PART 03
Petualangan nyleneh-nya dia sendiri mengakuinya, seperti kepada seorang rekan bisnisnya, suatu hari, yang bernama Pak Suhendi, namun diakrabinya dengan panggilan Bro Suhendi. Tetapi oleh Bro Suhendi hanya menanggapinya dengan santai saja, “Di era teknologi informasi kini, hal semacam itu tak perlu diceritakan lagi, Brother. Sebab saya pun kadang melakukan hal seperti itu. Salah satu dosa terbesar di akhir zaman!”
“Iya, saya juga menyadari itu,” sahut Zoelva. “Tetapi setiap habis mengencani wanita, saya selalu merasakan dosa itu nyata. Namun perbuatan yang sama tetap saja saya lakukan, lakukan, dan lakukan. Dan ajaibnya lagi, setelah saya dihianati dan putus dengan pacar saya waktu kuliah di Jogja dulu, saya tidak lagi merasa sreg pada yang namanya gadis, dan lebih cenderung pada wanita-wanita yang usianya lebih tua dari saya. Emak-emak yang nyaris mengalami masa menopause pun saya embat. Ckckckck. Apakah saya ini tidak normal lagi, ya?”
Pak Suhendi tertawa ringan. “Bro Zoel tentu masih sangat normal, menurut saya. Ya, mungkin memang hanya akibat dari semacam rasa dendam saja, setelah cinta Bro Zoel dihianati dan putus dengan mantan gadisnya Bro itu. Rasa dendam Bro itu, saya rasa, dapat diobati dengan mudah dengan sebuah obat.”
“Apa itu...?”
“Menikah!” ucap Pak Suhendi. “Dengan Bro Zoel menikah, insha Allah semua problem itu akan hilang dengan sendirinya, termasuk akan melupakan gadis yang pernah membuat luka di hati Bro Zoel itu. Atau jika Bro Zoel ingin berkonsultasi kepada seorang psikiater.”
Zoelva berpikir agak lama, sebelum bertanya, “Apakah Bro ada rekomen untuk seorang psikiater yang bagus?”
“Ada! Dia seorang psikiter yang jenius dengan analisis yang mumpuni. Teman satu kampus saya dulu. Setelah itu ia melanjutkan spesialisasinya di Oxford University, Inggris.”
“Wanita atau laki-laki?”
“Wanita, seusia saya, sekitar 35 tahun. Suaminya seorang arsitek juga konsultan di bidang itu.”
“Hm, baiklah. Saya coba. Tolong Bro kirim alamat praktiknya lewat nomor WA saya.”
“Tak masalah.”
Rekomendasi dari Pak Suhendi itu baru dapat terpenuhi beberapa hari kemudian. Tempat praktek psikiater itu berada di wilayah Kramat Jati, Jaktim. Zoelva datang ke situ pada sore hari. Saat ia tiba, ia melihat hanya ada seorang wanita yang duduki menunggu di kursi tunggu yang terletak di luar dari ruang praktek psikiaternya.
Setelah mendaftarkan diri pada seorang asisten dokternya, Zoelva menunggu di bangku yang berhadapan dengan wanita yang dia lihat tadi. Kepada wanita itu ia tak lupa mengangguk sekali dan tersenyum. “Maaf, Ibu mau konsultasi atau mengantar...?”
“Saya mau konsultasi, Dek. Adek juga mau konsultasi?”
“Iya, Bu, hehehe.”
Wanita itu tersenyum.
Subhanallah, manis nian senyum itu. Laksana bulan tujuh hari, kata orang dulu. Usianya wanita itu mungkin sudah melewati kepala tiga. Tapi kecantikan dari masa mudanya belum hilang dari wajahnya yang dibingkai oleh jilbab syar’i berwarna hijau toska yang dikenakannya. Dari face-nya, kemungkinan ia blasteran arab, India, atau Pakistan. Untuk menggambarkan kecantikan wanita itu, mungkin Zoelva harus meminjam kalimat pujiannya orang zaman dulu: dahi bak punggung ketam, bibir tebal simetris bak sepasang permata rubi, alis seperti semut hitam berbaris, dagu seolah sarang madu, pipi bak pauh dilayang (buah mangga dibelah tipis), dan sepasang mata bening yang selalu tersenyum. Ya Allah, betapa sempurna ciptaanMu. Pasti dia sangat disayang oleh suaminya, pikir Zoelva.
Kecantikan wanita di depannya benar-benar mampu melenyapkan jenuh di hati Zoelva saat menunggu. Selalu punya kesempatan baginya untuk melirih wanita itu, walau seolah sambil lalu. Saat ketika wanita itu melihat dan tersenyum kepadanya, ia pun balas tersenyum sambil mengangguk pelan. “Ibu sudah lama menunggunya?”
Ibu muda itu menengok jam di pergelangan tangan kirinya, “Lumayan Dek, sudah tiga puluh menit lebih.”
“Mungkin sebentar lagi yang konsultasi keluar.”
“Iya Dek...”
Benar juga, tak lama kemudian seorang laki-laki keluar dari pintu kaca tebal dari ruang praktek. Lalu disusul oleh munculnya sang asisten dokter di pintu yang terkuak. “Nyonya Latifah...? Silakan Bu...”
“Saya masuk dulu, ya Dek,” ujar wanita yang ternyata bernama Latifah itu kepada Zoelva.
