Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 14

"Kenapa melamun?"

Karin mengerjap beberapa kali, melihat Erick yang duduk di hadapannya dengan sebuah tusuk sate. Karin mengembuskan napas lelah. Tidak sadar bahwa sate pesanannya sudah datang sejak tadi. Setelah acara bazaar selesai, Erick langsung mengajaknya ke sini. Sebenarnya Karin ingin menolak, tapi ia takut merasa tak enak dengan cowok itu.

"Hey, lo melamun lagi. Lo sakit? Mau pulang?" tanya cowok itu khawatir.

Karin meringis pelan. Ia memberikan senyuman lebar pada Erick, meyakinkan pada cowok itu bahwa dirinya baik-baik saja. Karin mulai menggerakkan tangannya mengambil setusuk sate. Baru saja sepotong daging masuk ke dalam mulutnya, pertanyaan Erick membuatnya tersedak.

"Gue butuh jawaban lo, Karin."

Karin menjilat bibirnya yang mendadak kering. Ia mendongakkan kepalanya, melihat Erick yang menatapnya dalam dan serius. Oh Jesus, katakan ia harus bagaimana sekarang. Pura-pura mati? Amnesia dadakan atau apa? Salahkan hatinya yang sangat labil dan tidak bisa memilih antara Erick dan Rey.

"Anu ...." Karin menjilat bibirnya sekali lagi. "Sebenarnya gue juga gak tau perasaan gue suka sama elo apa enggk," katanya.

"Maksud lo?" tanya Erick memasang wajah bingung.

"Gue minta waktu lagi, boleh? Besok. Iya, besok gue pasti kasih jawaban ke elo. Gue butuh pastiin sesuatu dulu," ujar Karin cepat, penuh kepastian.

Karin dapat melihat kekecewaan di mata Erick. Sedikit terbesit rasa bersalah di hati Karin, apalagi setelah itu, Erick menampilkan senyuman palsunya. Karin akui, ini semua memang salahnya. Tapi ia hanya takut salah mengambil keputusan. Ia tidak ingin seperti cewek lain, yang dengan mudah menerima pernyataan cinta dari cowok lalu putus ketika merasa tidak cocok.

"Boleh dong... apa sih yang enggak untuk cewek cantik di hadapan gue." Erick mengedipkan sebelah matanya.

Karin tersenyum lebar. Ia berharap keputusan apapun yang ia ambil nanti bukan sebuah keputusan buruk. Karena jujur ... ia sendiri juga bingung terhadap perasaannya sendiri. Sebenarnya ... hatinya ini milik siapa? Erick atau Rey?

~~~

Karin berjalan dengan cepat melewati siswa siswi yang berbincang ria di koridor. Tujuan utamanya adalah menemui Rey. Cowok yang menjadi pusat pikirannya sejak kemarin malam hingga membuatnya baru bisa tertidur jam satu malam. Karin melihat Dave yang sedang mengelus tangan Aretha di dalam kelas. Wait ... apa? Ingin rasanya Karin bertanya, tapi urusan hatinya jauh lebih penting sekarang. Mengabaikan wajah panik keduanya karena terciduk, Karin melempar tasnya sembarang ke mejanya lalu bertanya, "Kalian lihat Rey gak?"

"En-enggak kayaknya," jawab Dave terbata dengan wajah memucat.

Karin berdecak lalu berjalan keluar dari kelas meninggalkan Aretha dan Dave yang saling tatap bingung. Karin berjalan dengan cepat menuju tempat yang menjadi pilihan terakhirnya. Taman belakang. Tempat pertama kalinya ia bertemu dengan cowok itu. Karin menetralkan debaran kencang jantungnya ketika melihat orang yang ia cari sejak tadi duduk di kursi yang sama dengan saat pertama kali bertemu. Sepertinya sudah dua kali Karin menyebut 'pertama kali bertemu' ya? Karin terlalu banyak flashback. Langkah Karin terhenti kala samar-samar mendengar percakapan cowok itu dengan seseorang melalui ponselnya.

"Iya, nanti malam gue ke sana. Hm, gue juga sayang sama lo."

Karin terdiam. Dengan kekecewaan dan luka yang memenuhi hatinya, ia berbalik dan berjalan dengan cepat meninggalkan Rey sebelum cowok itu menyadari kehadirannya dan melihat dirinya menangisi kebodohannya ini.

Seharusnya dari awal ia sadar. Baik bukan berarti suka. Peduli bukan berarti sayang. Dekat bukan berarti cinta. Rasanya beda ketika ia mengetahui Erick berpacaran dengan kakak kelasnya dulu. Sakitnya tidak sesakit ini.

***

Karin menatap pantulan wajahnya di kaca. Mata merahnya membuat dirinya enggan keluar dari toilet. Sial, menangis karena seorang laki-laki? Belum pernah Karin duga sebelumnya. Bel masuk berbunyi, membuatnya mau tak mau harus keluar dari tempat persembunyiannya ini.

"Dari tadi lo ke mana?" tanya Aretha ketika Karin baru saja masuk ke dalam kelas.

Karin mengangkat sebelah alisnya. "Dari toilet," jawabnya singkat.

"Hah? Selama itu? Terus kenapa mata elo merah? Lo abis nangis?" tanya Dave curiga membuat Rey yang awalnya duduk bermain ponsel, mendongakkan kepalanya.

"Lo ada masalah?" timpal Aretha khawatir.

"Gue nangis? He to the llow! Seorang Karin nangis? Gak mungkin! Ini cuma karena eek gue keras aja, susah banget keluarnya. Butuh perjuangan banget," gerutunya pura-pura kesal, berusaha membuat kedua sahabatnya percaya.

"Shit, nih cewek gak ada jaga-jaga image nya. Jorok banget lo!" umpat Dave, merasa jijik.

Sementara Aretha, ia hanya diam, matanya terus menatap Karin ragu. Karin berdeham gugup ditatap seperti itu. Tanpa mendengarkan ocehan Dave dan tatapan Aretha, Karin langsung duduk di bangkunya. Dan sialnya, ia lupa kalau ia duduk bersama cowok yang menjadi penyebabnya menangis beberapa waktu lalu. Karin mendengus lelah. Jujur, ia sangat kesal sekarang hingga rasanya ia ingin menangis kembali. Tetapi di mana harga dirinya kalau Rey tahu kalau dirinya menangisi cowok itu? Akhirnya, Karin berpura-pura sibuk memainkan ponselnya. Padahal cuma scroll-scroll aja. Yang penting kelihatan sibuk lah.

Tanpa ia duga, sebuah pesan dari Erick masuk. Karin menarik napas lelah. Ia baru ingat janjinya terhadap cowok itu kemarin. Percuma rasanya memastikan perasaannya sedangkan cowok di sebelahnya sudah memiliki pasangan. Ia tidak mau menjadi perusak hubungan orang. Gak level! Lagian Karin yakin, ia pasti akan segera move on. Dia bukan orang yang susah move on.

Erick ganteng❤️ : Hari ini mau nonton bareng?

Erick ganteng❤️ : Gue janji kejadian dulu gak bakal keulang lagi. Gue gak bakal tinggalin lo sendirian lagi.

Boleh gak sih Karin baper sementara beberapa waktu yang lalu ia baru menangisi cowok lain? Sah-sah aja lah ya? Dasar Karin memang wanita labil!

Me : Mau dong!

Erick ganteng❤️ : Oke. Jam 7 gue tunggu di taman.

Erick ganteng❤️ : Jangan lupa, gue tunggu kabar baiknya ya, cantik!?

Yah, bahu Karin merosot ke bawah. Bingung, cemas, dan panik bercampur jadi satu. Ia belum tahu harus memberikan jawaban apa.

"Chat dari siapa?"

Karin nyaris melempar ponselnya kalau saja ia tidak langsung memeluk benda kesayangannya itu. Ia melemparkan tatapan tajam pada Rey.

"Gak usah kepo!" jawabnya ketus lalu membuang muka jengkel.

"Mentang-mentang udah punya pacar jadi sombong," cibir Rey pelan tapi masih dapat didengar oleh Karin.

Baru saja Karin hendak menjawab, guru yang mengajar masuk ke dalam kelas membuat niatnya terurung. Ah sudahlah, untuk apa ia menjelaskan statusnya terhadap Erick pada Rey? Toh cowok itu juga sudah punya pacar. Jadi kan mereka sama-sama impas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel