Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Curiga

Pada saat Salma menghampiri menghampiri Johan, didalam hati Ninda berkata," lelaki yang aku cintai itu seperti Dikta. Bahkan Dikta yang selama ini aku cinta, Tante."

Ninda turut serta makan malam di rumah Dikta. Dan pada saat makan malam, salah satu kaki Ninda dengan tidak sopan mengusap-usap kaki Dikta. Sontak saja ada yang berdesir di hati Dikta. Gelora cintanya pada Ninda yang sampai saat ini masih saja ia rasakan. Kehadiran Talitha hanya sebagai pengusir rasa sepi dan hampa saja. Apa lagi ia lelaki normal dimana dirinya sudah sering melakukan hubungan suami istri dengan Ninda. Hingga saat Ninda jauh, ia kerap kali tersiksa pada saat dirinya sedang ingin bercinta.

PYANG!

Dikta tak sengaja menjatuhkan gelas, dan pada saat Talitha iseng jongkok ingin memunguti pecahan gelas tersebut, ia tidak sengaja melihat kaki Ninda sedang mengusap-usap kaki Dikta. Tetapi ia tersentak kaget pada saat jarinya tertusuk pecahan beling," aauhhh.."

Iapun mengalihkan pandangan ke jarinya sendiri, setelah itu ia penasaran dan beralih pandangnya lagi kearah kolong meja," astaghfirullah aladzim, ternyata aku hanya salah lihat saja. Tapi tadi baju seperti melihat kaki Ninda kok gitu ya? ah mungkin mataku saja yang sedang salah melihat."

Ocehnya didalam hati.

"Sayang, biarkan saja. Aduhhh... kamu terluka kan, ayok aku obati. Lain kali biarkan saja toh ini tugas bibi, tugasmu cuma melayaniku saja."

Dikta menghampiri istrinya dan ia sudah terlebih dulu mengambil kotak berisikan obat-obatan.

Dengan sangat perlahan, Dikta mengobati jari telunjuk Talitha. Talitha terus saja menatap kearah Dikta," sepertinya tidak mungkin jika Mas Dikta ada hati dengan Ninda. Aku yakin sekal, apa lagi selama kami menikah, ia sangat perhatian padaku. Jia ia selingkuh dengan Ninda, mana mungkin ia seperti ini romantis didepan Ninda."

Terus saja Talitha bergumam didalam hatinya.

Berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Ninda. Ia sangat marah dan cemburu tetapi ia berusaha menahan rasa tersebut. Hanya saja ia tidak ingin melihat kemesraan Talitha dan Dikta terlalu lama. Ia pun berpamitan pulang," Tante-Om, sepertinya aku harus segera pulang karena kepalaku mendadak rasa pusing. Lain waktu aku pasti akan datang lagi kemari."

Ninda sengaja tidaj menyelesaikan makanannya, karena ia sudah tidak berselera gara-gara melihat kemesraan Dikta dan Talitha.

"Loh, kok buru-buru? tapi sebaiknya habiskan dulu makananmu, Ninda," pinta Salma.

Tetapi Ninda menolak dengan senyuman," maaf Tante, perutku sedang tidak bersahabat. Sekali lagi aku minta maaf ya Tante-Om."

"Hem ya sudah, kalau begitu biar Dikta yang mengantarmu pulang. Nanti gampang, Dikta biar pulang kemari dengan taxi on line. Lagi pula sedang hujan kan? atau sebaiknya kamu tidur di sini saja, Ninda?" saran Johan.

Tetapi Ninda tetap tidak bersedia," nggaklah Om, lagi pula hujan kecil kok. Biarkan aku pulang sendiri saja nggak apa-apa."

"Eehhhh jangan Ninda! kamu sedang pusing, nanti kalau terjadi hal buruk padamu, pasti kami yang disalahkan oleh orang tuamu. Biarkan Dikta teng mengantarmu, nggak apa-apa ya Talitha. Toh cuma sebentar saja," ucap Salma seraya menatap sendu kearah Talitha.

Sontak saja Talitha tidak bisa menolak keinginan kedua mertuanya, ia pun menganggukkan kepalanya," ya mah, nggak apa-apa."

Walaupun didalam hatinya merasa tidak rela," Mamah ini benar-benar nggak tahu banget perasaan seorang istri. Padahal sendirinya juga seorang istri. Bagaimana perasaannya jika suaminya mengantarkan wanita lain apa lagi ditengah kondisi hujan lebat seperti ini?"

Batin Talitha bertolak belakang dengan ucapannya barusan.

Tetapi ia tidak mungkin mengatakannya secara langsung. Karena tidak ingin membuat keributan. Hingga ia terpaksa menyetujui dan mengizinkan suaminya mengantarkan Ninda.

Saat itu juga Dikta mengantarkan Ninda dengan mobil milik Ninda. Didalam perjalanan pulang, Ninda hanya diam saja.

"Sayang, kenapa Kamu diam saja?" tegur Dikta sejenak menghentikan laju mobilnya di tengah hujan lebat.

"Masih tanya kenapa? apa kamu sengaja ingin membuatku cemburu dengan bertingkah sok manis dan perhatian pada istrimu yang kucel itu!" ucap ketus Ninda.

"Ohhh jadi kamu cemburu toh, jangan seperti itu. Aku tidak mungkin bersikap acuh terhadapnya apa lagi dihadapan orang tuaku. Tolong pengertiannya sedikit," ucap Dikta tanpa merasa bersalah sama sekali.

Ninda begitu kesal pada Dikta, tetapi ia tidak bisa marah terlalu lama karena rasa cintanya mampu mengalahkan perasaan marahnya. Hingga kini ia sudah tidak ketus lagi dalam berkata.

"Lantas bagaimana dengan hubungan kita?" tanya Ninda.

"Tetap berjalan, tunggu waktu yang tepat untuk aku bisa berkata jujur pada orang tuaku dan pada Talitha," jawab Dikta.

"Jadi kamu nggak berniat bercerai dari wanita kampung itu? lantas aku akan dijadikan yang kedua? aku tidak akan mau!" bentak Ninda.

Dikta bingung, karena memang ia tidak berniat menceraikan Talitha karena ia juga sudah nyaman dengannya. Tetapi ia juga tidak ingin putus dari Ninda. Kini ia benar-benar dilema hingga ia diam saja tidak bisa berkata lagi.

Hingga Ninda yang menegurnya," kenapa diam? apakah kamu sudah jatuh cinta padanya sehingga enggan berpisah darinya? dan apakah kamu lupa dengan sumpah dan janjimu dulu padaku?"

Dikta menghela napas panjang," bukan begitu sayang. Aku memang tidak bisa lepas darinya karena jika aku cerai pasti akan disorot oleh awak media dan juga oleh banyak orang. Karena pada waktu itu pernikahan kami di selenggarakan secara live. Dan aku juga nggak ingin karirku hancur."

"Kamu tidak bisa menyalahkanku, ini semua juga karena kesalahanmu juga. Kenapa dulu kamu lebih memilih kariermu daripada hubungan kita berdua?"

"Jika saja dulu kamu menuruti perkataanku, hal ini tidak akan sampai terjadi."

Ninda tidak mau disalahkan," kamu saja yang tidak bisa setia! jika waktu itu aku jujur, justru aku akan kehilangan kontrak kerja yang selama ini aku impikan. Apa kamu lupa jika impianku adalah menjadi seorang foto model dan bintang iklan internasional. Jika bisa aku juga ingin menjadi seorang artis papan atas."

"Kesempatan tidak datang dua kali. Karena waktu itu ada satu persyaratan di kontrak yang tidak bisa aku indahkan begitu saja. Dimana mereka tidak menerima seorang wanita yang sudah menikah. Mereka memprioritaskan yang masih lajang."

Dikta hanya diam pada saat Ninda terus saja membela diri. Ia juga bingung harus mengatakan apa lagi.

"Kenapa diam lagi? aku tidak butuh diammu tapi aku butuh kepastian dari dirimu. Jika..

"Hust... sudah nggak usah bawel, nanti juga ada jalan keluarnya."

Tiba-tiba Dikta memotong perkataan Ninda dan ia meletakkan jari telunjuknya di bibir Ninda.

Dikta perlahan menghampiri Ninda dan berbisik," apa kamu nggak kangen denganku?"

Bisikan Dikta membuat darah Ninda berdesir hebat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel