Bab 7
Karin menghela napas kesal. Ia masuk ke dalam kelas dengan wajah pucat. Baru seminggu sekolah, ia sudah seperti orang penyakitan saja. Ini semua karena sakit di perutnya. Apa karena ia minum terlalu banyak semalam? Salahkan Alex yang mengajak--tidak, lebih tepatnya menantang Karin untuk minum dua gelas bubble tea size L dengan imbalan akan membelikan buku The Heroes of Olympus yang belum ia punya. Benar, Karin memang pengoleksi buku mitologi itu. Karin sangat menyukai hal-hal berbau mitologi dan immortal. Eh, kenapa jadi bahas itu? Kembali lagi, astaga, perutnya sangat sakit.
Karin duduk di sebelah Rey yang sudah siap bermain games online dengan ponselnya. Satu fakta yang Karin ketahui setelah satu minggu duduk bersama Rey. Selain menyebalkan, cowok itu juga maniak bermain games.
Sebelum bel masuk, games.
Istirahat pertama, games.
Istirahat kedua, games.
Jam kosong, games.
Bahkan saat Karin piket pun, ia melihat cowok itu tidak pulang melainkan bermain games di bangku depan kelas.
Loh, kenapa jadi bahas cowok itu? Skip, ia menelik punggung Dave yang duduk di depannya. Cowok itu berbalik, mengangkat sebelah alisnya. Karin menggeleng prihatin melihat kondisi cowok itu yang sangat kacau sejak dirinya terpilih menjadi wakil ketua osis SMA Blue. Sistem di sekolahnya memang begini, wakil ketua osis harus siswa kelas 10. Sementara ketuanya merupakan siswa kelas 11. Aduh, dari tadi kok Out of Topic mulu sih?
"Aretha mana?" tanya Karin seraya menaruh pipinya ke atas meja. Tangannya mengelus perutnya yang sakit, berharap sakitnya itu hilang secara ajaib.
"Gak masuk. Nenek mereka lagi sakit," jawab Dave tanpa mengalihkan perhatiannya dari proposal di hadapannya. Proposal itu merupakan program kerja OSIS untuk satu tahun ke depan. Bila ada kesalahan, bisa panas kupingnya diomeli.
"Nenek yang mana?"
Dave menatap Karin kesal. Pertanyaan macam apa itu? Seakan-akan Aretha dan Adam memiliki banyak nenek aja. Ia membuang wajahnya lalu menghadap ke depan, mengabaikan Karin. Cewek itu berdecak kesal, tidak mendapat respon dari cowok chubby itu.
"Sok banget! Baru jadi waketos juga!" cibir Karin pelan tapi masih dapat didengar Dave, cowok itu mendengus geli.
-••-
Bel istirahat kedua telah berbunyi. Karin menatap setiap sudut kelasnya. Kosong. Sepertinya kantin sedang mengadakan diskon besar-besaran hingga semua teman sekelasnya tidak ada di kelas. Karin mengernyit ketika menyadari sesuatu mengganjal. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan sekali lagi bahwa tidak ada manusia di sekitarnya. Karin berdiri, kepalanya memutar 180°. Mata Karin membulat sempurna. Ia langsung terduduk dengan wajah pucat pasi.
Ia langsung mengambil tas sekolahnya dan mengobrak-abrik seluruh isi tas itu. Mencari-cari benda tipis yang sangat penting untuk situasinya saat ini. Karin semakin panik ketika tidak menemukan benda itu. Ia merutuki dirinya sendiri. Ia lupa menaruh benda itu karena mengira bulan akan datang satu minggu lagi. Siapa yang tahu kalau bulannya datang lebih cepat?
Ia mengambil ponselnya dan mencari nomor kontak Dave, satu-satunya orang yang dapat ia minta bantuannya sekarang. Karin berdecak ketika Dave tak kunjung mengangkatnya hingga suara seorang perempuan terdengar.
"Maaf nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif. Coba lah beberapa saat lagi."
Shit. Betapa sialnya Karin hari ini. Beberapa menit kemudian, bel masuk berbunyi. Teman sekelasnya satu persatu mulai kembali dan memenuhi ruangan. Bahkan Rey sudah duduk manis di sebelahnya. Karin melirik cowok itu. Haruskah ia meminta bantuan dengan cowok itu? Tapi mau taruh di mana mukanya? Malu coy. Mungkin bagi kalian, hal semacam ini sudah biasa. Tapi bagi Karin, itu hal luar biasa.
Ah, sudahlah. Karin menelungkupkan wajahnya pasrah. Ia dapat merasakan darah yang mengalir deras. Rasanya ia ingin menangis dan pulang sekarang. MAMAAA! PAPAA!
-••-
Karin mengerjapkan matanya beberapa kali. Kepalanya masih di atas meja. Ia melirik kelasnya yang sudah sepi. Sepertinya tidur adalah pilihan yang benar. Ia mengangkat kepalanya. Karin nyaris terjungkal ke belakang kalau saja kedua tangannya tidak memegang sisi meja.
"Udah puas tidurnya?" tanya Rey menatapnya datar.
"Udah dong!" jawab Karin bangga.
Rey berdecak. "Berdiri! Pake jaket gue!" suruhnya seraya menyodorkan jaket pada Karin.
Karin mengernyit. Ia menatap Rey bingung. Jaket? For what gitu loh!? Rey yang melihat Karin hanya celingak-celinguk seperti orang bodoh, merasa geram sendiri. "Cepetan! Darah lo bau amis, bego!" bentaknya kesal.
Karin langsung bangkit berdiri. Ia menoleh ke belakang dan benar saja, rok abu-abunya hampir berubah warna menjadi merah. Karin meringis pelan. Malu banget!
Rey menghela napas berat. Ia menarik tangan Karin agar lebih dekat dengannya. Tangannya melingkarkan jaket ke pinggang cewek itu, menutup rok bagian belakang Karin yang berwarna merah. Setelah itu, ia menaruh kantong plastik di atas meja.
"Gue gak tau biasa lo pakai yang gimana. Gue cuma asal beli." Rey memalingkan wajahnya. Telinganya memerah. Entah malu atau marah karena terpaksa membelikan Karin barang sakral itu.
Karin berdeham. Ia mengambil kantong berisi pembalut itu. "Makasih," cicitnya pelan lalu berlari keluar dari kelas dengan cepat.
Setelah beberapa menit kemudian, Karin keluar dari toilet perempuan. Ia mengelap keringatnya lalu menghela napas lega. Walaupun roknya basah, setidaknya tidak berwarna merah seperti tadi. Karin berdecak pelan mencium aroma amis darahnya yang sangat menyengat. Bau darah menstruasinya memang sedikit lebih amis dari wanita pada umumnya. Pernah sekali ia konsultasi ke dokter, tetapi dokter itu mengatakan tidak ada masalah dan tidak berpengaruh.
"Udah?"
Karin mendongakkan kepalanya, melihat Rey yang berdiri bersandar pada dinding dekat toilet. Ia tersenyum malu lalu menganggukkan kepalanya. "Jaket lo gue balikin besok. Maaf repotin lo banget."
"Hm," jawab Rey cuek, "dijemput?" tanyanya seraya menyodorkan tas sekolah Karin.
Karin menerima tasnya sembari menggeleng lesu. "Disuruh pulang naik ojek online," jawabnya.
Cowok itu mendengus kecil lalu berujar, "Gue antar."
"Gak usah. Entar motor elo bau amis darah," tolak Karin cepat.
"Terus elo mau motor orang yang gak lo kenal bau amis darah?"
Karin terdiam. Benar juga sih. Aduh, jadi gimana dong? Apa ia telpon Alex saja untuk menjemputnya? Tapi abang laknatnya itu pasti tidak akan mau. Apalagi tadi ia bilang, hari ini dirinya sangat sibuk mengerjakan sebuah projek. Terlalu lama berpikir, Karin tersentak kecil ketika tangannya ditarik pelan oleh Rey.
"Gak usah banyak mikir. Gue antar!" ujarnya tak terbantahkan.
Semburat rona merah muncul di kedua pipi Karin. Ia terlihat pasrah ditarik Rey menuju parkiran motor. Karin mengipas wajahnya menggunakan sebelah tangannya yang bebas. Ada apa ini? Sadar Karin! Jangan terlalu mudah terbawa perasaan.