Bab 3
"Muka kamu udah cocok cosplay jadi mayat. Pucat gitu," cibir Fenita—Mama Karin— seraya menaruh semangkuk bubur di hadapan Karin.
"Bubur lagi?" keluh Karin seraya mengaduk bubur di hadapannya dengan lesu. Sejak mamanya tahu dirinya pingsan, ia hanya diberikan bubur polos sebagai makanan.
"Hari ini gak usah masuk sekolah dulu ya? Istirahat di rumah aja," bujuk Fenita yang masih khawatir dengan kondisi Karin.
"Jangan dong. Masa baru sehari masuk sekolah, aku udah libur aja," tolak Karin.
"Ya gapapa. Dari pada kamu jadi mayat beneran?" tanya Fenita.
"Mama ini lagi bujuk aku untuk gak usah sekolah atau ngajak gelut sih?" tanya Karin kesal seraya memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya.
Fenita memutar bola matanya jengah lalu menatap kesal Abraham—Papa Karin— yang melahap nasi goreng tanpa terganggu dengan pertengkaran mulut antaranya dan Karin.
"Ikut bujuk dong. Anak kamu juga ini," suruh Fenita mulai kesal.
Abraham menggeleng cepat. "Loh kok anak Papa? Anak Mama itu. Kamu yang ngelahirin kok."
Fenita melotot. "Kamu yang bikin kok!" ujarnya nyolot.
"Ih mana ada! Aku gak ingat!" elak Abraham dengan wajah tanpa dosa.
Fenita berdecak lalu berujar, "Makanya lain kali kalau mau buat, baca doa dulu! Kamu sih sukanya langsung nyosor aja!"
Karin mendengus kesal. Orang tua mana lagi yang membahas beginian di depan anaknya sendiri? Karin menyuapkan sendok terakhirnya ke dalam mulut. Ia meminum susunya lalu bangkit berdiri seraya mengambil tas sekolahnya.
"Karin berangkat duluan, ya!" pamitnya.
Baru saja Karin hendak berbalik, Fenita menghentikannya. Perempuan paruh baya itu menyodorkan dua bekal pada Karin.
"Untuk apa? Satu aja. Aku gak makan sebanyak itu," kata Karin hendak mengembalikan satu bekalnya pada Fenita.
"Satu lagi untuk teman kamu yang kemarin. Aduh siapa namanya? Dei? Lei? Gay?" Fenita mengerutkan alisnya, berusaha mengingat-ingat.
"Rey, Ma," jawab Karin malas.
"Ah itu. Gak tau lah. Intinya kamu kasih ini ke dia. Bilang dari calon mama mertua," ujar Fenita lalu menyengir tanpa dosa ketika mendapat lototan tajam dari Karin.
"Mama tau Rey dari mana?" tanya Karin heran seraya memasukkan dua bekal itu ke dalam tasnya.
"Kemarin dia yang telpon Mama, bilang kamu pingsan. Dia juga minta maaf karena dia yang bikin kamu pingsan. Ih baik banget. Tipe tipe cowok bertanggung jawab gitu loh. Enggak kek pria tua yang itu," sindir Fenita, matanya melirik Abraham sinis.
Sementara Abraham terus melahap nasi gorengnya tanpa memedulikan sindiran keras dari istrinya itu. Karin terkekeh kecil. Walau dalam hati merasa bingung, dari mana Rey dapat nomor hp Mamanya?
"Ya udah kalau gitu aku pergi dulu. Dah!" pamit Karin.
Fenita mengangguk. "Kalau tiba-tiba ngerasa sakit atau pusing gitu langsung hubungin Mama ya."
Karin mengangguk lalu berjalan keluar setelah menyalim kedua orang tuanya. Ia berdiri di depan pagarnya, menunggu ojek online yang sudah ia pesan beberapa menit yang lalu. Karin mendengus kesal mengingat Abraham, cowok berstatus Papanya itu tidak mau mengantarnya ke sekolah dengan alasan takut dirinya mengotori Oblo— nama mobil kesayangan Papanya itu.
Ternyata ia tak lebih berharga dari sebuah mobil.
Tak lama, sebuah motor berhenti di hadapannya. "Ojek online ya, Pak? Atas nama Karin?" tanya Karin memastikan.
Karin menutup mulutnya kaget ketika orang yang ia kira ojek online itu membuka helmnya. "Frederick?" ujarnya.
