PART 08
Tak ada lagi sesuatu yang harus dilakukannya. Maka saatnya ia naik ke atas tempat tidur, lalu berselancar di dunia maya, login ke akun Facebook-nya, lalu menelusuri status-status temannya satu persatu. Jika ada status-status yang perlu di-like ia akan memberinya like, namun ia jarang memberi komentar. Dan ia sendiri jarang meng-update status. Status terakhirnya sekitar dua minggu yang lalu. Sangat banyak yang kasih like dan komen, dan ia belum punya cukup waktu untuk membalas komen mereka. Hanya memberinya like pada tiap komen tersebut.
Saat ia menelusuri status-status temannya itu, ada satu status yang menarik hatinya. Status dari Mbak Latifah dengan caption:
“Aku tak punya pilihan selain hanya menunggu!”
Zoelva mencoba menganalisa isi caption itu sambil membacanya berulang-ulang. Tapi ia pun mengangkat kedua bahunya. “Apa pun tulisan dia, itu semua masalah dia. Lantas mengapa harus berusaha untuk kepo menganalisanya?”
Zoelva tersenyum dan menggeleng-geleng pelan. Ia malah merasa lucu terhadap pikirannya sendiri.
Tiba-tiba ada video call masuk. Ternyata dari si pemilik status yang ia coba analisa, Latifah. Ia langsung menerimanya. Ketika wajah sang bidadari muncul dengan jilbab krem yang membingkai wajah cantiknya, sambil tersenyum, Latifah langsung memberinya salam.
“Walaikumsalam, Mbak Ifah. Sudah selesai nata-natanya?” sahut Zoelva dan membalas senyum sang bidadari dengan sebuah senyuman kecil.
"Alhamdulillah, sudah, Dik. Ini sudah di tempat tidur, mengantarkan tidur sang bidadari kecilnya Mbak,” jawab Latifah sembari mengarahkan kameranya ke samping. Putrinya terlihat sudah terlelap dalam tidurnya.
“Usianya sudah berapa, Mbak?”
“Masuk lima tahun, Dek. Baru TK Nol Kecil. Kalau Dik Zoel anaknya berapa...?”
Zoelva langsung menutup wajahnya dengan bantal, menyembunyikan tawa. “Boro-boro punya anak, Mbak Ifah, bojo aja belum punya. Em...maaf, suami Mbak Ifah lagi ke mana?”
“Suami Mbak lagi ke Kudus, Dek Zoel.”
“Oh beliau orang sana?”
“Nggak, satu kota dengan Mbak Kok,” sahut Latifah, lalu bertanya, “ Maaf, Dek Zoel kerja di perusahaan apa?”
"Saya punya beberapa gerai jewelry, Mbak Ifah. Ya masih kecil-kecilan, sih, hehehe.”
“Maksudnya sejenis toko perhiasan emas, perak, permata gitu ya, Dek?”
“Betul sekali, Mbak Ifah. Tapi saya bukanya di mall-mall gitu, Mbak.”
“Waaw...! Berarti Dek Zoel ini seorang pengusaha muda, dong? Sukses selalu ya, Dek?”
“Hehehe, amin Allahumma amin,” ucap Zoelva. “Kalau suami Mbak Ifah sendiri kerja di mana? Maaf...”
“Di sebuah perusahaan di Ungaran, Dek Zoel...Ya...bentar....”
Tampaknya ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya Latifah. “Dek Zoel, Mbak tutup dulu teleponnya ya, ada uminya Mbak...”
Seusai itu Zoelva sesaat merenung. Ada apa dengan wanita ini? Kok masih sempat-sempatnya menghubunginya kembali? Baginya, itu terasa agak aneh walau juga sungguh luar biasa.
Tiba-tiba ada pesan WA masuk. Ternyata dari Latifah juga. "Dek Zoel, kalau ada waktu dan tak mengganggu, besok siang atau malam Mbak ingin vidcall lagi dengan Dek Zoel . Jika Dek Zoel tidak keberatan, maksud Mbak."
Aih, pastilah tak keberatan! Membatin Zoelva. Entah mengapa, tiba-tiba ada semacam perasaan girang dalam hatinya? "Baiklah, Mbak Ifah. Insya Allah, waktu selalu ada," balasnya.
Habis itu, seperti biasa, sebelum menarik selimutnya, Zoelva meng-off-kan hapenya.
Siang hari, saat Zoelva sedang berada dalam ruang kerjanya di gerainya di sebuah Mall di kawasan Senayan, Tante Liliana mengontaknya. “Hai, Tan, selamat siang?”
“Selamat siang juga, Say. Say lagi di mana...?” suara kecil dan lembut Tante Liliana terdengar dalam speaker hape.
Zoelva membuang wajahnya ke arah lain sembari membuang nafas malesnya, sebelum menjawab, “Ini lagi di gerai yang di daerah Senayan, Tan. Tante sendiri lagi di mana?”
“Oh begitu, berarti lagi sibuk ya, Say...?”
Zoelva mengawasi kesibukan karyawannya melalui dinding kaca tembus pandang. Dinding ruangan kerjanya itu dari luar tampak seperti sebuah cermin besar, tapi dari dalam ruangan kerjanya tembus pandang ke luar.
“Ya biasalah, Tan, kadang agak slow kadang sibuk sekali. Tante sendiri lagi di mana?”
Tante Liliana ini merupakan wanita keturunan Chinese, memiliki wajah yang cantik dan bentuk tubuh yang sangat sexy walau sudah berusia hampir empat puluh tahun. Ia merupakan istri dari seorang pengusaha yang cukup ternama di Jakarta dengan banyak cabang usaha yang usianya hampir enam puluh tahun. Sebenarnya suami dari wanita itu kenal baik dengan dengan Zoelva karena termasuk salah seorang bos pemasok barang-barang yang dijual olehnya. Beberapa kali ia bertemu dengan sang big bos itu, dan dari pertemuan-pertemuan itulah Zoelva bisa mengenal dengan istrinya, Tante Liliana. Dan lewat nomor WA yang diambilnya dari ponsel suaminya, wanita itu pertama kali mec-chat-nya. Dari seringnya chatting, keduanya pun sepakat untuk bertemu, yang kemudian berakhir di ranjang. Seingat Zoelva, ia telah 4 kali mengadakan pertemuan dengan wanita yang memiliki wajah mirip artis film Hongkong, Maggie Cheung, itu, namun entah berapa kali mereka bergumul di atas ranjang, di atas karpet, maupun di kamar mandi hotel, di sebuah vila di kawasan puncak Bogor, maupun di apartemen Zoelva sendiri.
“Ini Tante lagi di jalan Otista, Kampung Melayu,” sahut Tante Liliana. Dan, “Kita boleh ketemuan sekarang nggak, Say? Di apartemennya Tante yang di Kebon Jeruk?”
“Sebenarnya mau bingit, Tan. Tapi hari ini skedul saya lagi padat. Sebentar lagi saya menerima kolega saya, membawakan barang-barang dagangan, nih! Besok kalau sudah ada waktu luang, saya akan kontak Tante, ya?”
Hari itu memang ia akan menerima kiriman barang-barang dagangannya dari perusahaan importir penyuplainya. Namun setelah itu tak ada skedul pertemuan lainnya, kecuali setelah itu mengunjungi beberapa gerainya yang berada di Daerah Kebayoran Baru lalu yang di daerah Bekasi dan Bogor. Sebenarnya alasan sebenarnya adalah ia sudah merasa jenus dengan wanita itu. Terlebih karena permainannya yang kurang ‘menggigit’. Walaupun ganas, namun selama permainan sangat jarang ia mengeluarkan desahan dan erangan yang menaikkan gairahnya. Sangat beda dengan permainan dari Bunda Jesica, Bunda Ariani, Tante Velosita, dan lain-lain yang pernah ia bombardir di atas ranjang. Bahkan ia berniat untuk mengakhiri skandalnya dengan istri koleganya.
“Oh, begitu? Baiklah Sayang. Tante tunggu, ya?”
“Ok, Tan...”
Hm, Zoelva menghela nafas panjangnya. Justru saat itu wajah Latifah yang muncul di benaknya: sebentuk wajah cantik dengan seulas senyuman yang mulai membuatnya mabuk kepayang. Ia lantas mulai berpikir untuk mengakhiri petualangan birahinya. Ini keinginannya yang sekian memang. Keinginan untuk kembali hidup yang normal tanpa terlalu jauh menyimpang dari norma-norma. Ia merasa sudah jenuh untuk terus hidup dalam kemunafikan yang luar biasa. Ia terlihat sangat low profile, tampak berwibawa, serta selalu terlihat jaim, namun sebenarnya ia tak lebih dari seekor singa berbulu domba, bahkan lebih buruk dari itu.
“Aku harus berubah! Kauharus berubah, Zoelva Paranaka! Sebelum semuanya terlambat!” Ia menyugesti dirinya sendiri.
