Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 - Tidak Kuat

“Kenapa sih, Gan? Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat kamu? Kamu tidak suka lagi dengan aku, Gan?” tanya sinis Ara, sontak membuat Morgan kesal mendengarnya.

Matanya mendelik, karena ia merasa sangat kesal dengan sikap Ara yang sangat kekanak-kanakkan.

Tangannya yang tertahan Ara, ia tepiskan, sehingga membuat Ara merasa sangat tidak terima dengan hal itu.

“Please, Ra. Jangan kekanak-kanakkan seperti ini!” bentak Morgan, yang masih tertahan karena ia masih memikirkan keadaan sekitarnya.

Pandangannya saja sampai terus melirik ke segala arah, karena ia tidak mau terlihat oleh dosen lain. Ia bisa dicap sebagai dosen yang tidak berpendidikan dan berakhlak, kalau di kampus saja ia masih bisa melakukan hal-hal mesra seperti ini.

Mereka pasti akan memanfaatkan kesempatan ini untuk merendahkan Morgan, serendah-rendahnya.

“Aku? Kekanak-kanakkan? Jangan bilang seperti itu, Gan! Kau yang kekanakkan, karena tidak membalas pesan singkat dariku! Kau yang tidak pernah memberiku kabar, kau juga yang tak pernah mau aku dekati. Lantas kita ini apa, Gan?” tanyanya panjang lebar, semakin membuat Morgan kesal dengannya.

"Gadis ini ... dia sama sekali tidak mengerti situasi di kampus!" batin Morgan, yang lalu segera meninggalkan Ara di sana, tanpa sepatah kata pun.

Melihat kepergian Morgan, Ara merasa sangat kaget. Ia tidak percaya, kalau Morgan sudah meninggalkannya sendirian di sana.

“Morgan! Morgan!!” pekik Ara, tetapi Morgan sama sekali tidak memedulikannya.

Karena kejadian ini, Morgan sampai kehilangan selera makannya. Ia merasa sangat kesal, karena lagi-lagi Ara membuatnya tidak bisa makan dengan benar.

"Sudah Fla tidak memberikan obat, tidak memasakkan sarapan, Ara pula membuatku tidak makan dari kemarin! Mau membuat aku mati, kah?" batin Morgan yang jengkel, sembari melangkah jenjang ke arah ruangannya.

Karena hendak mengawas ujian, paling tidak ia harus menekan dulu emosinya. Jangan sampai emosinya terbawa, ketika ia sudah berada di ruangan ujian.

"Tahan, sabar ...."

Setelah berjalan menuju ke lantai lima, ia sampai di ruangannya dengan napas yang pendek. Satu lift di gedung itu sudah rusak dari dua hari lalu, sementara di sana tidak ada lift khusus yang hanya bisa digunakan para dosen.

Dengan sangat terpaksa, Morgan naik ke lantai lima dengan menggunakan tangga darurat, karena semua lift yang masih berfungsi, selalu penuh, membuatnya tidak bisa sampai ke lantai lima dengan cepat.

“Akhirnya sampai di sini,” gumamnya, sembari masuk ke dalam ruangan dosen tersebut.

Di dalamnya, sudah banyak sekali dosen yang sibuk mengambil kertas ujian, yang akan dipakai untuk para mahasiswa dengan jurusan yang berbeda.

Tanpa basa-basi, Morgan segera merapikan berkas yang akan digunakan untuk mengawas, di ruangan yang sudah ditentukan kali ini. Ia tidak banyak berbicara, karena ia tidak memiliki tenaga lebih untuk sekadar berbicara dengan dosen yang ada di sana.

Efek dua hari belum makan, Morgan menjadi sangat lemas. Bahkan minum pun hanya sekali, di waktu ia bangun tidur saja.

Morgan memaksakan untuk mengawas pada ujian kali ini, karena ia sudah berjanji akan bekerja dengan baik di kampus ini.

Separuh waktu sudah berhasil Morgan selesaikan, hanya untuk mengawas ujian kali ini. Sebelum memulai pekerjaannya, ia juga sudah merasa lemas, karena tenaganya yang sudah habis terkuras.

Pandangannya mendadak buram, sekujur tubuhnya gemetaran, saking tidak ada makanan yang bisa ia olah menjadi tenaga.

Setelah itu, Morgan tidak tahu lagi apa yang terjadi dengannya.

***

Morgan sudah berada di ruang UKS kampus. Ia pingsan, dan baru saja siuman saat ini.

Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Dicky –temannya–  yang sedang duduk di kursi yang berada di hadapannya.

Morgan memegangi kepalanya, dengan pandangan yang masih berkunang-kunang itu.

“Dik ...,” panggil Morgan lirih.

Mendengar Morgan yang memanggilnya, seketika Dicky menyimpan handphone-nya di saku celananya. Ia memandang tajam ke arah Morgan, dengan pandangan yang sangat khawatir.

“Bagaimana kondisimu? Sudah enakan?” tanya Dicky, Morgan menghela napasnya dengan panjang.

“Masih lemas,” jawab Morgan, yang memang benar merasakan lemas pada tubuhnya.

Pandangan Dicky menajam ke arah sahabat seprofesinya itu, ia tidak biasanya seperti ini. Selama Morgan bekerja di kampus ini, baru kali ini Morgan tumbang seperti ini.

Ada rasa curiga Dicky pada Morgan, karena ia mungkin sedang tidak dalam kondisi yang baik saat ini.

“Are you okay? Kenapa bisa kau seperti ini, Gan?” tanya Dicky, Morgan memandangnya dengan tatapan yang lesu.

“Aku tidak apa-apa, juga tidak tahu kenapa bisa seperti ini,” jawab Morgan, yang tidak ingin memberitahu, kebenaran tentang masalah yang ada di dalam rumah tangganya.

Walaupun mendengar Morgan yang mengatakan hal itu, Dicky sama sekali tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Ia merasa ada banyak permasalahan, yang dirasakan oleh Morgan saat ini.

Dicky menggelengkan kecil kepalanya. “Tidak mungkin, kau pasti ada masalah. Bicara saja, jangan sampai pikiran itu malah menggerogoti kesehatan kamu. Baik kesehatan jasmani, ataupun rohani,” ujarnya, Morgan hanya bisa memandangnya dengan tatapan yang biasa saja.

“Aku tidak ada apa-apa. Aku hanya terlambat makan saja,” sanggah Morgan, Dicky menghela napasnya dengan panjang, berusaha untuk percaya pada temannya itu.

“Ya sudah, aku juga tidak mau ikut campur ke dalam masalahmu, kalau memang benar kau punya masalah.” Dicky kembali mengeluarkan handphone-nya, dan membaca informasi di grup.

Dicky membaca semua informasi yang ada, sementara Morgan hanya bisa menahan rasa sakit pada perutnya itu.

Rasa sakit yang datang kembali, saat Morgan sedang tidak melakukan kegiatan apa pun. Jika ia sedang melakukan suatu kegiatan, sedikit banyaknya rasa sakitnya bisa teralihkan pada kegiatannya.

“Aww ....” Morgan kelepasan merintih, walaupun lirih, Dicky yang fokus membaca informasi saja, bisa sampai mendengar dan menyadarinya.

Dicky memandang ke arah Morgan dengan bingung. “Kau benar tidak apa-apa? Kenapa malah merintih gitu?” tanyanya lagi, berusaha untuk meyakinkan hati Morgan.

“Sepertinya ... ini sudah tidak bisa tertahan lagi,” ujar Morgan, sontak membuat Dicky mendelik kaget mendengarnya.

“Ah? Ayo ke rumah sakit, sekarang!” pekik Dicky, yang langsung segera memapah Morgan, agar Morgan bisa segera dibawa ke rumah sakit.

Dicky membawa Morgan ke rumah sakit, untuk melakukan pemeriksaan. Dengan kekuatan seadanya, Dicky memapah Morgan seorang diri, karena Morgan yang tidak ingin dibantu oleh siapa pun.

Morgan masih saja sok kuat, di saat seperti ini. Alhasil, Dicky menjadi kalang-kabut memapah Morgan, karena tubuh Morgan yang sedikit lebih besar dibandingkan dirinya.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya mereka tiba di rumah sakit tempat Fla bertugas.

Dicky mengantarkan Morgan untuk menerima pemeriksaan terkait sakit pada perutnya, karena ia merasakan sakit yang begitu luar biasa, sampai tidak bisa menahan sakitnya lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel