7. Liontinku
Seadanya kalian, tidak perlu ribet."
Aulia pun membungkuk, lalu berbalik badan . Gadis itu berjalan menuju tangha melingkar yang mengarah ke lantai dasar.
"Selamat pagi menjelang siang. Sudahkah Anda sarapan, Tuan?"
"Begitu lebih baik. Duduk lah di sana!"
Pria itu pun bangkit dari duduknya. Dia memilih untuk duduk di sofa single menunggu Sarita. Sedangkan wanita itu masih saja berdiri bersandar pada pinggiran meja menghadap pada sang pria.
Sarita msih menunggu jawaban dari semua pertanyaan yang sejak tadi dia lontarkan. Namun, belum satu pertanyaan pun yang terjawab. Sarita mendengkus lirih.
"Semua barang milikmu yang ada di dalam tas sudah dibersihkan oleh Simbok. Mengenai kuliah yang kamu jalani, mulai besok sudah bisa kamu teruskan hingga wisuda nanti. Tetapi semua ada syaratnya, Sarita Waluyo!"
Sarita tertegun, otaknya tidak bisa mengejar apa yanh disampaikan oleh pria di depannya. Lalu sebuah pertanyaan pun muncul.
"Syarat apa yang harus aku penuhi dan apa alasannya?"
"Jangan temui lagi keluarga Itu lagi, siapa pun. Kamu pasti tahu yang aku maksud. Kamu sendiri yang tahu apa alasanku," jawab pria itu.
"Liontinku?"
Kemudian Sarita dudum di sofa yang lain, dia masih menatap penuh harap pada sang pria yang sejak tadi belum memberitahukan siapa namanya. Lamat ingatannya memutar, sosoknya seakan pernah terlIhat di layar kaca. Namun, Sarita lupa siapa namanya.
"Bagaimana tawaranku?"
"Baik, aku setuju. Tetapi kembalikan liontinku!" Sarita masih bertanya mengenai letak liontinnya.
"Apakah itu benar milikmu, dari mana kamu dapatkan liontin biru khas milik keluarga kami?"
"Aku sendiri tidak tahu cerita mengenai liontin itu. Yang pasti benda itu sudah melingkar di leherku sejak aku bayi. Itu keterangan yang kudapatkan dari si mbok," jawab Sarita.
" Aku Sagara Arnold Waluyo, tunggu satu minggu hasil tes dna. Sementara satu minggu ini kamu bisa lakukan apa saja sesuka hatimu," papar Sagara.
"Apa yang harus aku lakukan, pertama bagaimana caraku memanggilmu, Tuan?" tanya Sarita dengan nada bingung.
"Cukup panggil aku Saga. Jika hasil dna itu cocok baru kita bahas selanjutnya."
Setelah berucap, ujung jari Sagara pun menekan lagi tombol merah. Pintu terbuka dan menampilkan wajah Aulia. Gadis itu berjalan mendekat pada Sarita dan mengajak perempuan itu untuk keluar.
"Permisi Tuan Muda!" pamit Aulia sambil membungkukkan badannya.
Sarita yang tidak mengerti tata cara keluarga tersebut hanya diam. Dia langsung berjalan keluar dari ruang kerja dan menunggu Aulia di luar, berdiri di samping pintu. Aulia pun keluar sambil menutup pintu dengan gerak pelan.
"Mari ikut saya ke bawah, Nona. Anda harus bertemu dengan Mbok Rukmi, beliau yang akan menjelaskan semua!"
Sarita hanya mengangguk, suaranya terlihat mahal untuk dikeluarkan. Aulia terus berjalan hingga di ujung lorong pada pintu lift. Sarita terus mengikuti langkah gadis tersebut hingga masuk ke dalam lift. Di sinilah Sarita mulai membuka suara.
"Apakah kamu sudah lama kerja dengan keluarga Waluyo, Lia?" tanya Sarita.
Suara yang begitu lembut dan pelan membuat Aulia harus menajamkan pendengarannya. Setelah yakin dengan kalimat tanya yang keluar dari bibir nona barunya itu barulah Aulia merespon dengan anggukan kepala.
"Saya kerja dengan tuan muda baru dua tahun, sebelumnya saya ikut nyonya di Ausi,"balas Aulia.
"Australia?"
"Benar, Nona."
Ting!
Lift pun berhenti setelah terdengar bunyi, kemudian pintu terbuka. Aulia pun mempersilakan Sarita untuk jalan lebih dulu. Aulia hanya mengatakan arah jalan yanh harus di lalui oleh majikan barunya.
Kedua bola mata Sarita tidak henti melihat keseluruhan interior rumah tersebut. Hampir semua dindingnya berwarna biru laut, ataupu telur asin. Sarita terus melangkah hingga berhenti di ruang makan. Disana dia disambut oleh wanita paruh baya yang masih terlihat sisa kecantikannya.
"Selamat datang di mansion tulip, Nona Muda! Saya Mbok Rukmi," sapa Rukmi.
"Sarita, Mbok."
"Cantik seperti mendiang nyonya muda," balas Rukmi.
Lalu wanita itu berjalan di sisi lain ruang tersebut. Terlihat Rukmi menarik sebuah laci meja dan mengeluarkan sebuah album berwarna biru. Di dekapnya album tersebut saat berjalan mendekat pada Sarita, kemudian album itu diserahkan pada Sarita.
"Lihat dan pahami album usang ini, Nona. Semoga Anda mengerti!"
Sarita menerima album usang yang masih bersih dan rapi. Lembar demi lembar dibuka perlahan, sesekali jari jemarinya mengusap gambar yang menampilkan wajah cantik. Sekilas wajah itu mirip dengan wajahnya saat masih duduk di bangku SMA.
"Siapa wanita yang sednag menggendong bayi cantik ini, Mbok?" tanya Sarita saat membuka lembar yang kesekian menampilkan wanita muda dengan bayi perempuan yang cantik.
"Itu adalah Nyonya beaar saat masih muda bersama Nyonya muda Alinsky," jawab Rukmi, "Di sampingnya, adalah Ayahnya den Sagara yang masih berumur dua tahun."
"Tampan. Apa hubungan Bayi kecil itu dengan Tuan Sagara?"
"Bibi. Bayi kecil itu adalah ibu Nona," jawab Rukmi, "Itu yang diperkirakan oleh Den Saga, semoga benar."
"Sarapan dulu, Non!" kata Aulia.
Sarita menatap menu yang dihidangkan oleh Aulia, saat melihat udang krispy nafsu makannya meningkat. Dengan gerak pelan, Sarita membalik puringnya kemudian menyendok nasi, sambal dan udang. Rukmi menatap Sarita penuh haru, dia bersyukur siapa pun yang menemukan bayi merah itu adalah orang yang baik.
"Enak, Mbok. Boleh aku nambah?" tanya Sarita.
"Kenyangkan perutnya, Non. Apalagi sepertinya lagi isi ya?"
"Iya, Mbok," jawab Sarita.
Rukmi tersenyum, kemudian dia memberesi piring dan gelas kotor setelah Sarita selesai makan. Wanita muda itu pun duduk melamun di kursi makan.
Hari terus berjalan, Sarita masih aktif ke kampus jalani rutinitas sebagai mahasiswa tingkat akhir. Skripsi yang dibuat oleh Bagaskara dibiarkan saja oleh Sarita, wanita itu lebih memilih untuk membuat ulang.
"Apa kabar hubungan kamu dengan dosen itu, Sari?" tanya Sisil.
"Aku sudah keluar, hanya menunggu suray cerai saja."
"Secepat itukah? Lalu sekarang kamu tinggal di mana?" tanya Sisil.
"Awalnya aku ingin ke rumah kamu, tetapi ... Ada seseorang yang menolongku," papar Sarita.
Kedua sahabat masih berbicara saling berbagi cerita, sampai lupa waktu. Sarita tiba-tiba ingat bahwa hati ini adalah hari penentuan jati dirinya. Hasil DNA akan keluar sore ini.
"Aku harus pulang, maaf, Sil!"
"Kamu naik apa, aku antar ya!" pinta Sisil.
"Tidak perlu, lebih baik aku sendiri. Terima kasih!"
Sisil tersenyum lalu berdiri memeluk sahabat untuk hari terakhir dalam satu minggu. Sisil menatap sendu sahabatnya, dia mengerti swmua derita yang dialami oleh sahabatnya itu. Namun, Sarita tidak pernah mengeluh akan jalan cerita hidup.
"Hati-hati, Sari!"
Akhirnya Sarita pun naik angkot menuju ke mansion tulip. Tidak butuh waktu lama angkotnya pun sampai di depan gerbang putih yang tinggi. Wanita itu masuk melalui pintu samping khusus pejalan kaki.
"Sore, Pak!" sapa Sarita.
"Iya, Non."
Sarita pun berjalan menuju ke pintu utama. Belum sampai, pintu sudah terbuka menampilkan wajah Aulia. Senyum wanita itu mengembang menyambut datangnya Sarita.
"Mari saya antar langsung ke kamar, Nona! Setelah beberes segera temui Tuan Saga," kata Aulia.
Mereka pun segera masuk lift, beberapa waktu akhirnya sampai juga di lantai yang dituju. Sarita segera melangkah menuju ke kamar, dia langsung pergi mandi.
Beberapa saat kemudian Sarita keluar dari kamar dan langsung berjalan menuju ke ruang kerja Sagara. Sarita mengetuk pintu tiga kali, baru terdengar suara dari dalam.
"Maaf jika aku terlambat!" ujar Sarita.
"Duduklah! Ini hasil tes itu. Buka saja!"
Sarita terdiam, matanya menatap deretan huruf yang menyatakan kecocokan 100%. Wanita itu menatap pada pria di depannya, lalu mengangguk.
"Bagaimana langkah kamu selanjutnya, Sarita?" tanya Sagara.
"Aku ingin lahiran lebih dulu, kemudian perbaiki sikapku untuk membalas semua ini!"
"Bagus. Apa perlu kamu pegang salah satu perusahaan milik Bibi Alinsky? Kebetulan ada butik juga, mungkin pas buat lancarkan rencana kamu," ungkap Sagara.
Sarita terdiam. Dia belum berfikir ke sana. Yang jelas wanita itu inginkan lahiran dengan selamat, untuk pertama itu yang terlintas di otaknya. Mengenai kuliahnya hanya nunggu proses wisuda.
"Boleh aku bertanya, bukan, lebih tepatnya meminta bantuanmu, Saga!"
"Hemm!"
"Dua minggu lagi aku wisuda, di sana ada pria itu sebagai pendamping dekan. Aku ingin tidak datang, tolong ambilkan ijazahku. Bisakah?" tanya Sarita dengan nada rendah.
"Jika soal itu tidak masalah bagiku. Jangan khawatir, semua pasti akan beres."
"Baiklah, aku lelah dengan kabar mendadak ini. Permisi, aku ingin istirahat dulu!"
Waktu terus berlalu, masa itu telah berganti dengan senyum dan kekuasaan. Empat tahun sudah waktu yang dijalani bersama dengan putranya Lukas. Sarita berjalan menuju ke ruang rapat seluruh direksi. Rapat dihadiri oleh seluruh pimpinan cabang. Ada sosok yang dikenal oleh Sarita. Sosok yang lama tidak dia jumpai sesaat sebelum dia mengajukan jadwal wisuda.
"Baik, selamat siang semua. Rapat kali ini dipimpin langsung oleh owner kita, Ibu Sarita Waluyo. Silakan dimulai persentasi kalian!" ucap wanita yang dikenal Sarita saat kuliah.
Sisil tidak berani menatap manik biru milik sahabatnya dulu, meskipun dalam benaknya muncul beberapa pertanyaan mengenai kabar sahabatnya itu. Ada sosok wanita tangguh yang senantiasa berada di samping Sarita yang membuat Sisilia mengurungkan niatnya.
Satu per satu pimpinan cabang memberi presentasi mengenai kemajuan cabang yang dipimpin. Hampir semua mengalami kemajuan yang cukup signifikan bahkan ada yang stabil di angka tinggi.
"Bagus, pertahankan kinerja Kalian. Aku tidak mau ada kabar penurunan yang drastis. Saat ini usaha ini makin bersaing, apalagi produk luar negeri bebas masuk!" kata Sarita.
"Untuk Kalian yang masih di angka rata-rata tingkatkan dengan strategi yang berbeda. Cari jalan agar produk kita banyak dikenal oleh masyarakat luas dari segala aspek ekonomi."
Rapat berjalan lancar, Sarita pun menutup rapat dengan elegan. Setelah selesai wanita itu pun beranjak dari duduknya meninggalkan tempat rapat. Aulia pun mengikuti langkah majikannya.
"Nona, sekarang Anda harus mengecek butik yang akhir-akhir ini sedang ramai pesanan. Terutama desain terbaru yang Anda buat beberapa hari lalu!" kata Aulia sambil berjalan mensejajari langkah Sarita.
"Iya, kita jemput Alifian lebih dulu!"
"Baik!"
Sarita berjalan menuju ke ruangannya, perempuan itu duduk sejenak di meja kerjanya menatap foto anak laki-laki tampan berusia 3,5 tahun.