Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 15

Kini pukul setengah tujuh malam. Karin sudah siap dengan kaos putih bertuliskan 'Apa lihat-lihat?' beserta celana jeans berwarna biru muda yang baru ia beli kemarin di salah satu online shop. Karin memang hobi berbelanja online walau beberapa kali barang yang datang tidak sesuai gambar, tetap saja tidak membuat cewek itu jera.

"KARIN!!!" teriak Fenita, mamanya yang sangat hobi berteriak itu.

Karin berdecak. Tanpa berniat keluar dari kamar dan menghampiri Mamanya, Karin balik berteriak, "KENAPA? KARIN LAGI DANDAN!"

"CEPET TURUN! INI MANTU MAMA UDAH TUNGGU DI BAWAH!"

Karin mengernyit. Menantu? Erick? Bukannya kata cowok itu, ia akan menunggu di taman jam tujuh malam? Masih ada tiga puluh menit lagi. Dan sejak kapan Fenita menerima Erick menjadi menantunya? Karin mendengus, ia memakai sepatu putih yang juga ia beli di online shop lalu keluar dari kamarnya.

Karin melotot kaget, buru-buru ia langsung berlari ke ruang tamu ketika melihat Rey duduk manis di sofa dengan kaos putih polos yang membuat ketampanan cowok itu bertambah berkali lipat. Sial, bukankah Karin tadi berkata ingin move on?

"Ngapain lo ke sini?" tanya Karin langsung ketika ia memasuki ruang tamu.

"Loh kok ngomongnya gitu sama calon suami?" tegur Fenita.

Karin melotot pada Fenita. "Calon suami apaan? Karin gak sudi!" tolaknya ketus.

"Dih, dikira Rey mau aja sama cewek kayak kamu," celetuk Fenita polos.

"Anak Mama siapa sih sebenarnya?" protes Karin merasa kesal karena sedari tadi Fenita bukan memihaknya justru terus membela Rey.

"Kalo boleh milih sih, Mama milih Rey."

"Salah apa hamba-Mu ini Ya Tuhan?" gumam Karin lirih.

"Jadi dalam rangka apa, Tuan Rey kesayangannya Mama Fenita datang ke sini?" tanya Karin dengan nada sopan yang sangat kelihatan dibuat-buat. Dan jangan lupakan senyuman lebar palsunya

"Ya ngajakin kamu jalan lah. Masa ngajak Mama? Kamu gimana sih?" Bukan Rey yang menjawab, melainkan Fenita menyeletuk heboh. Heran Karin, itu Mamanya kok semangat banget kalau ada Rey. Dipelet Rey kali ya?

"Enggak! Karin ada janji sama Erick," jawab Karin terang-terangan.

Fenita melotot. "Loh loh loh? Siapa yang bilang kamu boleh pergi sama cowok bandel itu? Dari wajahnya, eh enggak ... dari namanya aja, Mama itu bisa punya feeling kalau dia bukan anak baik-baik," cerocosnya panjang lebar.

"Oh," jawab Karin datar.

Fenita berdecak. Ia bangkit berdiri lalu mendorong Karin mendekat pada Rey. "Udah bawa sana. Hati-hati anjing rabies," katanya.

"Mama ngatain aku anjing rabies?" Karin melototkan matanya tak terima.

Tidak tahan mendengar pertengkaran Anak Ibu itu lagi, Rey menarik tangan Karin keluar. Sebelumnya ia menyempatkan diri berpamitan pada Fenita terlebih dahulu.

"Gak usah dibalikin lagi, Rey!" teriak Fenita membuat Karin semakin mencak-mencak.

"Lepasin!" Karin menepis tangan Rey kasar setelah sampai di teras rumah.

"Lo apa-apaan sih? Bukannya gue udah bilang, gue punya janji sama Erick! Dia udah tungguin gue di taman. Ajakin jalan cewek lo aja. Jangan ganggu gue, cowok sialan!" umpat Karin. Ia merasa emosinya sudah di ubun-ubun.

Rey mengernyit. "Gue gak punya pacar, Karin."

Karin terdiam. Sepertinya ia salah berbicara. Ah sial, ia merutuki ucapan blak-blakkannya yang susah dikendalikan ketika ia sedang emosi. Karin mengalihkan tatapannya, berusaha tidak menatap Rey.

"Lo dengar dari siapa gue punya pacar?"

Tanpa menatap Rey, Karin mengangkat bahunya tak acuh. Rey berdecak kesal. Ia menangkup kedua pipi Karin agar cewek itu menatapnya. Karin yang diperlakukan seperti itu hanya bisa terdiam, menikmati jantungnya yang berdebar kencang. Suara klakson motor terdengar membuat Karin tersadar dari pesona Rey. Karin melepaskan tangan Rey dari pipinya dengan kasar, lalu menoleh pada Erick yang menunggunya di depan rumah. Sepertinya cowok itu datang ke sini karena Karin tidak kunjung datang.

"Gue gak peduli lo punya pacar apa enggak. Pokoknya jangan ganggu gue!" Setelah mengucapkan itu, Karin berjalan meninggalkan Rey yang terdiam menahan sesak melihat Karin pergi bersama Erick.

Ternyata, jatuh cinta sesakit ini..

***

"Maaf, lo nunggu lama ya di taman?" Karin membuka suaranya, memecahkan suasana hening yang menyiksa.

"Enggak kok. Gue cuma khawatir aja, kirain diculik preman," ujar Erick lalu terkekeh sendiri.

"Gila lo?"

Erick menggeleng. "Baru kepikiran. Emang ada yang mau nyulik cewek nyusahin kayak elo?" Erick kembali tertawa.

"Sialan lo!" umpat Karin lalu ikut tertawa.

"Iya, nyusahin, elo cantik banget soalnya."

"Gembel!"

"Gombal, Karin," ralat Erick dengan suara lembutnya. "Mau nonton apa?" tanya Erick seraya menggandeng tangan Karin erat.

Karin tersentak kecil, tubuhnya menegang beberapa saat hingga ia menjawab, "Gue mau."

"Mau?"

Karin berdeham. Ia mengangguk. "Iya, gue mau jadi cewek lo."

Hening.

Karin menggaruk tengkuknya kikuk. Apa ia salah momen? Suasana mendadak canggung. Erick yang terdiam dan Karin yang langsung membuang muka salah tingkah. Tetapi hanya beberapa saat, karena detik kemudian, Erick tertawa terpingkal-pingkal. Karin menatap cowok itu aneh. "Kenapa lo?" tanyanya.

"Engga, kamu lucu."

Karin melebarkan matanya. "Aku-kamu?"

Erick mengangguk. "Kan mulai sekarang kita pacaran."

Karin tersedak. Ia menjilat bibirnya gugup. Tidak tahu pacaran dengan Erick akan secanggung ini. Ia tersenyum tipis pada Erick lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju bioskop.

Ia harap ... keputusan untuk menerima Erick merupakan keputusan terbaik.

~~

"Aku pulang dulu ya."

Karin tersenyum tipis. Ia mengangguk. "Hati-hati!" pesannya.

Setelah motor Erick meninggalkan rumahnya, Karin berbalik. Ia melebarkan matanya kala mendapati Rey duduk di depan teras rumahnya. Jangan bilang ... cowok itu menunggunya sejak tadi?

"Lo ngapain masih di sini?"

Cowok itu mendongak. Mata sayunya menatap Karin pasrah. Karin menelan ludahnya susah payah melihat senyuman yang diberikan oleh Rey. Cowok sialan! Dirinya mana tega mengabaikan Rey jika senyuman cowok itu semanis itu.

"Gue beliin martabak coklat buat elo."

Karin mengernyit heran. "Gak jelas!" celetuknya.

Bukannya marah, Rey terus mempertahankan senyumannya membuat Karin segera mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Cowok itu bangkit dari duduknya lalu menyodorkan kantong plastik berwarna putih itu pada Karin. Mau tak mau, Karin menerimanya.

"Gue balik," pamit cowok itu sambil berjalan menaiki motornya.

Karin terus diam hingga Rey menghidupkan mesin motornya. Jujur ia bingung apa yang sedang terjadi tetapi mulutnya terlalu kaku bahkan untuk sekedar bertanya.

"Selamat tinggal, Karin!"

Tubuh Karin menegang setelah mendengar kalimat itu keluar dari mulut Rey. Matanya menatap Rey seolah butuh penjelasan tetap sepertinya cowok itu tidak berniat menjelaskan karena sedetik kemudian cowok itu menjalankan motornya meninggalkan Karin dengan rasa penasaran dan kecemasannya.

Sebuah pertanyaan sekaligus ketakutan terus berputar-putar dalam otaknya.

Rey mau ninggalin dia?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel