Bab 6 - Kesal Karena Keadaan
Morgan pulang ke rumahnya, karena ia merasa sangat sedih dengan kejadian yang pastinya sangat menghancurkan hati Fla itu. Ara tiba-tiba saja datang ke rumah mereka, membuat perkara yang sama sekali tidak direncanakan olehnya.
Hal itu pastinya sangat membuat hati Fla hancur berkeping-keping.
Perlahan, Morgan membuka pintu kamarnya, dan mendapati Fla yang sudah tidur membelakanginya.
Morgan menghela napasnya dengan panjang. “Seperti biasa,” gumamnya lirih, yang sudah terbiasa melihat posisi tidur istrinya yang membelakanginya seperti itu.
Morgan membuka jaketnya, sampai terlihat lekukan dadanya yang bidang, karena ia hanya mengenakan kaos polos yang ketat mengikuti lekuk tubuhnya.
Karena sudah terlalu lelah, Morgan meletakkan secara asal jaketnya lalu segera melangkah menuju ke arah kamar mandinya. Ia membasuh wajahnya, karena merasa wajahnya yang terlalu tegang akibat permasalahan ini.
SRAK!
Morgan membasuh wajahnya dengan air mengalir dari keran wastafel, kemudian segera membersihkan air yang masih mengalir di wajahnya.
Sejenak ia memandang ke arah wajahnya dari cermin, yang saat ini sudah terlihat lebih lentur dari sebelumnya. Ia menghela napasnya, karena merasa sesak akibat menahan napas beberapa saat sampai selesai membasuh wajahnya.
“Ada apa ini? Aku bahkan tidak bisa bernapas dengan lega,” gumamnya, yang semakin tidak tenang saja menghadapi sikap Ara yang terlalu berani.
Sejenak ia tumpahkan perasaan resah gelisahnya, hingga perasaan itu sedikit hilang dari hatinya. Ia tidak bisa menghilangkan semua perasaan itu, tetapi setidaknya ia bisa mengikisnya jika ia menyendiri dan memikirkannya sendiri.
Ketika sudah selesai melakukan apa yang harusnya ia lakukan, Morgan pun melangkah keluar kamar mandi ini. Ia naik ke atas ranjang yang sama dengan ranjang tidur Fla.
Dadanya terasa semakin sesak, ketika ia sudah berhasil membaringkan tubuhnya di atas ranjang tersebut.
"Percuma satu ranjang, kalau kita masing-masing seperti ini terus," batin Morgan, yang merasa lelah dengan sikap dan perlakuan Fla padanya itu.
Padahal, Morgan sangat menyadari kalau sikap dan perlakuan Fla terhadapnya, adalah berkat dirinya sendiri yang memulainya.
Tidak akan ada asap, kalau tidak ada api.
Morgan telah bermain api di dalam pernikahan mereka, yang sudah terbina selama lima tahun lamanya.
Karena sudah tidak mengisi perutnya seharian ini, Morgan merasa perutnya sangat sakit. Ia memegangi perutnya, sampai memejamkan matanya karena tidak kuat menahan rasa sakit ini.
“Aww ... perutku,” rintih Morgan dengan lirih, yang ternyata didengar oleh Fla.
Fla belum tertidur dengan pulas, sehingga ia bisa mendengar rintihan Morgan yang sedang merasakan sakit pada perutnya itu.
Memang, awalnya Morgan tidak sengaja untuk melakukannya. Namun, karena mengingat Fla yang sepertinya belum tertidur pulas seperti biasanya, ia sengaja merintih terus-menerus agar Fla mendengarnya dan sedikit memperhatikannya.
"Aku tahu, kau belum tidur," batin Morgan, yang meneruskan rintihannya itu.
Karena sudah terlalu lelah, Morgan menghentikan rintihannya dan berusaha untuk memejamkan matanya karena sudah terlalu lelah.
Di pagi harinya, Morgan terbangun karena mendengar suara alarm handphone, yang ia pasang sendiri di handphone-nya.
Morgan menoleh ke arah sebelahnya, dan tidak menemukan Fla di sana. Ia lalu duduk di pinggir ranjang, lalu mengambil handphone-nya dan mematikan alarm tersebut.
BIP!
Alarm sudah ia matikan, saatnya Morgan bersiap untuk membilas tubuhnya yang sudah lengket karena keringat.
Seperti biasa, Fla sudah lebih dulu pergi bekerja daripada Morgan, menjadikan Morgan terbiasa untuk bangun sendiri dan hanya mengandalkan alarm di handphone-nya saja.
Morgan melangkah menuju ke arah kamar mandi, untuk sekadar membilas tubuhnya yang lengket.
Hari ini Morgan masih ada kegiatan untuk mengawas ujian tengah semester di kampusnya. Ia harus berangkat cepat, agar tidak terjebak kemacetan di jalan arah menuju ke kampusnya.
Morgan teringat dengan dirinya yang semalam merintih kesakitan. Ia tersenyum, karena pastinya Fla akan memperhatikannya dengan memberikan obat sakit perut dan juga memasakkan sarapan untuknya.
Dengan cepat, Morgan merapikan segalanya, bahkan dengan sangat cepat memakai kemeja dan juga jas hitamnya.
Morgan melangkah ke arah meja makan, untuk memeriksa sarapan yang pasti sudah disiapkan oleh Fla. Ia mencari, dan ternyata tidak ada apa pun di atas meja makan tersebut.
Karena terlalu bersemangat dan terlalu percaya diri, Morgan sampai gegabah dengan kenyataan yang terjadi. Di sana tidak ada apa pun, membuat Morgan merasa kesal dengan Fla.
“Kenapa dia tidak menyiapkan sarapan dan obat sakit perut untukku? Dulu waktu aku sakit, dia diam-diam menyiapkan semua di meja makan. Walaupun terlambat masuk kerja, dia bela-belain untuk membuatkanku sarapan. Kenapa sekarang tidak seperti itu?” gumam Morgan, yang terselip jelas nada kesal dalam ucapannya itu.
Sekarang semuanya sudah berbeda, sudah tidak ada kehangatan dan kejutan lagi dalam pernikahan mereka. Fla sudah tidak memedulikan Morgan, sama seperti Morgan yang tidak memedulikannya.
Morgan pergi dengan perasaan dan hati yang kesal, padahal ia tahu dengan jelas kalau semua ini berkat kesalahannya juga.
Mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur.
Sepanjang perjalanan, Morgan hanya bisa menahan kesalnya pada Fla. Ia tidak bisa memungkiri, kalau pernikahannya dengan Fla ternyata memang sudah berada di ujung tanduk.
Tidak bisa maju, dan tidak bisa mundur.
Morgan tidak bisa memperbaiki pernikahan mereka, tetapi juga tidak bisa menceraikan Fla. Ia tersiksa dalam rasa sakit, yang ia ciptakan sendiri.
Setelah sampai di kampus, seperti biasa Morgan mendatangi kantin kampusnya, untuk sekadar mengisi perutnya yang sudah sangat sakit. Tepat 24 jam hari ini, ia sama sekali belum mengisi perutnya.
Tubuhnya kian lama semakin kurus, karena ia sama sekali tidak merawat tubuhnya dengan benar. Ditambah lagi sakit perut yang selalu ia rasakan, membuatnya semakin tersiksa saja dalam menjalani hidupnya.
“Kali ini aku harus makan! Jangan sampai tidak,” gumamnya sembari melangkah menuju ke arah kantin tempat biasa ia mengisi perutnya.
Belum sampai masuk ke dalam kantin, Morgan sudah melihat Ara yang duduk pada kursinya.
Kursi tempat biasa ia duduk saat berkunjung ke kantin kampus, sudah ditempati oleh Ara. Pandangannya mendadak menajam. Karena Ara, ia jadi benar-benar kehilangan selera makannya lagi.
"Masa sih, aku harus tidak makan lagi hari ini?" batin Morgan, yang merasa sangat bingung dengan keadaannya itu.
Karena merasa sudah tidak berselera makan, Morgan segera pergi dari sana untuk menuju ke ruangannya.
Belum sampai Morgan pergi dari sana, Ara sudah berlari dan menahan lengan tangan Morgan yang kekar itu. Hal itu sontak membuat Morgan mendelik kaget, karena banyak sekali mahasiswa yang berlalu-lalang di sekitar mereka.
“Ra, lepaskan. Banyak orang di sini,” gumamnya, membuat Ara merasa tidak terima diperlakukan seperti itu oleh Morgan.
Matanya menajam ke arah Morgan, ia tidak bisa memaafkannya kali ini, saking kesalnya ia dengan kekasihnya itu.