada Elena di sana. Aku memarkirkan motor sambil memandang ke sekeliling untuk mencari Elena.
Jujur, baru berapa jam saja tidak bertemu dengannya, aku sangat rindu padanya. Kenapa aku bisa sebodoh ini? Padahal aku sudah di khianati olehnya.
"Rustam! Hari ini kita enggak bisa makan pecel," ucap Edwin sambil tertawa lepas. Lelaki itu jalan ke arahku sambil membuka pengaman kepala.
"Kenapa?" Tanyaku kepo.
"Itu, mbak Elena di bawa pergi sama Pak Hamdan. Entah ke mana, itu sepedanya parkir di sana," ucap Edwin.
'astaga, ke mana perginya Hamdan dan Elena?' batinku.
Hari ini aku bekerja tidak bisa fokus, pikiranku pergi ke Elena, Elena, dan Elena. Mau bagaimana pun dia masih menjadi istri sah ku. Tidak seharusnya aku membiarkannya begitu saja setelah mendengar dia di bawa orang lain, tapi, aku harus mencari ke mana?
Aku duduk sebelum jam istirahat, tubuhku lemah karena tenaga dan pikiranku bekerja keras. Aku mengambil gawai yang ada di saku celana.
Tuuut ...
Tuutt ...
Aku memanggil Naila lewat aplikasi biru.
"Halo, ada apa mas?" Tanyanya. Di sana sedikit berisik sehingga suaranya tidak begitu jelas.
"Nai, kamu tahu alamat Eddy 'kan? Nanti kirim ke mas, ya!" Ujarku.
"Untuk apa, Mas? Hayo loh, mau ketemu mamanya Eddy, ya?" Tanyanya menggoda.
"Enggak, mau kasih paham aja ke Hamdan, lelaki tak tahu diri itu. Mbak mu di bawa sama Hamdan entah ke mana," ucapku dengan nada emosi.
"Oalah, oke, mas. Aku kirim nanti, sekarang aku masih di perjalanan, di dalam angkot," ucapnya.
"Iya, mas tunggu."
Panggilan berakhir ...
Aku akan mencari Elena ke mana coba? Aku bekerja dengan sesekali menoleh ke belakang, di mana sepeda Elena terparkir di sana.
Tidak lama aku mendengar suara motor RX-King milik Pak Hamdan memasuki halaman gedung, aku menoleh, benar saja. Elena dan Pak Hamdan baru saja entah dari mana.
Elena memegang empat tote bage di tangannya, bibirnya semringah, dan wajahnya berseri-seri. Jauh betul dengan yang sudah aku bayangkan. Aku kira Elena bakal meratapi kesalahannya, tapi dia malah menikmatinya.
"Pak, dari mana?" Teriakku ketika Elena akan meninggalkan halaman itu, langkah Elena berhenti lalu menoleh ke arahku yang sedang berjalan ke arah Pak Hamdan.
"Biasalah, jalan-jalan," jawab Pak Hamdan sambil tersenyum kekeh.
"Cuman sebentar kok, mas, ke swalayan aja," timpal Elena.
Aku tidak memandang Elena sedikitpun, mataku fokus kembali pada pekerjaan yang menumpuk di depan mataku.
Aku hancur, aku nyerah, awalnya aku ingin mencari Elena dan ingin memaafkannya sekali lagi, namun, semua rasaku timbun dalam-dalam.
"Biasalah, Rus, masih dalam masa pendekatan," ucap Pak Hamdan sambil tersenyum.
Aku melemparkan senyum getir, nyeri di hatiku menghentikan pergerakan bibirku yang akan merekah.
Aku mengerti kenapa pak Hamdan seperti ini, dia tidak tahu kalau aku adalah suami Elena. Aku juga tidak mau memberitahu nya karena Elena sudah terlanjur bicara kalau dia tidak memiliki suami. Aku akan diam, aku akan ikuti aturan main istriku. Istriku, diamku akan membuatmu menyesal seumur hidup.
"Oh, iyalah, Pak, semoga jadi, amin," ucapku.
Aku kembali bekerja walaupun dada masih terasa panas, hati masih terasa nyeri, cemburu masih meronta-ronta.
Ting!
Satu pesanku terima.
[Mas, ini alamat Eddy, oh, ya, ini juga ada informasi kalau besok di rumah Mbak Ita ada acara. Mas, harus datang sama mbak Elena, kalau enggak mas tahu sendiri kan dia bakal marah besar? Tadi Mbak Ita ke rumah.]
"Kenapa mbak Ita enggak langsung telpon aku?" Gumamku. 'ini pasti ada pembahasan tentangku di rumah ibu.' batinku.
Berati hari ini aku harus tidur di rumah, aku enggak mau kalau mbak Ita marah karena aku enggak bawa Elena.
"Rus, rumah kamu kan dekat dengan Elena, menurut kamu, dia orangnya bagaimana?" Tanya Pak Hamdan yang tiba-tiba berada di sampingku.
Aku menghentikan tanganku yang sedang menyusun batu bata ke dalam angkong, "Ya, baik sih. Dia enggak neko-neko, Pak," jawabku singkat.
"Kira-kira kalau aku dengan dia, cocok enggak?"
Rasa panas di dalam dadaku semakin membara, ingin rasanya aku menjerit sejadi-jadinya. Tapi aku tidak akan egois, aku akan mengikuti apa keinginan Elena.
"Ya, cocok aja pak," ucapku tanpa memandang lelaki tua itu.
"Sepertinya, aku harus menjalankan rencanaku," gumamnya.
"Apa, Pak?" Tanyaku pura-pura tidak mendengar.
"Gini, Rus. Aku ada rencana menikahi Elena, sebelumnya aku bisa minta tolong?" Tanya Pak Hamdan lagi.
Aku termangu menatapnya, "Minta tolong apa, Pak?" Tanyaku.
"Kamu, kerja di rumahku sebagai supir pribadi istriku, kamu antarkan dia ke mana saja yang dia inginkan, yang penting kamu harus beri aba-aba kalau sedang ada lampu merah, kamu ngerti 'kan? Kamu ikuti ke mana pun dia pergi, pokoknya kamu juga seperti bodyguard untuknya, gimana?" Tanya Pak Hamdan.
"Oh, oke, Pak. Boleh-boleh, dengan senang hati," ucapku sambil tersenyum.
Bagai ketiban bintang di surga, pekerjaan yang pak Rustam berikan padaku ada dua keuntungan yang kudapat. Aku bisa membalaskan sakit hatiku kepada Elena dan Rustam sekaligus.
"Mulai kapan saya bisa bekerja, Pak?" Tanyaku.