PART 07
“Boleh! Trus Mas Zoelva suka dipanggil apa oleh teman-teman?”
“Ya, kalau di tempat kerja dipanggil secara formil: Pak Zoelva. Tapi kalau di lingkungan pergaulan biasa, ya Zoel atau Bang Zoel,” sahut Zoelva, lalu tersenyum.
“Berarti Mbak panggilnya Mas Zoel dengan apa? Dik saja, ya? Karena usia saya tentu lebih tua dari Dik Zoel.”
“Oh, silakan, Mbak. Oh ya, kelihatannya Mbak Ifah mau bersiap-siap keluar?”
"Iya nih, Dik, mau ke tempat keluarga dulu, di Kampung Melayu,” jawab Latifah tampak menoleh ke arah layar hapenya, karena saat iru ia sedang melihat ke arah seseorang di dekatnya.
“Oh begitu? Mbak Ifah ke sana dengan siapa?”
“Bertiga sama saudaranya Mbak dan keponakannya Mbak, Dik Zoel. OK, Dik Zoel, nanti lagi kita lanjut zoom-nya, ya? Kita mau bersiap berangkat dulu. Assalamu alaikum...”
“Oh, saya kira dengan suaminya Mbak Juga. Baik, Mbak. Waalaikum salam...”
Zoelva mengira, tadi pagi itu adalah calling terakhir dia dengan Latifah. Tetapi kenyataannya, tepat pukul 13.00 WIB, sang bidadari kembali menghubunginya kembali, juga lewat vidcall. Saat itu ia masih berada di ruang kerjannya di gerainya di sebuah Mall di Bekasi. Dia melihat wanita itu duduk di suatu tempat yang banyak orang yang lalu-lalang. Seperti di ruang tunggu sebuah bandara.
"Assalamualaikum, Dek Zoel. Lagi apa?" Latifah langsung melemparkan senyum yang sama seperti tadi pagi. Seulas senyum khas yang manis tiada tara, menurutnya.
"Waalaikumsalam, Mbak Ifah. Ini saya lagi di tempat kerja. Mbak Ifah sendiri lagi di mana? Sepertinya di sebuah ruang tunggu, bandara, mungkin?”
“Iya benar, Dek Zoel, Mbak lagi ruang tunggu bandara Soetta. Mau balik ke Demak,” sahut sang bidadari. Saat itu sang bidadari mengenakan hijab lebar berwarna hijau Suzuki.
Dasar orang cantik, mau mengenakan hijab warna apa pun, tetaplah cantik, batin Zoelva. “Kok mendadak sekali, Mbak Ifah?”
“Iya Dek, putrinya Mbak nangis terus, kangen katanya. Makanya Mbak balik duluan, saudara Mbak mungkin besok atau lusa.”
“Berarti putrinya nggak dekat banget ya dengan bapaknya? Hehehe...”
“Iya begitulah Dek Zoel. Eh, kok Dek Zoel tau, sih?”
“Cuma nebak aja sih, Mbak. Hehehe. Oh ya, nanti turunnya di Solo, Jogja, atau Semarang?”
“Oh begitu? Ikh, sudah guanteng pandai menebak pula, hehehe,” kelakar Latifah lalu tertawa pelan. Tapi lagi-lagi ia menutup separuh wajahnya dengan hijab yang dikenakannya. “Lewat Semarang, Dik, Bandara Ahmad Yani.”
“Oh iya. Trus boarding time-nya jam berapa?”
“Ini sebentar lagi. Ok, Dik Zoel, kita sambung ntar malam lagi, ya? Doakan perjalanan Mbak nyaman dan selamat?” Sekali lagi sang bidadari menyihirnya dengan sebuah senyumannya yang teramat manis.
“Baiklah, Mbak. Insha Allah, perjalanannya nyaman dan selamat, amin Allahumma amin,” sahut Zoelva sembari tak lupa membalasnya dengan sebuah senyum pula.
Malam, sekitar pukul 22.00 WIB, seperti janjinya, Latifah kembali menghubungi Zoelva. Masih melalui saluran video call. Saat itu ia masih duduk di ruang tamu rumahnya, karena baru pulang dari gerainya. Begitu wajahnya muncul di layar hape, sang bidadari langsung mengucapkan salam.
“Walaikumsalam, Mbah Ifah,” jawab Zoelva. “Mbak Ifah lagi apa? Mbak Ifah seperti di dalam tokoh?”
Saat itu wanita itu memang sedang mengatur barang-barang dagangan dalam etalase tokonya.
“Iya, Dek Zoel. Mbak buka toko sembako, juga busana muslim,” sahut Latifah sembari sekali-kali melirik dan tersenyum. “Ini Mbak lagi mengatur barang dagangan kiriman. Tapi sudah mau rampung, kok. Dik Zoel baru pulang kerja, ya?”
“Oh seperti itu? Iya nih, Mbak. Sebenarnya pulang dari tadi, tapi tadi mampir sebentar di apartemen.”
“Kalau begitu Dik Zoel mandi, makan, atau apa dululah, satu jam lagi Mbak kontak Dik Zoel, kalau boleh.”
“Oh, baik, Mbak. Bolehlah, kebetulan malam Minggu, besok saya masuknya setelah zuhur. Ok, Mbak, sampai nanti. Assalamualaikum.”
“Walaikum salam...”
Tadi Zoelva sudah makan dengan koleganya di sebuat restoran seafood. Berarti sekarang dia hanya perlu merendam tubuhnya dengan air hangat di bathtub.
Sebuah panggilan masuk. “Hm, Tante Liana,” gumamnya.
“Hai, Tan...?”
“Hai juga, Sayang? Zoel lagi di mana?” terdengar suara lembut nan manja dari seorang wanita di seberang.
“Ini lagi mau mandi, Tan. Baru pulang kerja ,” sahut Zoelva sembari mencopot pakaiannya untuk diganti dengan mantel mandinya.
Namanya Liliana, seorang wanita karir, single parent, usia 38 tahun, cantik, mungil tapi memiliki bodi padat berisi, merupakan salah satu teman kencannya Zoelva. Dua kali mereka bertemu dua kali itu pula mereka meraih puncak kenikmatan birahi. Pertama di sebuah kamar hotel seusai keduanya menghadiri sebuah seminar yang diadakan di hotel yang sama. Yang kedua adalah di dalam ruang kerjanya wanita yang memiliki wajah oriental itu sendiri. Jika Zoelva dibanding-bandingkan, siapakah wanita yang permainan paling ia disukai di antara sekian banyak wanita yang pernah dikencaninya? Maka jawabannya adalah Nyonya Hasyima alias Bunda Jesica. Bunda Jesica paling mampu memanjakannya secara maksimal, sejak dari foreplay hingga pada permainan yang sesungguhnya. Sementara Tante Liliana libido dan gairahhnya kelewat tinggi, sehingga maunya cepat dan praktis, dan tak terlalu mengutamakan foreplay. Dalam waktu beberapa menit saja si tante girang itu sudah menjerit keras sembari menancapkan kuku-kukunya di punggungnya sebelum ambruk di atas tubuhnya. Dia mudah mencapai orgasme dalam variasi dan gaya apa pun.
“Tante boleh ikut nggak sayang...?” pintanya dengan suaranya yang manja menggoda.
“Ikut ke mana, Tan? Ke langit biru....?” sahut Zoelva sambil tertawa kecil. “Tante lagi di mana, nih? Kok tumben telepon jam segini? Biasanya jam segini Tante masih di luar?”
“Iya, hari ini Tante tak terlalu banyak skedulnya. Jadi pulang cepat tadi. Sayang...sekarang sudah di mana...?”
“Hm. Ini saya sudah di bathtub.”
Tiba-tiba wanita cantik beranak dua itu mengalihkan panggilan ke panggilan video call.
Zoelva meletakkan hapenya di atas meja kecil dengan memnghadapkan kamerannya ke bathtub, lalu menerima pengalihan panggilan ke video call itu.
“Waaw...!” pekik Tante Liliana begitu melihat sang brondong tangguhnya terpampang di layar hapenya. “Bikin tante kepingin saja kamu Say...!”
“Kepengen apa, Tan...?” goda Zoelva.
“Kepengen bergabung dalam bathtub itu, Say...,” sahut Tante Liliana sambil melangkah ke arah pintu kamarnya, menutupnya, dan menguncinya. “Tante kalau ingat dadamu yang penuh bulu itu, tante pasti horny, tau?” Ia menyandarkan tubuhnya ditempat tidurnya.
Wanita itu sangat cantik dan seksi dengan lingerie putih transparan yang dikenakannya. “Tante sexy nian malam ini,” puji Zoelva.
“Coba kamu berdiri sebentar, Say...,” goda Tante Liliana sambil menggigit bibit bawahnya dengan mata disayukan.
Zoelva menanggapinya dengan tertawa dan berkata, “Janganlah lewat video call, Tante Sayang. Kita sesuaikan saja waktu kita untuk bertemu.”
“Baiklah, Sayang. Tante sudah sangat kangen, tau...?” sahut Tante Liliana. Di wajahnya tampak sebuah gambaran kekecewaan.
“Sama, Tante.”
“Ok, sayang, kamu lanjutkan dulu mandinya, besok Tante hubungi lagi, ya? Bye bye...ummmacch...!!”
“Terima kasih, Tan. Ok. Bye bye...!”
“Ukh...dasar tante-tante girang...!!” Zoelva ngedumel sendiri, tertawa kecil sendiri pula.
Setelah mandi, ia keluar membuka pintu. Ia melihat asisten rumah tangganya, Pak Ujang dan istrinya, Bu Ida, sedang menonton tv di ruang keluarga. “Pak, malam ini saya tidak keluar, itu pintu gerbangnya dikunci saja,” pesannya.
“Baik, Den...!”