“Oh iya, silakan, Bu...”
Subhanallah, namanya secantik orangnya, batin Zoelva. Latifah!
Sekitar dua puluh menit Zoelva menunggu, Latifah muncul dari pintu kaca yang terkuak, lalu disusul oleh munculnya wajah sang asisten dokter. “Saudara Zoelva Paranaka...? Silakan...!”
“Mari Dek, saya duluan, ya?” sapa Bu Latifah dengan suaranya yang lemah lembut sembari melemparkan senyum kepada Zoelva.
“Ya, mari, Bu,” sahut Zoelva, pun dengan suara pelan sembari membalas senyum.
Setelah mengantarkan Latifah dengan pandangannya, ia pun masuk ke dalam ruang praktek sang psikiaternya. Seperti yang diceritakan oleh Pak Suhendi, psikiater itu usiannya sudah melewati kepala tiga. Orangnya cantik dan tampak terlihat muda dari usianya. Lebih pas jika ia berusia sekitar 28 atau 29 tahun.
“Silakan, Pak Zoelva. Ada yang bisa saya bantu?” sambut dr. Ellysa, SpKJ (nama psikiater itu seperti yang tertulis di papan namanya di depan ruang prakteknya), sembari mempersilakannya duduk.
“Terima kasih, Dok.”
Lalu Zoelva menceritakan semua keluhannya seperti yang diceritakannya kepada Pak Suhendi tempo hari. “Apakah secara psikis saya menderita kelainan, Dok?”
“Menurut analisa saya, Pak, eh Mas saja mungkin ya? Menurut analisa saya, Mas Zoelva tidak mengalami kelainan seperti itu. Hanya orientasi seksual saja, dan oriantasi seksual adalah kecendurang psikis secara alami, selama itu orientasinya heteroseksual yang umum atau yang disebut seksual dengan lawan jenis. Hanya saja mungkin, kecenderungan itu sebagai dampak dari kekecewaan masa lalunya Mas Zoelva terhadap mantan kekasihnya yang seorang gadis.”
Zoelva mengangguk-angguk pelan. “Begitu ya, Dok. Berarti fobi saya tidak benar ya Dok.”
“Benar sekali, Mas Zoelva. Oh ya, maaf, apakah Mas Zoelva pernah mengadakan hubungan (sembari mengisyaratkan tanda petik dengan dua jari telunjuknya) dengan seorang gadis setelah putus dengan pacarnya?”
“Tidak, Dok, karena saya tidak lagi merasa sreg dengan seorang gadis.”
Dokter Ellysa mengangguk-angguk. “Maaf, usia Mas Zoelva sudah berapa?”
“Usia saya sudah memasuki 27 beberapa bulan yang lalu, Dok.”
“Sudah bekerja? Atau punya usaha?”
“Alhamdulillah, sudah Dok.”
“Secara usia, mental, dan ekonomi Mas Zoelva sudah matang dan mapan untuk menikah. Saya anjurkan Mas Zoelva untuk menikah. Atau sudah ada rencana untuk itu?”
“Rencana ada, Dok, tetapi calonnya yang belum ada, hehehe.”
Dokter Ellisa tersenyum mesem. “Carilah. Menurut saya, Mas Zoelva bisa dengan mudah untuk mendapatkan calon jodoh jika Mas Zoelva punya niat. Maksud saya begini, problem Mas Zoelva ini bisa hilang dengan sendirinya jika sudah berkeluarga.”
“Berarti apa yang dikatakan oleh Bro Hendi benar juga,” gumamnya seolah-olah pada dirinya sendiri.
“Maaf...?”
“Oh, tidak apa-apa, Dok,” sahut Zoelva agak terbata-bata. “Baik, Dok, saya akan mempertimbangkan anjuran Bu Dokter.”
“Baiklah, Mas Zoelva. Kalau Mas Zoelva suatu saat ingin berkonsultasi online, hubungi saja saya kapan saja,” ucap Dokter Ellysa seraya menyerahkan kartu namanya kepada Zoelva.
“Oh, baik, Dok, terima kasih.”
“Sama-sama, Mas Zoelva.”
Dari tempat praktek dr. Ellysa, Zoelva rencananya akan langsung pulang ke kediamannya di daerah Sawah Besar, Jakpus. Saat mobil melaju pelan di Jl. Mayjen Sutoyo akibat kondisi jalan yang lumayan macet, ia melihat Bu Latifah berdiri di trotoar di antara para pejalan kaki lainnya. Mungkin dia sedang menunggu taksi atau jemputan. Ia langsung menepikan mobil BMW-nya, tepat di depan wanita itu berdiri.
“Maaf, Ibu Latifah sedang menunggu jemputan atau taksi?” tanya Zoelva sopan.
“Eh, Dek yang di dokter tadi ya?” ucap wanita itu, sedikit kaget.
“Iya, Bu...”
“Iya nih, Dek. Lagi nunggu taksi. Tapi dari tadi taksinya sudah berpenumpang.”
“Bu Latifah tinggal di daerah mana?”
“Di Matraman, Dek...”
“Oh berarti kita searah, Bu. Saya di daerah Cempaka Putih. Mari Bu, ikut saya saja. Khawatir Ibu lama baru dapat taksinya, ini sudah hampir magrib.”
