Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Pengorbanan Sang Ibu

Pada waktu yang sama, di sebuah kuil kuno yang tersembunyi di puncak Gunung Fenghuang, Daoist Jianyu duduk dalam meditasi yang mendalam. Kuil tersebut dikelilingi hutan lebat, di mana pepohonan tinggi menjulang ke langit dan kabut lembut menari di antara dedaunan. Udara pegunungan yang dingin namun segar membawa aroma pinus yang menenangkan, sementara gemericik air dari sungai kecil di dekatnya memberikan harmoni alam yang mendamaikan jiwa.

Daoist Jianyu, seorang biksu yang telah lama menjalani hidup sebagai pertapa, duduk di atas alas jerami di depan patung Buddha kayu berwarna emas. Cahaya lilin-lilin yang berkelap-kelip di sekelilingnya memperkuat aura sakral dalam ruangan tersebut. Matanya terpejam, namun pikirannya tidak pernah berhenti bekerja. Ia menyelidiki energi yang mengalir melalui alam semesta, merasakan keanehan yang terjadi di Desa Yunhe.

Tiba-tiba, sesuatu yang jahat merayapi indera spiritualnya. "Bayangan hitam ini... begitu tebal," gumam Daoist Jianyu dalam hati. Ia merasakan energi yang gelap dan mengerikan yang berasal dari desa di bawah gunung. Siluman rubah berekor sembilan yang penuh ambisi mengincar seorang bayi dengan niat jahat.

Jianyu membuka matanya seketika. "Niat jahatnya jelas," bisiknya. "Siluman itu ingin menggunakan bayi itu sebagai alat untuk kekuatan. Jika dibiarkan, bayi itu akan tumbuh menjadi bahaya besar."

Ia segera bangkit, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri dan memfokuskan pikirannya. Dengan tekad bulat, ia menyusuri hutan lebat, melintasi jalur-jalur sempit di antara pepohonan yang rimbun. Setiap langkahnya penuh keyakinan, doa dalam hatinya untuk keselamatan bayi yang terancam itu. "Aku harus menghentikan siluman itu sebelum terlambat."

Enam Tahun Kemudian

Waktu berlalu, dan pencarian Daoist Jianyu tak pernah berhenti. Setelah bertahun-tahun tanpa hasil, akhirnya ia menemukan jejak bayi yang dulu dirasuki oleh kutukan siluman. Li Tianwei, yang kini berusia enam tahun, tinggal di sebuah desa yang damai, dikelilingi ladang hijau dan pohon-pohon rimbun. Daoist Jianyu berdiri di tepi desa itu, mengamati dengan penuh perhatian.

"Demi semua yang telah aku pelajari... Aku harus bertindak sekarang," pikir Jianyu dengan serius. "Anak ini sudah cukup besar untuk mulai menanggung akibat kutukan. Jika aku tidak bergerak, segalanya bisa menjadi lebih buruk."

Dengan langkah penuh kehati-hatian, ia memasuki desa, menyembunyikan kehadirannya agar tidak menarik perhatian penduduk. Kesehariannya sebagai seorang pengembara membuatnya mahir berbaur dalam bayang-bayang. Namun, energi yang gelap dalam diri Tianwei terasa semakin kuat, mendorong Jianyu untuk bertindak cepat.

Saat Jianyu hendak mendekati rumah kecil tempat Lan Yuqing dan Tianwei tinggal, ia disambut oleh tatapan cemas Lan Yuqing. Ketakutan dan naluri melindungi putranya terlihat jelas di wajahnya.

"Siapa kau?" seru Lan Yuqing dengan waspada. Ia langsung mengira bahwa pria asing ini datang untuk menyakiti putranya.

"Aku di sini untuk menyelamatkan putramu dari kutukan," ujar Daoist Jianyu dengan nada tenang. "Kutukan yang diletakkan oleh siluman rubah berekor sembilan akan menghancurkan hidupnya jika dibiarkan. Aku harus mencabutnya sebelum terlambat."

Namun, kata-katanya hanya membuat Lan Yuqing semakin curiga. Bagaimana mungkin seorang asing mengetahui tentang kutukan yang mengancam putranya? Dengan naluri seorang ibu yang kuat, Lan Yuqing berusaha melindungi Tianwei dari ancaman yang ia yakini datang dari Jianyu.

"Aku tak percaya padamu! Jangan sentuh anakku!" teriaknya.

Lan Yuqing, meskipun bukan petarung terlatih, menyerang Daoist Jianyu dengan kekuatan yang didorong oleh rasa takut dan cinta seorang ibu. Setiap serangannya adalah wujud dari kekhawatiran dan kecemasan, namun Jianyu, dengan tenaga dalam yang tak tertandingi, berusaha menghindar tanpa melukai Yuqing.

"Aku tak ingin menyakitimu, Nona Lan. Aku hanya ingin menyelamatkan Tianwei," ujar Jianyu sambil menangkis serangannya.

