BAB. 7 Nyonya Emily Mencoba Menghibur Putrinya
Saat Tuan Frank marah kepada putrinya, Stefany, dan melarangnya keluar rumah selama seminggu. Nyonya Emily, ibu Stefany, ternyata sedang berada di depan pintu kamar anaknya dan mendengar semua perkataan yang diucapkan oleh suaminya. Hatinya terasa hancur karena melihat anaknya yang sedang dimarahi.
Dengan hati yang berat, Nyonya Emily menunggu Tuan Frank keluar dari kamar Stefany sebelum memasuki kamar tersebut. Pintu kamar dibanting dengan keras, oleh suaminya yang menggema di seluruh rumah.
Setelah tahu sang suami telah pergi dari kamar putri mereka.
Nyonya Emily masuk ke dalam kamar Stefany dengan hati yang berat. Dia melihat putrinya duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi oleh air mata yang mengalir deras. Hatinya terasa hancur melihat anaknya seperti itu.
Nyonya Emily duduk di samping Stefany dan memeluknya erat.
"Stefany, Mommy ada di sini untukmu. Mommy tahu betapa sulitnya situasi ini bagimu," ucap Nyonya Emily dengan lembut, mencoba menghibur anaknya yang sedang bersedih.
Stefany menangis semakin keras, mencurahkan semua kesedihannya kepada ibunya.
Gadis itu lalu menoleh ke arah ibunya dengan mata yang masih berkaca-kaca.
"Mommy, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Daddy sangat marah padaku. seolah-olah aku tidak pernah melakukan apapun yang benar di matanya,” ucap Stefany di antara tangisannya.
Nyonya Emily mengelus punggung Stefany dengan lembut.
"Dear, dengarkan Mommy. Daddy mungkin marah sekarang, tapi itu bukan berarti kamu tidak berharga. Kamu adalah anak yang luar biasa dan Mommy sangat bangga padamu," ucap Nyonya Emily dengan penuh kasih.
Stefany hanya terdiam. Lalu sang ibu berkata lagi,
"Apa yang dikatakan Daddy kepadamu, Dear?”
Stefany berkata dengan pelan, "Daddy mengatakan jika aku tidak boleh keluar rumah selama seminggu. Daddy selalu seperti itu, Mommy. Kenapa Daddy tidak pernah mengerti aku?”
Nyonya Emily dapat merasakan kesedihan yang mendalam melihat anaknya yang begitu rapuh saat ini. Sang ibu mencoba memahami, tapi hatinya juga penuh dengan pertanyaan yang sama.
"Stefy, Mommy tahu ini sulit. Tapi, percayalah pada Mommy, kita akan melewati ini bersama-sama. Apapun yang terjadi, Mommy akan selalu ada di sampingmu. Mommy akan coba berbicara dengan Daddy."
Stefany mencoba menghapus air mata di wajahnya.
"Terima kasih, Mommy. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa Mommy."
Nyonya Emily tersenyum lembut.
"Kita akan cari jalan keluar bersama, Dear. Sekarang, bagaimana kalau kita berbicara lebih dalam tentang ini? Apakah ada yang ingin kamu tanyakan pada Mommy?” tanya sang ibu kepada putrinya.
Mendengar perkataan ibunya. Stefany pun ingat pada satu hal. Dia pun bertanya kepada Nyonya Emily,
“Mommy, aku ingin bertanya.”
“Kamu ingin bertanya tentang apa, Dear?” sahut sang ibu.
Stefany mengangkat kepalanya, matanya masih penuh dengan air mata.
“Mommy kenapa Daddy tidak pernah menyukai Daniel? Padahal dia sangat baik kepadaku dan selalu menjagaku dari Pablo dan Abner yang suka jahil kepadaku,” ucap Stefany.
Lalu sang ibu menjawab dengan napas berat,
“Daddy tidak suka kepada Daniel karena dia adalah keturunan Keluarga Alexander. Sejak dulu keluarga kita selalu berselisih dengan mereka. Mommy juga kurang mengerti kenapa Daddy sangat membenci keluarga itu,” tutur sang ibu.
Stefany kembali terdiam mendengar perkataan ibunya.
“Sepertinya akan susah untuk bicara dengan Daddy kali ini. Tapi, Mommy akan terus mencoba,” serunya lagi.
"Tapi, Mommy. Sepertinya aku akan merasa begitu kesepian. Daddy mengatakan jika aku tidak bisa keluar rumah selama seminggu. Bagaimana jika teman-temanku menanyakan tentang aku? Caroline, Marsha, terutama Daniel. Dia pasti akan semakin merasa bersalah," ucapnya dengan suara gemetar.
Nyonya Emily menggenggam tangan Stefany dengan erat. "Dear, teman-temanmu itu, anak yang baik, dan sahabat sejatimu.
Mereka pasti tidak akan melupakanmu hanya karena kamu tidak bisa keluar rumah. Ketiganya akan tetap ada untukmu, dan mommy bisa menghubungi mereka melalui telepon," jelas Nyonya Emily dengan penuh keyakinan.
Stefany menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Aku hanya tidak tahan dengan amarah Daddy. Apa yang harus aku lakukan, Mom?" tanyanya dengan ragu.
Nyonya Emily tersenyum lembut.
"Kita akan melalui ini bersama, Dear. Mommy akan selalu ada untukmu. Mommy akan mencari cara untuk menjaga hubunganmu dengan Daddy tetap baik. Mommy akan berbicara tenang dan saling mendengarkan, dengan Daddy," ucap Nyonya Emily dengan penuh harapan.
Stefany menatap ibunya dengan mata yang penuh harap.
"Terima kasih, Mommy. Aku sangat beruntung memilikimu sebagai ibu," ucapnya dengan suara lembut.
Nyonya Emily lalu memeluk Stefany erat.
“Dan Mommy juga sangat beruntung memilikimu sebagai anakku. Kita akan melewati masa sulit ini bersama-sama, Dear," ucap Nyonya Emily dengan penuh cinta.
Mereka pun berdua duduk di atas ranjang Stefany, saling mendukung satu sama lain dalam keheningan yang penuh kasih.
Setelah Stefany tidur, Nyonya Emily keluar dari kamar putrinya dengan hati yang berat. Dia merasa sedih dan khawatir tentang keadaan putrinya yang dibatasi untuk keluar rumah oleh Tuan Frank, suaminya selama seminggu. Dengan langkah hati-hati, Nyonya Emily berjalan menuju lantai bawah rumah mereka, tepatnya di ruang keluarga.
Di ruang keluarga, Tuan Frank terlihat sedang duduk di sofa sambil asyik mengisap cerutu favoritnya. Wajahnya terlihat masih tegang dan tampaknya dia sedang menahan emosinya.
Nyonya Emily sepertinya tahu jika inilah saat yang tepat untuk berbicara dengan suaminya mengenai kekhawatirannya tentang pembatasan yang diberlakukan pada Stefany.
Nyonya Emily memutuskan untuk pergi ke dapur terlebih dahulu untuk membuatkan kopi bagi suaminya. Dia berharap dengan memberikan secangkir kopi, suasana akan menjadi lebih santai dan mereka bisa berbicara dengan lebih baik.
Sambil menyiapkan kopi, Nyonya Emily mulai berpikir tentang bagaimana dia akan mengungkapkan perasaannya tanpa menyinggung perasaan Tuan Frank.
Setelah kopi siap, Nyonya Emily membawanya ke ruang keluarga. Dia duduk di sebelah Tuan Frank dan memberikan secangkir kopi kepadanya. Mereka berdua diam sejenak, menikmati minuman itu sambil melihat tayangan film dokumenter tentang dunia binatang di layar televisi.
Akhirnya, Nyonya Emily memulai percakapan dengan lembut,
"Darling, aku ingin membicarakan sesuatu tentang Stefany. Aku merasa khawatir dengan pembatasan yang kita berlakukan padanya. Dia masih muda dan perlu ruang untuk tumbuh dan belajar dari pengalaman di luar rumah."
Tuan Frank menoleh ke arahnya, wajahnya masih tegang.
"Aku hanya ingin melindungi Stefany, Emily. Dunia di luar sana tidak selalu aman. Aku tidak ingin dia terluka atau terkena pengaruh buruk dari Daniel, keturunan Keluarga Alexander!"
Nyonya Emily menggenggam tangan Tuan Frank dengan lembut.
"Aku mengerti kekhawatiranmu, Darling. Tapi kita juga harus memberinya kesempatan untuk menjalani kehidupannya. Dia perlu belajar bagaimana menghadapi tantangan dan mengambil keputusan sendiri."
Tuan Frank menghela nafas panjang.
"Aku tahu, jika aku terlalu protektif. Tapi aku tidak ingin kehilangan dia. Apa lagi masa depan Stefany telah kita tentukan sejak kecil! Makanya aku harus menjauhkannya dari Daniel!"
Nyonya Emily tersenyum lembut.
"Kita bisa memberikan batasan yang lebih longgar, tapi tetap mengawasi dan membimbingnya. Kita bisa memberikan kepercayaan kepadanya dan membiarkannya belajar dari kesalahan. Dia adalah anak kita, dan kita harus memberinya kesempatan untuk tumbuh. Stefany dan Daniel hanyalah teman masa kecil, seharusnya kamu juga tahu itu."
Tuan Frank merenung sejenak, namun hatinya masih keras.
“Aku tidak mau dibantah Emily!” hardiknya keras.