Bab 8 - Tidak Perlu Lagi
Morgan baru saja memasuki ruang pemeriksaan, dengan Dicky yang menunggu di depan ruangan kamar Morgan.
Salah seorang perawat di sana hendak keluar dari ruangan Morgan, dengan cepat Dicky menahannya sehingga ia tidak bisa pergi ke mana pun.
“Permisi, suster,” sapa Dicky, sang suster memandang bingung ke arah Dicky.
“Iya, ada apa ya, Tuan?” tanyanya.
“Apa ... di sini ada perawat yang bernama Flareon?” tanya Dicky, perawat itu memandang heran ke arah Dicky.
“Memangnya, ada apa ya, Tuan?” tanya balik suster itu, berusaha untuk tidak membocorkan informasi apa pun kepada Dicky.
Dicky menghela napasnya dengan panjang. “Kalau bisa ... tolong minta Fla untuk memeriksa pasien yang ada di dalam ruangan ini. Karena pasien tersebut adalah suami dari Fla. Mereka sepertinya sedang ada konflik keluarga, jadi saat ini hubungan mereka renggang. Jadi, tolong biarkan Fla yang memeriksanya, biar masalah mereka agak sedikit terlupakan,” ujar Dicky, yang berbicara terus terang kepada sang perawat.
Mendengar penjelasan dari Dicky, sang suster pun mengangguk kecil mendengarnya.
“Oh baik, Tuan. Kalau itu permasalahannya, saya akan usahakan mengatakannya pada Fla,” ucapnya mengiyakan permintaan Dicky.
Dicky tersenyum. “Jangan bilang kalau pasien ini adalah suaminya, ya. Terima kasih, suster ....”
Dicky berusaha membaca tag nama yang ada di dada perawat tersebut.
“Sakila, nama saya sakila,” ujar perawat itu, membuat Dicky tersenyum mendengarnya.
“Oh, terima kasih suster Sakila yang cantik,” goda Dicky, yang masih saja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ini.
Sakila –teman dari Fla– hanya bisa tersenyum sembari menunduk malu, karena mendengar Dicky mengucapkan hal seperti itu padanya.
“Baik, saya permisi dulu.”
Sakila pun pergi ke arah tempat Fla bekerja, untuk memberitahu tentang keadaan suaminya padanya.
Di sana, di ruangan untuk meracik obat-obatan, Fla sedang melakukan tugasnya.
Karena dirinya yang bisa melakukan semuanya, Fla jadi merangkap menjadi apoteker, untuk meracik obat yang akan ia berikan kepada para pasien.
Sakila memandangnya sembari menghela napasnya dengan panjang. "Pantas saja dia minta berangkat bersamaku terus, saat berangkat kerja. Ternyata, dia sedang ada konflik masalah dengan suaminya," batinnya, yang merasa sangat kasihan dengan temannya itu.
Perlahan, Sakila menghampiri Fla, dan berdiri di hadapannya.
“Fla ...,” sapa Sakila, Fla memandang ke arahnya.
“Ada apa, La?” tanya Fla.
Sakila memandang dalam ke arah Fla. “Tolong periksa pasien di ruang pemeriksaan. Dokter Dhanu sedang sibuk memeriksa pasien yang lain,” ujarnya, membuat Fla memandangnya dengan bingung.
“Kenapa harus aku, La? Aku sedang meracik obat untuk pasien,” tanya Fla, yang secara tidak langsung menolak permintaan Sakila.
Sakila menarik Fla ke arah pintu keluar ruangan. “Ayo ... sudah gak ada waktu lagi. Tolong, pasien sedang sakit perut parah!” paksanya, membuat Fla khawatir dengan pekerjaannya di sini.
“Ini bagaimana?” tanya Fla.
“Biar aku yang kerjakan,” jawab Sakila, membuat Fla agak tenang mendengarnya.
Dengan sangat terpaksa, Fla melangkah ke arah ruangan pemeriksaan, yang ditunjukkan oleh Sakila.
Sakila memandang kepergian Fla, dengan napas yang ia hela.
“Semoga, setelah ini ... permasalahan kalian cepat selesai,” gumam Sakila, yang berharap agar permasalahan yang mereka jalani, dapat segera selesai dengan baik.
Fla melangkah menuju ke arah ruangan tersebut, dengan membawa stetoskop yang sudah ia ambil di lokernya.
Stetoskop ini sangat berguna, untuk melakukan pemeriksaan awal untuk gejala yang dialami pasien.
Akhirnya, Fla sampai di ruangan pemeriksaan. Di dalam sana, sudah ada seorang yang sangat Fla kenal.
"Morgan," batin Fla, yang merasa sangat kaget melihat Morgan yang terbaring lemas di atas ranjang pemeriksaan.
Fla menghela napasnya panjang, karena ia sudah mengerti maksud dari temannya itu.
"Ternyata ini tuh settingan, supaya aku bisa bertemu dengan Morgan," batin Fla, yang merasa sedikit kesal dengan Sakila, temannya yang tadi memaksanya.
Dicky menoleh ke arah Fla. “Ah, akhirnya kau datang. Cepat, periksa perut Morgan!” ujarnya, yang merasa sangat tenang melihat Fla yang datang, sembari memegang stetoskop itu.
Morgan melirik ke arah pintu ruangan, dan mendapati Fla yang berdiri di sana dengan tatapan yang tajam dan dingin.
"Ternyata, dia benar tidak ada rasa kasihannya denganku," batin Morgan, yang merasa Fla benar-benar sangat membenci dirinya.
Karena tuntutan pekerjaan, Fla melangkah untuk memeriksa keadaan Morgan.
Fla berusaha untuk professional, karena ia tidak ingin dianggap tidak baik, terlebih lagi pasiennya itu adalah suaminya sendiri.
Tangannya ia ulurkan ke arah kening Morgan, untuk memeriksa suhu pada tubuh Morgan.
Fla merasakan sensasi panas yang terbakar, membuat tangannya seakan melepuh karena menyentuh kening Morgan.
"Panas sekali," batin Fla, yang merasakan sensasi panas pada kening Morgan.
Timbul rasa bersalah Fla, karena ia yang tidak memperhatikan keadaan Morgan. Namun, di sisi lain hatinya, ia membantahnya karena seharusnya Ara menjaga dan merawat kekasihnya itu.
"Kenapa di saat seperti ini, aku malah ingat dengan Ara?" batin Fla, yang merasa sangat sendu, dengan keadaan rumah tangganya bersama dengan Morgan.
Fla mengeluarkan thermometer dari tas kecil yang ia bawa. Ia mendekat ke arah wajah Morgan, sembari mengulurkan alat tersebut ke arah mulut Morgan.
“Buka mulutnya,” pinta Fla, tetapi Morgan tidak mau membukanya.
Hal itu membuat Fla memandangnya dengan sedikit sinis.
“Tuan Morgan, tolong dibuka mulutnya. Saya ingin memeriksa suhu tubuh Anda--”
Ucapan Fla terpotong, karena Morgan yang tiba-tiba saja memeluknya. Hal itu membuat Fla mendelik kaget, dan langsung menoleh ke arah Dicky.
Dicky melihat hal seperti itu, mendelik kaget, dan segera ia meninggalkan ruangan ini untuk membiarkan mereka menyelesaikan permasalahan yang terjadi, pada rumah tangga mereka.
Karena melihat Dicky yang sudah pergi dari ruangan ini, fokus Fla menjadi kembali ke arah Morgan. Ia merasa sendu, karena melihat kondisi Morgan yang tersiksa seperti ini.
Namun, Fla juga tidak mau meluapkan semua perasaan sedih dan kecewanya. Ia menyadari, hal tersebut hanyalah sebuah hal yang sia-sia, jika di sisi Morgan masih ada Ara.
“Bisa tolong lepaskan aku?” tanya Fla, Morgan yang mendengar hal itu, malah semakin mempererat pelukannya.
“Aku kesal! Kenapa kamu tidak menyiapkan sarapan, dan juga obat magh seperti waktu dulu? Kenapa sekarang tidak ada hal-hal manis yang kamu berikan kepadaku?” tanya Morgan, yang mulai meluapkan emosinya dalam pelukan Fla.
Fla menghela napasnya dengan panjang, karena ia merasa hal itu tidak perlu ia lakukan lagi sekarang.
“Semuanya tak perlu Fla lakukan lagi, Gan. Sudah ada Ara, yang bisa merawatmu saat kau sedang sakit. Sudah ada Ara, yang saat ini di hatimu. Aku tidak perlu berperan lagi dalam hubungan ini. Semua ini hanya soal waktu. Waktu yang akan menjawab, tentang keputusan yang akan Fla ucapkan nantinya, mengenai hubungan kita,” ujar Fla, membuat Morgan merasa sangat sakit mendengarnya.