Namun, dalam pergulatan itu, nasib malang menimpa Lan Yuqing. Sebuah benturan energi terjadi, membuat tubuhnya terhempas keras ke tanah. Tanpa sengaja, ia terluka parah akibat tenaga dalam yang tidak terkendali, dan dalam sekejap, hidupnya terlepas dari tubuhnya. Lan Yuqing terbaring tak bernyawa, matanya terbuka dengan tatapan kosong, masih memancarkan tekad melindungi putranya hingga napas terakhir.

Dengan napas berat dan rasa bersalah mendalam, Daoist Jianyu berlutut di samping tubuh Lan Yuqing. "Maafkan aku," bisiknya penuh penyesalan. "Aku tidak ingin hal ini terjadi."

Saat itu, Tianwei kecil, yang terlempar dari pergulatan tersebut, pingsan di tanah. Tak lama kemudian, dari balik kegelapan, sosok lain muncul—Mei Xiangling. Matanya yang bersinar penuh kemarahan menyala di tengah bayang-bayang.

"Kau tak akan bisa menyentuh anak itu," serunya dengan nada menggema. Suara Xiangling membuat udara di sekeliling mereka terasa berat, seakan-akan gravitasi bertambah.

Pertarungan antara Daoist Jianyu dan Mei Xiangling tak terelakkan. Dua kekuatan besar saling beradu. Xiangling, dengan kekuatan magisnya sebagai siluman rubah, menyerang dengan gerakan gesit, menggunakan kekuatan alam dan kegelapan yang ia kuasai. Jianyu berjuang dengan semua tenaga dalamnya, namun luka dalam dan kelelahan menggerogotinya.

Di tengah pertempuran sengit itu, Mei Xiangling berhasil melukai Jianyu dengan parah. Darah segar mengalir deras dari tubuhnya, membasahi tanah di bawahnya. Jianyu terjatuh, napasnya tersengal-sengal, tak mampu melawan lebih lama lagi.

Sebelum menghembuskan napas terakhir, Daoist Jianyu menatap ke arah Tianwei yang masih pingsan.

"Tianwei... nasibmu kini di tanganmu sendiri," bisiknya pelan. Mata penuh harapan itu mulai meredup, seiring dengan hilangnya nyawa dari tubuh Jianyu. Dia tahu, anak itu akan menghadapi ujian berat di masa depan.

Mei Xiangling mendekati Tianwei yang tergeletak di tanah. Mata tajamnya menatap anak kecil itu, campuran kasih sayang dan tekad mengalir dalam suaranya.

"Kutukan ini akan menjadi ujianmu, Tianwei," katanya perlahan. "Kau akan menemukan jalanmu sendiri, atau tenggelam dalam kegelapan yang mengintaimu."

Selesai dengan pertarungannya, Mei Xiangling, yang juga terluka dalam pertempuran itu, perlahan mundur. Darah yang merembes dari tubuhnya terasa seperti simbol dari penderitaan yang akan datang. Dengan langkah lemah, ia meninggalkan desa dan kembali ke hutan tempat ia bersembunyi. Angin malam mengiringinya kembali ke pertapaannya, tempat ia akan merajut kembali kekuatannya.

***

Di tengah keheningan yang menyelimuti Tianwei yang masih tak sadarkan diri, terdengar langkah kaki yang mendekat. Sepasang kaki tua dan berdebu muncul dari bawah jubah panjang yang kelabu, sosok misterius muncul di bawah sinar bulan yang redup. Jubahnya bergoyang lembut ditiup angin malam.

Seorang pendeta tua dengan wajah penuh kerutan berdiri di sana, menatap Tianwei dengan tatapan tajam namun penuh kasih. Rambutnya yang sudah memutih dan janggut panjang memberinya kesan bijaksana. Setiap kerutan di wajahnya seolah menyimpan cerita masa lalu yang penuh kebijaksanaan dan penderitaan.

Pendeta tua itu berlutut di samping tubuh Tianwei. "Anak malang," gumamnya lembut, suaranya bagai angin yang menyusup di antara daun-daun pepohonan. Dengan sentuhan lembut, ia menempelkan tangannya di dahi Tianwei, mengalirkan energi hangat yang menyelimuti tubuh kecil itu.

Dengan tekad yang semakin kuat, pendeta tua itu mengangkat tangan kanannya, memancarkan cahaya lembut yang menyelimuti Tianwei. Cahaya itu berpendar, menerangi wajah kecil Tianwei yang tampak damai dalam ketidak sadarannya. Pepohonan di sekeliling tampak membungkuk hormat, seakan turut serta dalam doa tersebut.

Ketika cahaya mulai memudar, pendeta tua itu menarik napas panjang dan membuka matanya kembali. Dia menatap Tianwei dengan penuh harapan dan kekhawatiran.

"Perjalananmu masih panjang, anak muda," bisiknya.

Namun, di tengah keheningan itu, angin malam berhembus kencang, membawa bisikan-bisikan yang penuh misteri. Tiba-tiba, pendeta tua itu menoleh, seakan mendengar sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang terhubung dengan alam. Wajahnya semakin serius, menandakan bahwa tugasnya belum selesai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel