Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Karin membaringkan tubuhnya ke atas ranjang yang disediakan di UKS. Ia memejamkan matanya erat ketika pusing kembali melanda kepalanya. Beberapa waktu yang lalu, ia memang sudah meminta izin dengan gurunya untuk istirahat di UKS karena kepalanya yang berdenyut pusing. Tetapi bukan berkurang, pusingnya makin menjadi.

Tak lama, suara decitan pintu terdengar, tanda ada yang masuk membuat Karin penasaran. Ia ingin membuka matanya, tetapi ia memilih tetap terpenjam, takut pusing kembali melanda.

Karin terperanjat merasakan hangatnya sebuah telapak tangan menyentuh keningnya cukup lama. Napas Karin nyaris berhenti jika orang itu tidak segera menjauhkan tangannya. Sudah terlanjur, Karin tetap memejamkan matanya. Ruang UKS itu sangat sunyi hingga Karin takut setengah mati kalau suara debaran jantungnya terdengar.

"Cepat sembuh, Karin."

Debaran jantung Karin semakin menggila. Bahkan cewek itu menggigit bibir bagian dalamnya agar tidak kelepasan berteriak kencang. Karin mendengar suara decitan pintu disusul suara langkah kaki yang mulai menjauh dan akhirnya hilang. Karin membuka matanya cepat dan mengembuskan napas lega.

"Astaga, gue kira tadi malaikat pencabut nyawa," gumam Karin seraya mengelus dadanya.

Dalam hati, ia terus menebak, siapa cowok tadi? Mungkinkah Dave atau Adam? Entahlah ... mungkin akan Karin tanya nanti. Yang jelas, apa yang cowok itu lakukan, tidak bagus untuk kesehatan jantungnya.

-••-

Bel pulang sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Karin berbelok ke dalam toilet perempuan dan mengeluarkan beberapa alat kecantikan yang ia pinjam dari Nadira, teman sekelasnya. Ia membersihkan wajahnya dengan micellar water, lalu menaburkan sedikit bedak bayi pada wajahnya, terakhir ia mengoles tipis bibirnya dengan lipbalm. Jangan lupa, ia keluarkan sisir yang juga ia pinjam dari Nadira.

"Heran gue. Mau gimana aja tetep cantik," gumam Karin.

Ia berjalan keluar dari toilet dan langsung menuju depan gerbang dengan cepat. Jantungnya berdebar kencang hanya dengan memikirkan dirinya akan berduaan di atas motor bersama Erick. Ia menggigit bibirnya gugup melihat Erick yang sudah berada di depan gerbang dengan motornya. Tak sedikit siswi yang berhenti sejenak untuk menikmati ciptaan Tuhan itu. Erick memang ganteng, cocok sama dirinya yang cantik ini.

"H-hai, Erick!" sapa cewek itu ketika sudah berada di depan Erick.

Erick tersenyum lebar. "Hai! Gimana sekolahnya? Lancar?" tanyanya basa-basi.

Karin mengangguk. "Udah lama nunggunya?"

"Barusan sampe kok," jawab Erick seraya menyodorkan helm pada Karin.

"Mau jalan dulu atau langsung pulang?" tanya Erick, menghidupkan motornya.

Karin membuka kaitan helmnya lalu menjawab, "Terserah elo. Ngikut aja."

"Yaudah kita maka—" Ucapan Erick terpotong dengan kehadiran Rey yang langsung merebut helm Karin. Cowok itu mengembalikan helm itu pada Erick.

"Dia pulang bareng gue," ujar Rey dingin.

Karin mengernyit. "Hah? Emang kita ada janji pulang bareng? Gue gak inget tuh!?"

Rey menoleh. Ia menatap Karin tajam, mengisyaratkan untuk diam lalu kembali menatap Erick datar.

"Karin pulang sama gue. Dia udah janji sama gue tadi," kata Erick tak mau kalah.

"Tadi kan? Sekarang dia punya urusan sama gue. Ada sesuatu yang mau kita omongin, penting."

Karin menelan ludahnya susah payah. Bahkan sekarang mereka sudah menjadi tontonan gratis bagi murid lain. Karin membelalak kaget ketika Erick menarik tangannya mendekat ke cowok itu. Karin dapat melihat Rey mengeraskan rahangnya, tampaknya cowok itu menahan emosinya.

"Lo mau pulang bareng gue atau dia?" tanya Erick.

Astaga, pertanyaan macam apa ini. Karin menggigit bibirnya frustasi. Kalau dia menjawab Rey, maka PDKT-nya dengan Erick terancam gagal. Tapi jika dia menjawab Erick, bisa dipastikan hari-hari sekolahnya akan suram. Karin memejamkan matanya, berpikir sejenak lalu menatap Rey.

"Penting banget?" tanya Karin memastikan.

"Hm," jawab Rey singkat.

Karin menarik napas dalam-dalam lalu menatap Erick bersalah. "Maaf, Rick. Kayaknya gue gak bisa pulang sama elo dulu hari ini. Maaf gak bisa tepatin janji."

Erick tersenyum simpul. "Gapapa kalau itu mau lo. Gue duluan."

Karin dapat mendengar kekecewaan dalam ucapannya. Karin menatap motor Erick yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang. Ia berbalik dan menatap Rey kesal.

"Jadi kenapa?"

"Ikut gue!"

Karin berdecak kesal lalu mengikuti cowok itu hingga ke parkiran sekolah. Cowok itu mengambil sesuatu lalu memberikannya pada Karin. Cewek itu melongo tak percaya.

"Seriously? Cuma karena ini doang lo bilang penting? What the ...." Karin menatap kotak makan di tangannya kesal.

"Itu penting bagi gue. Gue gak suka simpan barang orang lama-lama," jawab Rey tanpa dosa seraya duduk di jok motornya.

Karin menarik napas dalam-dalam, mengontrol emosinya. Cowok di depannya benar-benar menyebalkan. Sangat menyebalkan tetapi juga sangat menyeramkan membuat Karin tak bisa mengumpati cowok itu secara terang-terangan.

"Udah lah. Ngomong sama elo nguras tenaga banget!" kata Karin kesal.

"Hm."

Karin menggigit bibirnya gemas. Ia berdiri dan menatap cowok itu cukup lama. Membuat Rey yang merasa ditatap, mendongakkan kepalanya, menatap balik Karin.

"Apa?" tanya Rey ketus.

Karin mengernyit. "Tadi katanya elo yang nganter gue pulang. Gimana sih? Gak pegang omongan banget. Laki bukan?" sembur Karin sudah sangat kesal.

"Lo raguin jenis kelamin gue? Mau gue tunjukin?"

Karin merasakan kepalanya mulai memanas. Bahkan wajahnya mulai memerah karena terlalu kesalnya. Merasa tidak ada guna berdebat dengan Rey, Karin berbalik dan berjalan keluar tanpa memedulikan cowok itu.

Karin duduk di halte, ia mengeluarkan ponselnya hendak memesan ojek online. Ia kembali mengumpat ketika ponselnya kehabisan baterai. Entah sudah berapa kali dirinya mengumpat hari ini. Ia menatap parkiran motor dengan ragu. Apakah ia harus kembali ke sana dan meminta Rey mengantarnya pulang? Tetapi ia terlalu malu untuk memohon pada Rey. Ia menegadahkan kepalanya ke atas, menatap langit yang mulai mendung.

Karin menarik napas dalam-dalam dan kembali berjalan ke tempat Rey berdiri. Cowok itu tampak sudah siap dengan jaket dan helmnya. Ia menaikkan sebelah alisnya, menatap Karin heran.

"Hape gue mati," kata Karin seraya memalingkan wajahnya malu.

Karin dapat mendengar decakan kesal walau cowok itu memakai helm full face-nya. Karin berdecih dalam hati, kalau bukan terpaksa, ia tidak akan meminta tolong pada cowok itu.

"Naik!"

Karin naik ke atas motor Rey dengan wajah cemberut dan jutek yang dibuat-buat. Sok jual mahal gitu loh. Tanpa Karin sadari, Rey tersenyum kecil di balik helmnya sebelum menjalankan motornya membelah padatnya lalu lintas.

-••-

Baru saja Karin merebahkan tubuhnya di kasur, pintu kamarnya terbuka dan menampilkan wajah menyebalkan para sahabatnya itu.

"Ngapain kalian ke sini?" tanya Karin sambil memejamkan matanya.

"Kok lo pulang bareng Rey?" tanya Dave heran tanpa menjawab pertanyaan Karin, "Bukannya tadi lo bilang mau pulang bareng ayang bebeb Erick lo itu?" lanjutnya.

Karin mendengus kesal. "Batal gegara si Iblis kampret itu!" Ia membuka matanya lalu menceritakan semua kejadian disekolah dengan emosi yang berapi-api.

"Kalau menurut gue, dia suka deh sama lo," celetuk Dave.

"Gak mungkin!" Adam menggeleng cepat. "Rey ganteng, cool, fansnya bejibun. Agak mustahil sih kalau dia suka sama Karin."

"Hm, gue setuju. Kayaknya agak mustahil, kalau gitu kita skip untuk alasan yang satu itu," kata Dave sembari mengelus dagunya.

"Oh gue tau ... gimana kalau ternyata Rey itu gak suka lihat Karin bahagia, makanya dia halangin Karin untuk mesra-mesraan sama Erick," ujar Dave lagi.

Adam mengangguk semangat, "Kalau itu gue setuju!" ujarnya lalu bertos ria bersama Dave.

Karin melotot kesal melihat kedua sahabatnya menghina dirinya di depan wajahnya. "Enak aja! Gini-gini gue juga banyak yang suka keleus," bantah Karin.

Adam dan Dave hanya menatap datar lalu berjalan keluar dari kamar tanpa menanggapi ucapan Karin.

"Sialan lo semua!" umpat Karin kesal.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel