Bab 8
Fenita melirik jam yang tertempel dinding, pukul 06.30. Ia berdecak pelan ketika tidak ada tanda-tanda Karin akan turun sarapan, padahal gerbang sekolah akan ditutup 15 menit lagi. Ia naik ke atas hingga berhenti di depan pintu kamar putri satu-satunya itu.
"Karin ... bangun!" teriaknya disusul ketukan pintu beberapa kali.
Satu detik, dua detik. Tidak ada jawaban dari Karin. Akhirnya Fenita membuka pintu kamarnya yang tidak terkunci. Tubuhnya menegang seketika kala melihat putri kesayangannya terbaring lemas di atas kasur bersimbah darah.
"PAPAA!! ALEX!!" teriaknya panik seraya berlari mendekati putrinya.
Ia melihat putrinya terisak kecil sembari meremas perutnya. "M-ma, sakit ...," ujarnya lirih di sela-sela isakannya.
-••-
"Nona Karin sudah saya tangani. Ia hanya terlalu banyak mengeluarkan darah sehingga tubuhnya lemas. Apakah biasanya darah yang dikeluarkan saat menstruasi sebanyak ini?"
Karin menggeleng lemas. "Biasanya memang banyak tapi tidak sebanyak ini."
"Pendarahan berlebihan saat menstruasi atau bisa disebut juga dengan menorrhagia, dapat menjadi pertanda ketidakseimbangan produksi hormon estrogen dan progesteron. Ini saya kasih obat untuk hormonnya dan obat untuk rasa nyeri perutnya. Diminum dua kali sehari. Jangan minum es dan perbanyak minum air hangat."
Karin mengangguk paham. "Terima kasih, Dok."
Dokter itu tersenyum tipis lalu pamit pergi. Karin menatap Fenita dan Alex yang menatapnya khawatir. Karin menampilkan senyuman lebar untuk meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Ck! Kalian udah denger apa kata dokter barusan 'kan? Aku baik-baik aja. Santuy ...."
Alex berdecih. "Lo gak tau aja tadi Mama udah kayak orang kesurupan. Nangis-nangis, teriak-teriak gak jelas."
Fenita melotot kesal lalu mencubit perut Alex membuat sang empunya meringis kesakitan. Karin tertawa bahagia ketika melihat Alex menderita.
Penderitaan Alex adalah kebahagiaan Karin.
-••-
Rey mengacak rambutnya frustasi. Ia mencoba memejamkan matanya erat-erat. Berharap dapat masuk ke dalam alam mimpi. Tetapi bukan kegelapan menghampirinya, justru yang muncul adalah wajah cantik cewek yang beberapa hari ini terus menarik perhatiannya. Ya, siapa lagi kalau bukan Karin Angel. Rey berdecak. Entah sejak kapan cewek itu berhasil menarik perhatiannya. Dan sialnya, hari ini cewek itu tidak masuk dengan keterangan sakit membuat Rey terus menerus memikirkan cewek itu bahkan ketika Rey sudah mengalihkan fokusnya dengan tugas-tugas sekolah yang sangat memusingkan.
Rey menggeram kesal. Ia bangkit dari sofa lalu menyambar jaket dan kunci motornya kasar. Ia bisa benar-benar gila kalau tidak memastikan keadaan cewek itu sekarang. Ia menjalankan motornya di atas rata-rata. Tak butuh waktu lama, Rey sampai di depan rumah Karin. Ia mengetuk pintu beberapa kali hingga muncul lah seorang perempuan paruh baya dengan daster longgarnya.
"Cari siapa toh, Nak?" tanya perempuan itu.
"Saya teman Karin, Bu," ujar Rey sedikit ragu. Apakah ia bisa dikatakan teman Karin? Ah sudahlah, itu tidak penting sekarang. "Karinnya ada?" tanya Rey.
"Oh, Nona Karin gak ada di rumah. Tadi pagi dia dibawa Nyonya Fenita sama Tuan Alex ke rumah sakit."
Rey mengernyit. Jantungnya berpacu cepat. "Rumah sakit? Dia kenapa, Bu?"
Perempuan itu menggaruk kepalanya bingung lalu berujar, "Kalau itu saya juga gak tau, Nak. Tapi kayaknya cukup parah, soalnya tadi pas saya mau bersihin kamar, kasurnya banyak darah."
"Rumah sakit mana, Bu?" tanya Rey lagi.
"Rumah Sakit Hess, Nak."
"Kalau gitu saya permisi, Bu. Terima kasih!" ujar Rey langsung melajukan motornya kembali. Kini kecepatan motornya makin bertambah.
Shit, apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya? Mengapa ia begitu panik hanya karena seorang cewek? Sial! Rey menghentikan motornya di depan rumah sakit. Ia langsung belari menuju meja pusat bantuan.
"Pasien atas nama Karin Angela. Ada?" tanya Rey.
Suster itu mengotak-atik komputernya sebentar. "Oh, ada! Di kamar Lavender 176."
Rey mengangguk. Ia berbalik hendak menuju kamar Karin tetapi detik berikutnya, ia berbalik menghadap suster itu kembali. "Kalau boleh tahu, kondisi pasiennya bagaimana, Sus?"
"Kondisinya stabil. Hanya kekurangan darah karena terlalu banyak mengeluarkan darah saat menstruasi. Ia hanya perlu banyak istirahat saja," jelas Suster itu.
Rey menghela napas lega. "Terima kasih, Sus!" ujarnya.
Ia duduk di kursi tunggu seraya menyenderkan kepalanya. Karena sudah terlanjur di rumah sakit, sepertinya ia harus sekalian check up. Mencari tahu apa yang salah dengannya akhir-akhir ini.
-••-
Karin mengernyitkan matanya merasa terganggu dengan suara berisik di sekitarnya. Walau begitu ia tetap memilih untuk memejamkan mata dan melanjutkan tidurnya.
"Kamu bilang apa?! Ngaco! Jangan suka bohongin orangtua deh. Mana mungkin cowok ganteng kayak kamu mau temenan sama anak saya yang dekil. Jangan ngaku-ngaku!" ucap seseorang histeris tak percaya, yang Karin yakini adalah suara Mamanya, Fenita.
"Siapa nama kamu?" kini suara lelaki yang tegas terdengar.
"Rey, bang."
Sontak Karin membuka matanya lebar-lebar ketika mendengar suara dan nama Rey. Ia menatap kaget cowok yang berdiri di hadapan Fenita dan Alex.
Fenita tersenyum. "Ganteng banget. Kamu gak berniat gitu jadi menantu tante?" tawarnya.
Rey menatap Fenita terkejut. Ia terdiam, tampak bingung ingin menjawab apa. Detik berikutnya, ia menormalkan wajahnya. Karin sedikit kagum melihat kemampuan Rey merubah ekspresi wajahnya.
"Eh enggak jadi deh. Tante gak boleh merusak masa depan kamu dengan dijodohkan sama Karin. Kamu tampan harus cari wanita yang cantik juga. Masa sama Karin yang dekil sih. Kalau tante jadi Mama kamu juga pasti gak bakal setuju kalau kamu pacaran sama cewek seperti Karin," cerocos Fenita tak sadar bahwa putrinya mendengar semua perkataannya.
"Mama sehat?" tanya Karin dengan pandangan aneh.
Semua pasang mata kini menatap Karin. "Udah bangun?" tanya Alex berjalan mendekat lalu mengelus kepala Karin lembut.
Karin tersenyum kepada Alex lalu menganggukkan kepalanya. Karin mendengus geli ketika melihat Fenita yang bukannya menghampiri putrinya yang sedang sakit, justru memandang Rey kagum.
Pesona Rey bahkan susah ditolak oleh ibu-ibu.
Tiba-tiba Fenita teringat sesuatu. "Kalau gak salah, ini teman kamu yang tolongin kamu pas alergi matcha tea itu kan?"
Karin mengangguk seraya menatap Rey yang berdiri kaku di sana. Ekspresi cowok itu membuat Karin harus menahan tawanya mati-matian. Sangat lucu dan menggemaskan.
"Kok kamu gak bilang kalau yang nolongin kamu itu gantengnya overdosis begini sih."
Karin mendengus geli. Ia menatap Alex lalu tersenyum penuh arti. Alex yang melihat itu hanya mengangguk paham lalu mendekati Fenita. Ia menggoyang-goyangkan lengan Mama kandungnya itu.
"Ke kantin yuk, Ma. Alex laper," rengeknya.
Fenita menggelengkan kepalanya. "Ogah! Mama masih mau lihat cogan di sini. Kamu sendirian aja ke kantin."
Alex menatap Fenita kesal, lalu mengeluarkan ponselnya. "Pa? Halo Pa? Ini nih mama de----mphhh."
Karin tertawa terbahak-bahak melihat Fenita yang gelagapan langsung membekap mulut Alex. "Kamu mau ke kantin kan? Ayo, Mama temenin!" ajaknya langsung menarik tangan Alex keluar.
Sepeninggalnya Alex dan Fenita, suasana di ruangan itu menjadi hening dan sunyi. Karin dan Rey sama-sama tidak ada yang mengeluarkan suara. Hanya saling lirik melirik yang membuat suasana semakin awkward.
"Kenapa lo kesini?" tanya Karin memecah keheningan.
"Ha? E-em mau ngambil jaket gue," jawab Rey gugup yang ia sendiri sebenarnya tidak tahu mengapa kesini.
"Jaket?"
Rey berdeham pelan. "Iya. Itu jaket kesayangan gue."
"Maaf tapi jaketnya dirumah. Tapi udah gue cuci kok."
Rey mengangguk paham, lalu menyodorkan kantong plastik. Karin menerima lalu membukanya. Ia bersorak senang ketika melihat beberapa batang coklat--tidak ini sangat banyak, mungkin 15 batang? Rey tersenyum tipis melihat reaksi Karin yang seperti anak kecil. Sangat tipis. Hingga tidak akan terlihat jika tidak teliti.
"MAKASIH!" teriak Karin girang, "Tumben baik," lanjutnya dengan suara kecil.
Rey mendengus geli. "Yaudah. Gue balik dulu, udah malam," pamitnya lalu mengacak rambut Karin.
Karin terdiam. Pipinya memanas. Karin menggigit bibirnya gemas, menahan pekikan. Apa-apaan ini? Kenapa cowok itu menjadi sangat manis?