Ringkasan
Di dunia persilatan yang penuh intrik dan kekuatan mistis, Li Tianwei terperangkap dalam kutukan yang menggoyahkan batas antara kekuatan dan hasrat. Siluman rubah berekor sembilan, Mei Xiangling, menanamkan kutukan gairah di dalam tubuhnya, membangkitkan api yang tak terpadamkan setiap kali ia berdekatan dengan wanita. Kutukan ini bukan hanya mengancam kewarasannya, tetapi juga membuatnya harus menyeimbangkan kekuatan yang semakin tak terkendali. Setiap detik adalah perjuangan untuk menjaga dirinya tetap waras, sementara dorongan hasrat terus menguasai tubuhnya. Dengan aura ketampanan yang menarik banyak wanita ke dalam hidupnya, Li Tianwei menghadapi godaan yang semakin sulit dihindari. Di balik setiap senyuman dan tatapan menggoda, ada risiko kehilangan dirinya pada kutukan yang mengancam akan menjadikannya alat kekuatan bagi Mei Xiangling. Namun, di antara gairah yang membara, ada rahasia yang lebih besar. Li Tianwei harus belajar memanfaatkan kutukan ini sebagai sumber kekuatan jika ingin bertahan di dunia yang tak kenal ampun. Dengan tubuhnya yang terkutuk dan hatinya yang terombang-ambing antara keinginan dan tanggung jawab, bisakah dia menemukan jalan keluar dari lingkaran nafsu dan kekuatan yang tak terhindarkan ini?
Bab 1 Malam Terkutuk
Langit malam di atas Desa Yunhe pada tahun ke-696 tampak seperti kanvas gelap yang dilukis dengan sapuan tinta hitam pekat. Awan tebal menutupi cahaya bulan dan bintang-bintang, menciptakan suasana misterius dan menegangkan. Kilatan petir sesekali menerangi desa, memantulkan bayangan pepohonan yang menari diiringi suara gemuruh yang menggetarkan bumi.
Sesekali, kilatan petir bagaikan coretan kuas yang membelah kegelapan, memancarkan cahaya biru kehijauan yang menerangi sekeliling dengan kilatan sesaat, lalu kembali tenggelam dalam kegelapan. Suara gemuruh yang menggelegar menggetarkan bumi, bagaikan raksasa yang sedang mengamuk di atas sana, memperingatkan akan kekuatan alam yang tak terbendung.
Di sudut desa yang terpencil, sebuah rumah kayu sederhana berdiri di tengah ladang ilalang. Di dalamnya, Lan Yuqing, seorang wanita berparas lembut dengan mata penuh ketabahan, tengah berjuang melahirkan seorang bayi. Keringat membasahi wajahnya yang pucat, sementara napasnya tersengal-sengal menahan rasa sakit yang luar biasa.
Seorang bidan tua dengan tangan cekatan membantu proses persalinan. "Kau kuat, Yuqing," bisiknya menenangkan. "Sedikit lagi, bayi ini akan lahir ke dunia."
Lan Yuqing menggigit bibirnya, menahan jeritan yang hampir keluar dari tenggorokannya. Air matanya mengalir, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi juga karena beban emosional yang ia tanggung. Bayi yang akan lahir ini adalah hasil dari hubungan singkat dengan seorang pria misterius yang pernah singgah di desanya beberapa bulan lalu. Pria itu datang seperti angin dan pergi tanpa jejak, meninggalkan Yuqing dengan kenangan dan janin di rahimnya.
Di luar rumah, dalam kegelapan malam, sepasang mata emas mengintai dengan tajam. Mei Xiangling, siluman rubah berekor sembilan, berdiri di atas cabang pohon tinggi, mengamati proses kelahiran tersebut. Aura kekuatan yang terpancar dari bayi yang belum lahir itu menarik perhatiannya.
Tatapannya penuh ketertarikan, seolah ingin menembus jiwa bayi tersebut. Aura kekuatan yang memancar dari sang bayi bagaikan magnet yang tak tertahankan, menariknya lebih dekat dalam kegelapan. Rasa ingin tahu Mei Xiangling semakin membara, tercampur dengan ambisi yang mendalam untuk memahami potensi luar biasa yang dimiliki oleh bayi itu.
"Bayi ini..." bisik Mei Xiangling, suaranya serak dan penuh misteri. "Dia akan menjadi wadah kekuatan yang luar biasa."
"Dia adalah kunci untuk membuka potensiku," gumam Mei Xiangling. "Dengan menanamkan benih gairah dalam dirinya, aku akan dapat memanfaatkan kekuatannya untuk mencapai puncak kejayaanku."
Namun, Mei Xiangling sadar bahwa kutukan yang akan dia berikan harus dibayar dengan masa tapa selama 200 tahun yang telah dia jalani. "Sekarang saatnya," Mei Xiangling berbisik, suara serak dengan tekad yang membara. "Aku akan memastikan bahwa kutukan ini tidak sia-sia. Bayi ini adalah jalanku menuju kebangkitan, dan aku tidak akan membiarkan apapun menghalangiku."
Saat kilatan petir paling terang menyambar langit, Lan Yuqing mengeluarkan jeritan terakhirnya. Suara tangisan bayi pun terdengar, memecah keheningan malam. Bidan tua itu tersenyum lega, mengangkat bayi laki-laki yang sehat dan kuat. "Anak yang tampan," ucapnya.
Lan Yuqing memandang bayi itu dengan mata berkaca-kaca. "Aku akan menamainya Li Tianwei," bisiknya penuh kasih. "Semoga kau tumbuh menjadi pria yang kuat dan bijaksana."
Namun, di balik kebahagiaan itu, Yuqing merasa ada beban berat yang menekan hatinya. Ia tahu bahwa tanpa seorang ayah, Tianwei akan menghadapi banyak kesulitan di masa depan. Namun, tekadnya bulat; ia akan melakukan apa pun untuk melindungi dan membesarkan anaknya.
Mei Xiangling menunggu dengan sabar sampai semua orang di rumah itu terlelap, memastikan tidak ada yang akan mengganggunya. Ketika semuanya sunyi, dia melangkah keluar dari bayang-bayang dengan gerakan anggun. Bulunya yang putih berkilau bagaikan salju menyelimuti tubuh mungil bayi itu, memberikan kehangatan dan ketenangan.
Mei Xiangling merasakan denyut nadi bayi itu, merasakan aliran energi luar biasa yang mengalir dalam tubuhnya. "Ini luar biasa, aku tidak pernah merasakan aura kekuatan yang begitu besar," bisik Mei Xiangling, suaranya bergetar penuh rasa takjub.
Setiap denyut jantung bayi yang lembut, bagaikan gelombang energi yang menyentuh inti dirinya, membangkitkan insting dan keinginan yang mendalam untuk mengklaim kekuatan tersebut. Ia mendekat, merasakan kehangatan tubuh mungil itu, seakan-akan magnet yang menarik jiwanya, mengundangnya untuk menyatu dengan kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya.
Dalam keheningan malam yang mencekam, sebuah perjanjian tak terucap terbentuk – antara kehidupan dan ambisi, antara harapan dan kegelapan, semakin mendekat dalam tarian yang harmonis namun berbahaya.
Mata Mei Xiangling bersinar, dipenuhi ketegangan dan gairah, mengetahui bahwa ia telah menemukan titik balik dalam takdirnya.
"Dia akan membayar harga yang mahal untuk kekuatan ini," Mei Xiangling berkata pada dirinya sendiri. "Tapi aku tidak peduli. Kekuatanya lebih penting daripada apa pun."
Dengan mantra kuno yang penuh makna, Mei Xiangling dengan hati-hati menanamkan benih gairah dan semangat dalam diri bayi itu. Suara lembutnya melengking dalam ruang yang sunyi, menciptakan aura magis yang menyelimuti mereka. Setiap kata yang diucapkan seolah mengalir seperti air yang menyuburkan tanah, memberi hidup baru dan harapan kepada masa depan bayi tersebut.
Api biru menyala dengan cerah di telapak tangannya, menandakan kutukan yang telah tertanam dalam dirinya. Cahaya yang berkilau itu seolah-olah hidup, bergetar dengan energi yang mengancam.
Tangisan bayi itu semakin keras, memecah keheningan malam dengan ketidakberdayaan yang menyentuh hati. Auranya menjadi semakin liar, bergetar dengan gelombang emosi, seolah merasakan beban berat yang akan dia pikul sepanjang hidupnya.
Setiap tangisan seakan mengundang perhatian dari dunia di sekitarnya, membawa kesedihan dan harapan sekaligus, menciptakan suatu ikatan yang tak terpisahkan antara nasib dan takdir.
Mei Xiangling tersenyum tipis, puas dengan hasil karyanya. Dia mundur ke dalam bayang-bayang, meninggalkan bayi itu dalam pelukan nasibnya yang kelam.
"Kutukan telah tertanam," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar, matanya berkilau dengan kecemasan.
"Bayi ini akan dihantui selamanya oleh gairah yang liar dan penuh nafsu, berjuang dalam kegelapan jiwanya tanpa henti. Dia akan dipaksa untuk memuaskan wanita demi meredakan gejolak dalam dirinya yang tak tertahankan. Kutukan ini akan menjadi belenggu yang mengikatnya, menjadikan hidupnya sebuah perjalanan yang penuh dengan pertarungan birahi.”
Tawanya pun melengking, menciptakan gelombang suara yang memecah keheningan malam, seolah mengundang bayang-bayang untuk datang dan menyaksikan nasib tragis yang menanti.
Suara itu bagaikan melodi kematian yang bergema menjauh, meluncur di antara pepohonan yang rimbun dan heningnya malam. Suara itu perlahan-lahan tergantikan oleh rintihan angin malam yang berat, seolah-olah bertanya tentang penderitaan apa yang akan menimpa Li Tianwei dalam menghadapi gairah liar yang menguasainya di masa depan.
Dalam kegelapan, bayangan-bayangan masa lalu dan harapan-harapan yang terpendam meliuk-liuk, menimbulkan rasa cemas yang tak tertahankan. Dia merasakan bahwa perjalanan ke depan tidak akan mudah, dan setiap pilihan yang diambil akan membentuk nasibnya dengan cara yang tak terduga.