"Jahat banget. Masa cowok seganteng gue dipanggil ojek," ujar Erick dengan nada merajuk yang dibuat-buat.
Karin tampak gelagapan. Wajahnya makin pucat. Entah karena efek pingsan kemarin atau karena mantan gebetan berdiri di hadapannya. Dan sialnya, cowok itu makin tampan.
"Bukan gitu! Gue cuma kira lo ojek online yang baru gue pes—eh sama aja ya intinya?" gumam Karin.
Erick terkekeh. Ia mengacak rambut Karin gemas dengan sebelah tangannya yang bebas lalu berujar, "Makin lama elo makin cantik aja."
"AAAAAAAA!! BUNUH DEDE DI RAWA-RAWA, MAS!!!" Ingin rasanya Karin berteriak seperti itu, tetapi sayangnya, kini ia harus menjaga image sebagai cewek kalem. Kan gak lucu, baru ketemu, Erick udah ilfeel duluan.
"Ehm ... lojuga tambah ganteng kok," ujar Karin pelan, pipinya memerah malu.
Erick lagi-lagi terkekeh, gemas dengan tingkah laku cewek di hadapannya. "Pergi bareng siapa? Biar gue antar, mau?"
Karin menggeleng kecewa. "Gue udah pesan ojek online." Karin menunjukkan aplikasi hijaunya.
Karin mendesah kecewa. Kalau saja ia belum pesan ojek online itu, sudah dipastikan dirinya akan menemplok di punggung Erick tanpa ditawarkan.
"Yah, yaudah, gapapa. Kalau nanti pulang bareng, gimana? Biar gue jemput," tawar Erick dengan senyuman manis di bibir, menambah ketampanannya berkali lipat.
Mata Karin berbinar, ia mengangguk cepat
Seperti anjing yang dibelikan makanan oleh majikannya.
"Minta nomor WA lo dong. Biar lebih mudah pedekatenya," kata Erick mengeluarkan ponselnya.
"Hah?" beo Karin kaget. Apakah ia tak salah dengar? Pedekate?
Karin berdeham sejenak sebelum membacakan nomor teleponnya. Tak lama kemudian, ojek online yang dipesan Karin datang, membuat Karin harus berpisah dengan mantan gebetannya itu.
-••-
Karin masuk ke dalam kelasnya dengan cepat. Ia berjalan mendekati bangku Aretha dengan gerakan menggebu-gebu. Tak sabar ingin bercerita perihal Erick.
"Woy, Reth! Gue mau cerita!" ujar Karin setelah duduk di bangkunya. Ya, Karin dan Rey dipindahkan ke belakang Aretha dan Dave kemarin. Entah lah, Karin juga tidak tahu alasannya.
"Cerita apaan?" tanya Aretha malas.
"Coba lo tebak, gue ketemu siapa tadi?"
Aretha mengernyit lalu bertanya, "Siapa?"
"FREDERICK!" teriak Karin antusias. "Gue ketemu Erick! Bayangin, gue ketemu Erick! Astagaa ... mimpi apa gue semalem!" pekik Karin. Ia bahkan menggigit jaketnya gemas, menahan teriakan yang terus ingin keluar dari bibirnya.
"Hm," jawab Aretha singkat.
Uh, Aretha seperti merasakan de javu saat ini. Dulu, saat SMP, hampir setiap pagi, Karin datang pagi dan berceloteh ria tentang gebetannya itu. Topiknya selalu Erick, Erick, Erick, dan Erick. Tetapi semua itu terhenti ketika sebuah berita mengatakan cowok itu pacaran dengan kakak kelasnya. Bahkan Aretha sangat bahagia saat itu, melihat Karin diam dan galau beberapa hari karena patah hati akan berita itu. Setidaknya, cewek itu tidak membicarakan Erick lagi.
"Dan lebih mengejutkannya lagi. Dia tawarin gue pergi bareng dia! Sialnya, gue udah pesan ojek online tadi." Karin menurunkan intonasinya di kalimat terakhir, ia menunduk kecewa. Tetapi sedetik kemudian, ia mengangkat kepalanya dengan binar yang terlihat jelas di matanya. "Tapi no problem! Karena dia bilang, bakalan jemput gue. Kita bakalan pulang bareng! Astaga! Seneng banget gue!"
"Berisik!"
Karin menahan mulutnya yang baru saja ingin mengeluarkan suara. Ia terdiam tegang. Ia lupa bahwa teman sebangkunya adalah saudara lucifer.