6. Mansion Dingin
Dia terus melangkah lurus tanpa tujuan yang pasti berharap akan bertemu dengan sahabatnya. Namun, bukan sahabat yang menemuinya melainkan hujan deras menguyur bumi. Rintik hujan yang jatuh dari langit terus membasahi tubuhnya, Sarita masih terus berjalan menyusuri trotoar sepi.
Hujan masih turun dengan derasnya, bahkan sekarang disertai petir dan guruh. Tubuh yang mengigil, gigi gemelutuk akibat dinginnya air membuat Sarita menghentikan langkahnya dan duduk di bawah pohon besar pinggir jalan.
"Jalan Batanghari, sedikit lagi aku sampai di rumah Sisilia," gumam Sarita.
Hujan masih deras menguyur Kota Lamere. Pandangan Sarita lambat laun mulai mengabur, hingga akhirnya wanita muda itu tumbang. Cukup lama tubuh basah Sarita bersandar pada batang pohon besar itu hingga hujan berhenti pun dia tidak ada tanda hendak bangun.
Satu jam, dua jam, jalanan sepi dan licin akibat air hujan. Namun, tubuh itu masih berada di posisi yang sama hingga sorot lampu mobil menerpa wajahnya. Seorang pemuda dengan jas hitam dan kaki panjangnga keluar dari mobil hitam.
"Kasian sekali kamu, Kak!" batinnya.
Kedua lengan yang kekar dan kuat meraih tubuh Sarita dan digendongnya masuk ke dalam mobil Roll Royce terbaru. Mobil berkelas dengan harga fantastis membawa tubuh lemah Sarita.
Tidak butuh waktu lama, mobil itupun memasuki sebuah jalan sepi. Sepertinya hanya jalan itu yang ada. Samping kiri dan kanan tidak ada rumah penduduk, bahkan dalam jarak dua ratus meter pun juga tidak terlihat. Rupannya jalan setapak itu hanya milik pemuda itu.
Mobil Hitam langsung parkir di depan pintu utama, ada seorang wanita paruh baya yang sederhana dan tampak bersih juga ramah.
"Ada apa ini Den Saga? Siapa perempuan cantik ini?" tanya wanita itu.
"Kemarin lusa, aku ada perintah buat siapkan kamar ya, Mbok. Sudah siapkah?"
"Sudah, Den. Bersih dan wangi, sesuai request Aden!"
"Bagus, tolong cuci semua pakaian yang ada di dalam tas punggung. Jangan lupa bawakan baju ganti yang aku simpan di paper bag meja ruang kerjaku!"
Pemuda yang tinggi tegap dan gagah ternyata bernama Sagara Waluyo, salah satu pewaris tunggal keluarga besar Waluyo dari putra kedua sang pembisnis handal. Sagara segera membawa tubuh Sarita masuk ke dalam kamar yang telah disiapkan oleh pria itu.
"Maafkan aku baru bisa menemukanmu, Kak. Setelah ini semua akan berubah!" batin Sagara.
"Ini pakaian bersih yang Aden pinta!" kata Simbok sambil menyodorkan paper bag cokelat.
"Terima kasih, sekarang keluarlah! Biar aku sendiri yang mengganti bajunya!"
Tanpa bersuara, simbok pun berjalan mundur lalu setelah beberapa langkah dia berbalik badan dan keluar dari kamar itu. Sagara menatap wajah Sarita, lalu sekilas terlihat kilatan cahaya di dada wanita tersebut. Tangan yang kekar menyibak sedikit baju atas Sarita agar kilatan itu tampak jelas. Kedua mata Sagara membulat sempurna.
"Ini, liontin khas keluarga Waluyo. Jadi semua sudah jelas buktinya!"
Cukup lama Sarita pingsan, jam sepuluh pagi saat sinar mentari masuk dalam kamar melalui jendela yang terbuka tirainya. Perlahan tubuh Sarita menggeliat, kedua matanya membuka. Pandangannya menyapu ruangan yang berwarna biru laut. Warna yang sudah lama dia dambakan sejak masih kecil.
Tapak tangannya meraba hamparan sprei biru langit berhias gemerlap bintang, kemudian pandangannya beralih pada selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Seketika dibuka selimut tersebut, lalu Sarita bangkit dari tidurnya.
"Ini ... Kamar siapa? Nuansanya sangat indah," gumam Sarita.
Kemudian kakinya mulai bergerak memutari keseluruhan isi kamar tersebut. Bibirnya sesekali berdecak kagum akan semua yang ada di kamar itu. Bagai bulan yang jatuh di pangkuan, semua yang pernah muncul di mimpinya kini nyata ada di depan mata.
"Selamat pagi, Nona. Sudah lamakah Anda bangun?" tanya wanita muta dengan name tag Aulia.
"Pagi, saya ada di mana?"
Ini mansion Tulip milik keluarga Waluyo," jawab Aulia, "Saya yang akan melayani semua kebutuhan Nona ke depan, sampai tenaga saya tidak dibutuhkan lagi."
"Boleh saya bertemu dengan pemilik ini mansion, Mbak?!" kata Sarita lembut.
Kemudian Sarita mengikuti langkah Aulia keluar dari kamar itu. Aulia terus melangkah hingga sampai di sebuah pintu dengan ukuran yang berbeda. Aulia berbalik badan menatap pada Sarita dari atas hingga bawah, lalu menepuk jidatnya.
"Hadeh, maaf kelupaan, Nona. Tuan Muda tidak suka melihat orang yang baru bangun tidur langsung menemuinya. Apa sebaiknya Nona bebersih dulu baru menjumpai tuan?" kata Aulia
"Tidak perlu, tanggung. Sudah biar aku sendiri yang masuk!" setelah berkata, Sarita melangkah maju untuk mengetuk pintu.
"Masuk!" Terdengar suara bariton perintah agar dia masuk.
"Silakan masuk, Nona. Saya permisi dulu menyiapkan keperluan Nona yang lain!"
"Hemm!"
Sarita pun membuka perlahan pintu yang tinggi dan berukir sepasang naga. Sedikit ragu melangkah, tetapi dia harus berterima kasih pada pemilik mansion.
"Selamat pagi. Terima kasih atas bantuannya, sekarang saya mohon diri!" kata Sarita.
Langkahnya terhenti kala ingat semua barang miliknya tidak ada di sekitar kamarnya tadi. Kemudian, Sarita kembali menghadap pada pria tersebut. Dan mulai bertanya.
"Apakah Tuan mengerti dimana letak kalung liontinku berada?" tanya Sarita.
"Tidak hanya kalung, semua barangku yang ada di dalam tas punggung. Dimana barang itu semua?"
Pria yang sedang duduk di depan Sarita hanya diam, tidak ada reaksi sama sekali. Perempuan itu memberanikan diri melangkah lebih dekat, tubuhnya bergetar melihat pada manik mata sang pria.
"Aku inginkan semua barangku kembali, Tuan!"
Sarita masih berkata dengan nada rendah tetapi penuh intimidasi. Dia tidak memedulikan tatapan pria begitu tajam.
"Kau sedang hamil, bersihkan dulu badanmu. Tidak baik keluar kamar belum mandi!"
Hanya beberapa deretan kalimat yang keluar, selanjutnya dia memencet tombol merah. Sesaat kemudian pintu terbuka dan Aulia pun masuk ke ruangan itu.
"Mari ikut saya, Nona!"
Sarita pun akhirnya berbalik menatap Aulia. Gadis manis dengan rambut cepak dan pakaian kasual itu hanya tersenyum. Kemudian menarik jemari Sarita lembut. Dengan langkah sedikit menghentak, Sarita mengikuti langkah Aulia.
"Seperti itu lah aturan di rumah ini, Nona. Tuan muda tidak suka melihat wajah kumal."
Sarita diam saja selama perjalanan menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua. Sepanjang jalan hanya ada tiga pintu dengan jarak yang cukup jauh. Kamar miliknya ada di paling ujung.
"Semua sudah saya siapkan, Nona. Silakan bersihkan diri!"
Sarita pun masuk dalam, segera dia membersihkan tubuhnya dan memakai apa yang tersedia di atas ranjangnya. Sebuah pakaian ibu hamil berwarna cokelat susu sangat pas di tubuhnya.
"Bagaimana mungkin bisa sangat pas sesuai dengan ukuran tubuhku, sungguh aneh pria itu. Siapa gerangan?" gumam Sarita.
Kemudian setelah semua siap, Sarita pun keluar dengan senyum tipis terukir di bibirnya. Aulia yang sejak tadi menunggu di dwpan pintu hanya menatap Sarita dengan mulut terbuka. Penampilan Sarita berubah 180• .
"Mari Nona!" Aulia pun mengajak Sarita untum segera berjalan menuju ke ruang kerja Sagara.
Sarita masih diam tanpa mengeluarkan suaranya, lalu tangannya yang lentik oun langsung membuka pintu tersebut tanpa mengetuknya lebih dulu. Namun, sebelum membuka pintu Sarita meminta pada pelayannya agar meninggalkan dia sendiri menghadap Tuan Muda.
"Baik, Nona ingin makan apa?"