PART 04
Tak ada keraguan di wajah Bu Latifah. Tentu, dari penampilannya saja, pria muda yang menawarinya kebaikan itu mencerminkan orang yang berkelas dan berwibawa. Walaupun ia belum mengenal namanya, tapi dia sempat mengobrol di ruang tunggu praktek dokter tadi. “Apa tidak merepotkan adik?” tanyanya.
“Oh, tentu sama sekali tidak, Bu. Mari...”
Zoelva turun dari mobilnya untuk membukakan pintu depan mobilnya untuk wanita, yang menurut pikirannya memiliki kecantikan bak seorang bidadari itu. Tapi tak perlu diusut, kapan dia pernah melihat bidadari, ntar panjang lagi perdebatannya. Hahaee.
“Maaf, Bu Latifah asli orang sini juga?” tanya Zoelva ketika mobilnya ia lajukan kembali.
“Oh tidak Dek...”
“Oh iya, nama saya Zoelva, Bu. Zoelva Paranaka. Kalau nama ibu saya masih ingat, pas tadi asisten dokter menyebut nama Ibu, hehehe. Maaf...”
Bu Latifah menyembunyikan tawa kecilnya dengan ujung hijab lebarnya. “Oh Dek Zoelva. Maaf ya, saya panggil Dek saja, karena saya yakin usia saya lebih tua dari saya.”
“Iya, silakan, Bu Latifah, hehehe,” sahut Zoelva sembari sesaat melirik ke Bu Latifah di sampingnya. “Usia saya beberapa bulan yang lalu baru masuk 27 tahun, Bu.”
“Oh masih muda. Saya sudah 35 tahun, Dek Zoelva. Sudah tua, kan?”
“Ah, belum Bu. Masih muda, terutama jika dilihat dari wajah Bu. Maaf, malah tadi saya kira-kira usia Bu Latifah sekitar 30 tahun,” ujar Zoelva tanpa bermaksud memuji, karena kenyataannya seperti itu.
“Ah, bisa saja Dek Zoelva. Ibu sudah lumayan tua kok. Eh iya, tadi Dik Zoelva tanya apa...?”
“Tadi saya tanya, Bu Latifah asli orang sini?” Lampu merah menahan laju mobilnya.
“Oh tidak, saya dari Demak, Dik Zoelva. Di jakarta ini saya hanya lagi jalan-jalan saja, terus saya berkonsultasi di dokter tadi, mumpung sedang di Jakarta.”
“Oh, begitu. Dari Kota Wali rupanya? Tapi...Bu Latifah mirip-mirip blasteran Arab, mungkin?”
“Hehehe, benar Dek Zoel. Tepatnya blasteran Jawa-Pakistan. Pakisatan dari jalur ayah saya. Dek Zoelva sudah pernah ke Demak?”
“Sudah beberapa kali, Bu.”
“Ke Demak dalam rangka wisata religi atau dalam rangka kunjungan kerja?”
“Hm, bisa dikata dua-duanya Bu, hehehe. Terus ke Jakarta Bu Latifah sama siapa?”
“Dengan saudara saya, cewek.”
“Oh, begitu.”
Setelah itu tak ada lagi yang pembicaraan. Zoelva tak ingin terus bertanya, takut dibilang kepo. Bibirnya terasa mengering. Seumur-umur, dia belum pernah merasakan bibirnya mengering seperti ini. Sang bidadari di sampingnya benar-benar mampu membuat pikiran hingga bibirnya mengering, ckckck.
Lampu merah berganti hijau.
Tiba-tiba Bu Latifah bertanya, “Maaf, Dek Zoelva punya nomor WA atau akaun Facebook?”
“Oh, ada, Bu. Nomor saya...081xxxxxxxxx. Dan nama akun FB saya sama seperti nama asli saya, Zoelva Paranaka,” jawab Zoelva tanpa menoleh pada lawan bicaranya karena saat itu ia sibuk melihat jalan di depan yang makin macet saja.
Bu Latifah mencatat dan men-save nomor yang disebutkan oleh Zoelva itu di hapenya. Setelah itu ia masuk ke akun Facebook-nya, dan menelusur nama yang disebutkan oleh pemuda di sampingnya. Dapat. Hmm, ternyata dia seorang ekskutif muda? “Ini ya Dek, akunnya?” Ia memperlihatkan layar hapenya.
Zoelva menoleh. “Iya Bu, benar sekali.”
“Saya add ya? Nama akun saya Latifah Khairani, nama asli saya.”
“Oh baik Bu Latifah, nanti sampai rumah saya akan konfirmasi. Terima kasih, Bu.” Zoelva tersenyum semanis mungkin.
“Sama-sama, Dek Zoelva. Ini sudah sampai, Dik. Berhenti saja setelah di halte itu.”
“Oh iya, Bu.”
Ketika akan keluar dari mobil, wanita itu mengucapkan terima kasih dan dijawab oleh Zoelva dengan ucapan, “Sama-sama, Bu Latifah.”
Namun saat sudah di bawah, Bu Latifah menengok ke dalam mobil melalui jendela depan dengan sedikit membungkukkan tubuhnya, “Ngobrolnya ntar kita lanjutkan lewat hape ya Dek Zoelva?”
“Oh, dengan senang hati Bu. Mari Bu Latifah...”
“Ya, mari, hati-hati ya...?”
Zoelva hanya mengangguk sekali dan tersenyum lalu menjalankan kembali mobilnya.
Malamnya, ketika saatnya ia naik ke tempat tidurnya, seperti biasa, Zoelva selalu berkesempatan untuk masuk ke dunia maya. Ia selalu kangen dengan teman-temannya FB-nya. Namun ada yang lebih penting, yaitu membuka di bagian permintaan pertemanan. Ada banyak sekali yang meng-add. Lebih dari seratusan orang. Ia selalu selektif untuk menerima pertemanan. Hanya yang ia kenal atau diperkirakan orang-orang dari kalangannya saja, kaum bisnismen, yang akan ia konfirmasi.
Salah satu di antara mereka ada Latifah Khairani, sang bidadari yang tadi sore ia kenal.
Setelah dikonfirmasi, Zoelva langsung menyempatkan diri untuk berkunjung ke akunnya sang bidadari. Hal yang pertama yang ia lakukan adalah menyusuri linimasa sang bidadari sebelum ia masuk ke dalam album foto-foto dan video-videonya.
“Hmn, wanita ini benar-benar cantik bukan saja di dunia nyata,” gumamnya pelan.
Dari foto-foto yang terpajang di album FB-nya, Latifah adalah seorang ibu dengan seorang anak perempuan yang masih kecil. Mungkin usianya baru lima atau enam tahun. Lalu di foto-fotonya yang lain terlihat ia berfoto bersama dengan kelompok ibu-ibu. Mungkin kelompok ibu-ibu di kampungnya. Entah kelompok pengajian atau kelompok dasawisma. Tetapi yang paling terlihat jelas dalam foto-foto itu, Latifah tampak cantik sendiri. Ia seolah sebutir beras di tengah gabah, atau seekor angsa di tengah-tengah kawanan bebek peking. Hmm, dia benar-benar seorang bidadari yang turun ke bumi. Sangat cantik dan mempesona. Wajah yang membuat sang rembulan pun akan cemburu, seperti kata Pak Suhendi jika sedang menggambarkan kecantikan seorang wanita.
Foto-foto berikutnya adalah foto Latifah yang berpose bertiga dengan seorang laki-laki dan seorang anak perempuan di tengahnya. Pasti itu suami dan anaknya. Dan foto-foto lain berdua dengan laki-laki yang sama. Mereka tampak begitu serasi dan bahagia, pikir Zoelva.
Sebuah pesan messenger masuk, ternyata dari Latifah: “Assalamualaikum Dek Zoelva. Terima kasih sudah dikonfirmasi, ya?”
Aku tersenyum dan membalas: “Waalaikum salam, Bu Latifah. Ya sama-sama.”
Bu Latifah membuka dan membaca pesannya. Tapi setelah menunggu lumaya lama, wanita itu tak membalasnya. Ketika Zoelva mengirim kode jempol pun ia hanya melihatnya saja.
Hm... Zoelva menghela nafas panjang. Mungkin dia lagi sibuk, pikirnya. Atau juga sedang membuka-buka album foto aku dan melihat-lihat foto aku. Ya, foto seorang brondong muda yang usiannya cukup jauh di bawahnya, yang tentu saja bukan teman yang pas baginya. Atau mungkin, ia sedang sibuk chat dengan suaminya di Demak, atau mungkin teleponan. Dan banyak kata ‘mungkin’ yang ada dalam pikirannya tentang yang dilakukan oleh sang bidadari di seberang saat itu.
“Hm, betapa bahagianya laki-laki yang menjadi suami Bu Latifah itu. Ia memiliki istri yang sangat cantik dan lemah lembut. Andaikata aku memiliki istri secantik Bu Latifah, tentu aku pun akan merasakan kebahagiaan yang sama,” gumamnya pelan, seolah-olah ditujukan pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba ada panggilan via video call WA masuk. Ternyata dari Bunda Jesica, dan bukan dari Bu Latifah. Rasa malas di hatinya langsung muncul. Walau demikian, ia tetap menerima panggilan itu. Wajah seorang wanita yang benama Bunda Jesica langsung muncul di layar hapenya, tersenyum dan melambaikan tangannya. Wanita berusia empat puluhan tahun itu sedang berada di tempat tidur dengan mengenakan baju tidur jenis night robe putih transparan. Dia wanita yang cantik dan sangat berkelas, tentu saja.
“Selamat malam, Sayang? Apa kabar?” sapanya romantis.
“Selamat malam juga, Bun. Kabar baik. Bunda lagi sendirian?”
“Iya nih, Say. Kan suami bunda belum balik dari Singapura. Say nggak keluar malam ini?”
“Oh iya, hampir lupa saya Bun, hehehe. Tidak Bun, saya malah baru pulang. Pengen istrahat saja. Rasanya badan capek sekali.”
