Bab 2
Karin berjalan menelusuri koridor dengan raut wajah cerianya. Bahkan ia tersenyum kecil pada beberapa orang asing yang melewatinya. Karin memang segila itu. Ia berhenti di depan kelas 10 IPA 1 yang akan menjadi kelasnya untuk satu tahun ke depan. Hening, kelas itu tampak sangat damai ketika Karin menginjakkan kakinya masuk ke dalam kelas.
Karin melototkan matanya garang, melihat Aretha duduk bersama Dave. "Aretha! Kok lo malah duduk sama nih curut sih?" protesnya memecah keheningan yang ada.
Seluruh penghuni kelas menatap mereka bertiga. Aretha meringis pelan, ia menelungkupkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaan Karin.
"Minggir lo," usir Karin pada Dave, "pokoknya gue harus duduk sama Aretha. Lagian lo kan cowok, harus berani dong duduk sendiri!" omelnya.
"Dih, kok lo nyolot sih? Bukan gue yang mau, tapi Aretha yang minta gue duduk sama dia. Paham?"
"Gak paham dan gak mau paham!"
"Gue bosen duduk sama lo, puas? Dari SD duduk sama elo terus, dikira gak eneg apa?" Aretha menjawab dengan kepala yang masih tertunduk ke bawah.
"Loh kok gi—"
"Selamat pagi, Anak-anakku!"
Karin berdecak kesal lalu memilih duduk di bangku kosong. Ia akan membalas mereka berdua nanti. Awas saja!
"Perkenalkan nama saya Tuti Almariani. kalian bisa panggil saya seperti murid saya tahun lalu yaitu Mami Tuti. Dilarang memanggil saya dengan nama singkatan BuTut ya! Di sini saya mengajar pelajaran Biologi. Saya harap kita dapat bekerja sam—"
Tok tok!
Karin membulatkan matanya kaget melihat cowok yang berada di taman belakang kemarin, berdiri di ambang pintu dengan rambut acak-acakan. Apa salah dan dosaku, Ya Tuhan ....
"Permisi, Bu. Maaf saya telat."
Mami Tuti menghela napas lalu mengangguk. "Duduk di bangku kosong."
Bola mata Karin makin membesar ketika menyadari satu-satunya bangku yang kosong hanya di sebelahnya. Astaga, betapa sialnya ia hari ini. Karin menelan ludahnya susah payah menyadari cowok itu berjalan mendekatinya—salah, mendekati bangkunya dengan tatapan tajam.
"Jadi, saya harap kalian bisa saling mengenal dan mendekatkan diri hingga dapat bersatu menjadi keluarga 10 IPA 1. Karena itu, saya memiliki tugas pertama untuk kalian. Di sini ada yang sudah mengenal atau mengetahui dengan baik lingkungan sekolah kita?"
Hening. Tidak ada yang menjawab.
Mami Tuti tersenyum. "Nah, kalau begitu, saya memberikan kalian waktu 3 jam untuk berkeliling di sekolah ini secara berkelompok. Satu kelompok berisi dua orang, sesuai tempat duduk aja. Saya minta kalian buat laporan mengenai lingkungan kita. Apa saja tumbuhan yang berada di lingkungan sekolah, hewan apa saja yang kalian temukan, dan sebagainya. Saya harap jam 11 siang, laporannya sudah siap dan berada di atas meja saya. Sekian, selamat bekerja!"
Wat de—ingin rasanya Karin mengumpat sekencang-kencangnya. Tak cukup duduk sebangku, kini ia harus kerja kelompok dengan kembaran lucifer di sebelahnya ini? Karin mengusap dadanya. Ia yakin, dirinya tak akan tahan. Ini semua salah Dave, kalau saja tadi dia membiarkan Karin duduk bersama Aretha, pasti ini semua tidak akan terjadi.
"Mau terus duduk di sini? Atau mulai kerja?"
Karin menelan ludahnya susah payah. Ia mendongakkan kepalanya menatap cowok itu yang sudah berdiri sejak tadi. Karin berdiri, mengambil selembar kertas serta pulpen, dan mulai berjalan mengikuti cowok itu. Di sepanjang perjalanan, tidak ada yang mengeluarkan suara. Seolah-olah mereka sedang dalam kompetisi dan bertaruh siapa yang bersuara terlebih dahulu, maka orang itu akan kalah. Karin tersentak kaget kala mendengar decakan kesal dari cowok di sebelahnya. Ia memberanikan diri untuk menoleh. Ia terdiam ketika cowok itu juga menatapnya dengan raut wajah kesal.
"Mau titip? Gue mau kantin."
Karin mengangguk. "Minum aja satu. Terserah apa aja."
Tanpa menjawab, cowok itu pergi begitu saja. Karin menghela napas lega. Sangat lega hingga ia terjongkok lemas. Ia menatap kertas yang sudah hampir penuh dengan tulisan cowok itu. Ya, dari tadi cowok itu lah yang mengisi kertas itu. Berbeda dari perkiraan Karin yang mengira cowok itu adalah badboy atau preman, ternyata cowok itu sangat pintar.
Lagi-lagi, Karin tersentak ketika segelas minuman disodorkan tepat di depan wajahnya. Minuman itu berwarna hijau membuat Karin melebarkan matanya.
"Ambil!" sentak cowok itu membuat Karin mengerjap beberapa kali dan langsung menerima minuman itu. Karin berdiri dan kembali menatap minuman itu.
"Kenapa gak diminum?" tanya cowok itu lagi.
"Eh? Ini mau minum kok." Karin mendekatkan bibirnya dengan sedotan lalu menyedot minuman itu dengan wajah terpaksa.
"Udah selesai kan? Gue balik ke kelas duluan."
Karin mengangguk. Ia tak kuat bahkan untuk mengeluarkan suara saja. Napasnya tersengal-sengal. Ia meraih dinding terdekat dan memegangnya. Kepalanya semakin sakit, ia semakin susah bernapas, hingga akhirnya kegelapan menjemput.
-••-
Karin membuka matanya perlahan. Ia mengernyit kecil ketika silau lampu masuk ke dalam matanya. Ia mengedipkan matanya beberapa kali hingga tersadar akan kehadiran Adam, Aretha, dan Dave.
"Lo gapapa?" tanya Aretha khawatir.
"Kalem, gapapa kok." Karin tersenyum lebar walau kepalanya masih sedikit pusing.
"Kalem kalem gigi lo ompong. Kita semua panik banget tahu gak pas tahu lo pingsan. Untung aja sekolah ini ada dokter yang selalu siap sedia. Kalau enggak, mati lo, bodoh!" omel Adam.
Karin terkekeh. "Jangan lebay. Gue cuma pingsan."
"Iya, lo beruntung cuma pingsan. Gak tau deh ke depannya, kalau terulang lagi, lo bakal pingsan untuk selamanya."
"Pedes banget mulut lo," ujar Karin kesal.
"Gimana gak pedes! Lagian gue punya sahabat, bego banget. Udah tahu alergi lo sama matcha itu udah parah banget, masih aja ngeyel," omel Aretha.
"Ya, gua gak berani nolak. Entar dikira gak menghargai pemberian orang," jelas Karin membela diri.
"Halah! Ngomong aja lo takut sama Rey," cibir Dave.
Oh namanya Rey, batin Karin.
"Enggak ya!" elak Karin.
"Tapi gue gak pernah lihat Rey sepanik ini," gumam Adam.
Karin mengernyit. "Lo kenal sama dia?"
Adam melebarkan matanya lalu menjawab, "Gak dekat kok, cuma pernah satu les sama dia."
Karin mengernyit. Adam kan gak pernah les. Orang malas kek dia mau sekolah aja udah syukur, mana mungkin les. Aretha mendengus pelan.
"Lo istirahat dulu. Nyokap lo bentar lagi sampai."
Karin membulatkan matanya. "Kalian kasih tau Mama gue?" ujarnya kaget.
Mereka mengangguk polos membuat Karin menepuk jidatnya. Dipastikan, ia akan kena omelan panjang dari Mamanya itu.
"Terima kasih, sahabat baikku." Karin tersenyum manis. Sangat manis.
"Gak usah sungkan," jawab Dave membalas senyuman Karin tak kalah manis.
"Sialan lo semua! Keluar!" usir Karin kesal.
Dave, Aretha, dan Adam tertawa terbahak-bahak lalu keluar dari ruangan UKS. Karin menggembungkan pipinya kesal. Berpikir cara menghindari omelan panjang dari Mamanya itu. Hanya satu ide yang terlintas. Ia langsung memejamkan matanya dan membuka mulutnya ketika mendengar suara sepatu yang mendekat, seolah-olah tertidur nyenyak.
Karin mengernyit kecil ketika merasakan elusan lembut di kepalanya. Ia mengenal tekstur tangan mamanya dan jelas ini bukanlah tangan mamanya.
Lalu, siapa?