Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 09

Tekadnya kali ini adalah tekadnya yang paling kuat. Apakah setelah ia mengenal Latifah dan pengaruh wanita itu? Mungkin! Entah mengapa, jika memandang wanita itu, walau lewat video call, ia merasa dirinya sangat rendah dan percaya diri. Ia merasa tak pantas untuk menjadi teman wanita itu. Perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Selama ini, ia selalu merasa dirinya pria yang ganteng, mapan, dan sangat mudah untuk menaklukkan wanita. Wanita buat menaklukkan gejolak-gejolak birahi darah mudanya.

Malamnya, tepat pukul 22.30 WIB Latifah melakukan panggilan vidcall lagi, sepertu janjinya semalam. Saat itu Zoelva sudah naik ke tempat tidur, sedang asyik bercengkrama dengan teman-teman di dunia maya Facebook. Ia tiduran, menyandarkan punggungnya dengan bantal yang ditinggikan.

"Dik Zoel sudah siap untuk tidur, ya?" Latifah membuka percakapan, setelah kami sama-sama saling memberi dan menjawab salam. Perasaan Zoelva lumayan lebih tenang dan rileks daripada saat obrolan-obral via vidcall dengannya sebelumnya.

"Belum, Mbak. Kebetulan lagi bercengerama dengan teman-teman FB dan di grup WA,” sahut Zoelva sembari menyunggingkan seulas senyum. “Mbak Ifah sendiri belum tidur?”

“Biasanya Mbak tidurnya paling cepat jam 11 malam, karena harus menidurkan gadis kecil Mbak dulu serta merampungkan pekerjaan rumah tangga lainnya. Biasalah Dik, ibu rumah tangga, hehehe.”

“Ohya, namanya siapa, Mbak?”

“Namanya Asyifa, Dik Zoel.”

“Panggilannya...?”

“Syifa, Dik.”

“Namanya indah, seperti nama uminya. Pasti kelak pun secantik uminya,” puji Zoelva yang membuat wajah sang bidadari di seberang langsung menutup wajahnya dengan bantal.

“Dik Zoel sudah mulai keluar gombalnya,” ujar Latifah, malu-malu manja.

“Hehehe, tapi serius kok yang saya bilang itu, Mbak,” ujar Zoelva. “Ohya, maaf, bapaknya belum pulang, ya?”

"Belum pulang, Dik. Mungkin seminggu dia baru pulang," jawab Latifah. Entah mengapa saat mengatakan itu ia membuang wajahnya ke arah lain.

"Oh, begitu...?”

“Dia sedang berada di sebuah padepokan di daerah itu.”

“Oh...dalam rangka apa beliau di padepokan?"

Agak lama Latifah terdiam baru menjawab, "Sedang mengurus suatu hal, Dik Zoel.”

Kemudian seolah-olah dia mengalihkan pembicaraan dengan bertanya, “ Dik Zoel kenapa belum menikah? Padahal Dik Zoel usia dan ekonominya sudah matang dan mapan?"

"Ya niat sudah ada Mbak, tapi memang mungkin Tuhan belum waktunya untuk memberikan jodoh kepada saya," jawab Zoelva. Mungkin itu alasan yang tak berlebihan juga, karena memang jodoh itu seperti ajal, ada waktunya yang sudah ditentukan datangnya. Paling tidak, begitulah yang pernah ia dengar dari Bang Hendi.

"Oh begitu, Dik? Tapi yang penting Dik Zoel sudah punya niat, rencana, dan usaha. Urusan hasil dan kapan, itu kita pasrahkan sepenuhnya kepada Sang Pemberi Jodoh.”

“Benar sekali, Mbak, dan saya meyakini itu.”

“Ohya, Dik Zoel nggak merasa terganggu waktunya oleh Mbak?”

"Sama sekali tidak, Mbak. Saya juga belum ngantuk, kok.” Zoelva memberikan keyakinan pada sang bidadari dalam layar hapenya dengan sebuah senyuman. “Mungkin Mbak Ifah mau bercerita tentang sesuatu? Ceritalah, Mbak, saya siap untuk mendengarkannya."

“Belum, sih. Atau Dik Zoel mau yang bercerita sesuatu juga sama Mbak?” Malah Sang Bidadari bertanya balik.

“Cerita tentang apa, ya?” Zoelva melihat ke atas, seolah-olah sedang mengingat-ingat sesuatu yang bisa diceritakan.

"Cerita apa saja, Dik Zoel. Yang penting bisa untuk menambah ilmu, berbagi pengalaman, atau apalah,” jawab Latifah. Satu senyuman kembali wanita itu sunggingkan.

Zoelva menatap ke wajah Latifah di layar gawainya. Tahi lalat yang bertengger di bagian depan atas pipinya yang indah bak pauh dilayang itu mengingatkannya pada tai lalatnya pedangdut Ine Cyntia. Tapi dalam hal wajah, tentu sang bidadari di layar hapenya masih lebih cantik. Kecantikan khas wanita campuran Pakistan-Jawa.

“Tapi untuk saat ini saya belum ada bahan, Mbak, hehehe. Mungkin Mbak Latifah dulu yang bercerita?”

“Cerita tentang apa, ya....?” Wanita itu memutar-mutar bola mata indah dan sayunya ke langit-langit rumah, seolah-olah sedang mencoba untuk mencari bahan ceritanya.

"Cerita apa sajalah, Mbak. Asal bukan cerita tentang legenda Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari, ya? Hehehe...,” pinta Zoelva, mencoba sambil berkelakar.

Latifah pun jadi ikut tertawa kecil. "Kalau cerita Jaka Tarub bisa tujuh hari tujuh malam, Dik, baru selesai, hehehe. Dik Zoel kok tau cerita Jaka Tarub? Maaf, mang Pak Zoel asli orang mana?"

"Pasti taulah, kan legenda itu sangat terkenal. Saya dari Sumatra, Mbak. Ayah Sumatra, tapi Umi saya campuran Timor Leste-Portugis.”

"Oh pantesan, wajah Dik Zoel ada bule-bulenya gitu. Sudah lama di Jakarta?”

“Belum tujuh tahun, Mbak. Karena sebelumnya saya kulian di Jogja beberapa semester sebelum pindah kuliah di Jakarta.”

"Sudah cukup lama juga ya, Dik ? Trus sejak kapan Dik Zoel tau ceritanya Jaka Tarub?”

"Ya pokoknya taulah. Itu cerita beberapa kali diceritakan oleh guru kelas saya waktu SD," sahut Zoelva. "Tapi maaf, apa Mbak Ifah tak takut suaminya jika ntar ketahuan suka vidcall dengan saya?"

“Dik Zoel takut ya jika suami saya tau kita sering curhatan? Kan tak ada yang ditakutkan, Dik? Kita ngobrolnya bersih-bersih saja.” Tak tampak kekhawatiran di wajah Latifah saat mengucapkan itu. “Dia bukan pecemburu kok Dik Zoel, tenang saja.”

“Syukurlah, Mbak,” sahut Zoelva. “Saya hanya coba untuk mengingatkan Mbak Ifah saja, sih. Bagaimanapun saya juga seorang laki-laki, tentu sangat paham perasaan sesama laki-laki. Tentu laki-laki atau suami mana pun tak pernah suka jika tahu istrinya suka kontakan dengan laki-laki lain, sekalipun hanya sekedar obrolan biasa saja. Apalagi...cowoknya seganteng saya. Hahaha...”

Latifah ikut tertawa. “Iya, Mbak percaya. Tak ada siapa pun yang akan mengatakan Dik Zoel itu jelek, pasti semuanya mengatakan Dik Zoel itu ganteng, bahkan sangat ganteng,” pujinya. Namun kemudian wajahnya tiba-tiba berubah sendu, dan, "Jujur, Dik Zoel, suaminya Mbak sedang sakit. Sudah masuk bulan kelima sekarang dia menjalani perawatan."

"Innalilahi wa innailaihi rajiun. Saya ikut prihatin, Mbak Ifah. Memangnya suaminya Mbak Ifah sakit apa?"

"Dia terkena musibah kecelakaan, Dik. Tertabrak lari oleh pengendara sepeda motor. Kedua tulang keringnya patah. Dia dirawat di sebuah pedepokan di daerah Kudus itu." Latifah tiba-tiba menunduk dan mengusap kedua sudut matanya dengan menggunakan ujung hijab hitamnya.

"Astaghfirullah, biadab sekali si penabrak itu. Tak bertanggung jawab. Tapi kenapa nggak dirawat di rumah sakit saja, Mbak, kok malah dirawat di padepokan?"

"Saya maunya dia dirawat di RS, tapi keluarganya memilih untuk membawanya ke sana. Dia sedang menjalani perawatan sangkal putung."

"Apa itu?"

"Ya sejenis pengobatan patah tulang ala tradisional Jawa."

"Oh iya, iya, saya pernah dengar sekilas juga tentang pengobatan itu," aku manggut-manggut. "Lantas bagaimana kondisinya sekarang?"

"Alhamdulilah, sudah menuju pemulihan. Tapi belum boleh dipakai untuk beraktivitas dulu sampai pulih total. Katanya sih, dua atau tiga mingguan lagi dia baru bisa pulang."

"Ya syukurlah. Mbak Ifah yang sabar, ya?"

"Insya Allah, Dik Zoel, Mbak dan anak-anak tetap diberi kesabaran," Latifah mengarahkan kamera handphone-nya ke samping, ke buah hatinya yang saat itu sedang terlelap, lalu mengusap kepala buah hatinya itu dengan penuh kasih sayang seorang ibu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel