5. Talak
Sarita tertunduk, air matanya keluar perlahan dengan isak tangis yang tertahan. Wanita muda itu mencoba ingat kejadian malam itu. Dimana dia merasakan sesuatu merobek kulitnya hingga terdengar bagai kain robek. Apakah itu tandanya dia masih perawan, lalu bagaimana bisa tidak ada darah diujungnya?
Berbagai pertanyaan muncul di otak kecilnya. Dia tidak terima dikatakan tidak perawan meski perumpamaan. Sarita menjerit pilu, lalu menatap datar pada manik mata suaminya. Bagaskara begetar, bibirnya bungkam dengan lidah kelu. Apa yang dia ungkapkan memang benar adanya bahwa pada ujung kelaminnya tidak ditemukan noda darah.
"Kini, kau makin melangkah jauh, Sarita. Mungkin memang benar bahwa kau terlahir sebagai wanita penghibur!" kata Bagaskara.
"Mas!" ucap Sarita dengan lantang.
Apa kau tidak merasa kismark dari pria itu atau jangan-jangan kau menikmati sentuhannya."
"Mas, aku tidak sehina itu!"
"Mungkin sudah garis nasibmu sebagai penghangat ranjang pria kesepian sepertiku, Sarita. Kau tidak pantas untuk dampingiku sebagai calon ceo," papar Bagaskara.
Sarita semakin tergugu, wanita itu tidak sanggup lagi mengangkat kepalanya untuk bisa melihat wajah sang suami. Gadis yang masih lugu dan suci kini terhempas jauh ke dasar jurang kemiskinan hati. Sarita terdiam membisu.
"Sekarang, ungkapkan apa inginmu, Mas! Selama ini aku sudah berusaha menahan diri atas apa yang kamu lakukan padaku. Hinaan, cacian bahkan pukulan selalu aku terima iklas hanya agar kamu bisa melupakan trauma itu. Namun, jika akhirnya seperti ini, tubuh dan harga diriku harus terjual lebih baik aku menyingkir!" kata Sarita langsung pada tujuan.
"Baik aku akan turunkan talak sesuai inginmu dan dengarlah! Sarita binti Marni, kuturunkan talak tiga atas diri kamu. Kau sudah kubebaskan menikmati hidup tanpaku. Haram bagimu untuk menyentuhku!"
"Aku terima talakmu, Mas. Namun, jika suatu saat nanti keadaan berbalik maka janganlah kamu sesali. Aku bawa benihmu, Mas!"
Sarita pun berjalan meninggalkan kamar suaminya. Wanita itu menuju ke rumah belakang yang selama ini dia tempati bersama Mbok Marni.
Sarita memberesi semua pakaian dia dan surat penting. Simbok hanya menatap semua kesibukan Sarita. Setelah semua siap, Marni baru berjalan mendekat pada wanita muda itu. Sejak kecil Simbok Marni lah yang mengasuh wanitanya.
"Apakah kamu sudah siap, Sarita?" tanya Mbok Marni.
"Siap, Simbok. Minta doa restunya!" pinta Sarita.
"Ini simbok bawakan kalung berlian. Jika suatu hari ada orang yang menemukanmu dan menanyakan mengenai kalung ini jawab saja sudah melingkar di lehermu sejak lahir," ungkap Mbok Marni.
Sarita termangu dan menatap pada wajah simboknya. Banyak pertanyaan yang muncul di otak kecil, tetapi simbok hanya diam dan menutup bibirnya dengan jari telunjuk agar Sarita diam saja mengikuti alur yang ada. Akhirnya wanita muda itu pun segera membungkam mulut, lalu memberesi semua barangnya termasuk ijazah mahasiswanya.
"Aku pergi, Mbok. Jaga dirimu, suatu saat jika aku sukses maka akan kuambil Engkau," kata Sarita dengan nada rendah.
"Hati-hati di jalan, Nduk. Doa simbok selalu menyertaimu!"
Sarita pun berjalan meninggalkan simbok yang masih duduk di balai bambu depan dapur. Sarita terus melangkah menuju gerbang utama lewat pintu samping rumah. ,Namun, saat melewati teras samping langkahnya terhenti oleh teriakan Madam Anne.
"Tunggu, mau kabur kemana kamu, Sarita?"
"Madam ... Kehadiran saya di sini sudah tidak diharapkan, maka lebih baik saya keluar, pergi menjauh," kata Sarita yang masih berdiri membelakangi Madam Anne.
Madam Anne merasa tidak dihargai oleh anak pembantu, maka dengan ganas di tariknya tas punggung yang dibawa oleh Sarita. Akibat perbuatannya itu, Sarita menjadi terjatuh. Anne tidak terima, dia membuka tas yang dibawa oleh Sarita. Apa yang ada di dalam dikeluarkan semua. Ternyata hanya pakaian dam beberapa surat penting milik wanita itu.
"Iya sudah, bawa semua barang rongsok kamu. Jangan injakkan kakimu lagi di mansionku, aku jijik melihatmu!"
Sarita keluar dari mansion aneh milik Madam Anne, kakinya berjalan tanpa arah. Dua hari dua malam wanita muda itu terus menyusuri trotoar tanpa tujuan. Hingga di hari ketiga perutnya berbunyi cukup nyaring.
"Akhirnya rasa lapar itu datang juga!" gumam Sarita.
Pandangannya menyapu alam sekitar, rupanya kaki jenjang itu sudah membawa raganya pada sebuah taman yang terdapat air mancur. Gegas Sarita berjalan menuju kolam berhias air mancur. Ditengadahkan kedua tapak tangannya pada kucuran air mancur, lalu direguknya dengan puas.
Setelah beberapa teguk, ditengadahkan lagi kedua tapak tangannya. Kali ini tidak untuk di teguk, melainkan untuk membasuh mukanya yang terasa tebal oleh debu dan asap kendaraan.
"Ough, segar. Rasanya aku ingin makan buah yang segar. Nah, di sana ada yang jual buah irisan." Sarita pun melangkah menuju ke penjual buah tersebut.
Dia membeli beberapa buah iris dari uang mahar nikahnya yang sejumlah lima ratus ribu. Berbekal uang itu, Sarita meninggalkan mansion. Setelah mendapat beberapa buah, wanita itu pun mencari bangku kosong. Senyumnya mengembang kala dilihatnya ada bangku yang kosong, kakinya bergerak menuju ke bangku tersebut. Namun, baru saja duduk nyaman ...
"Mbak, bisa berbagi buahnya? Adik saya sedang lapar," keluh seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun sambil menggandeng bocah pria usia lima tahun.
Sarita tertegun dalam keterkejutan, sungguh miris hidupnya yang terusir dari rumah mertua dan suaminya sendiri. Ini lebih parah lagi, dua anak tanpa orang tua.
"Dimana rumah dan orang tua kalian?" tanya Sarita.
"Rumahku di kampung melawai, kedua orang tuaku sedang sakit, Mbak. Aku kerja juga belum dapat uang," papar bocah perempuan.
"Ini makanlah kamu dan adikmu, dan ada sedikit uang untuk kalian. Bawa ibumu berobat!" Sarita menyodorkan kantong buahnya pada anak tersebut setelah dia mengambil dua buah jeruk. Juga selembar uang kertas berwarna merah.
"Terima kasih, Mbak."
Sarita mengangguk, lalu kedua bocah itu tertawa riang dan mengayunkan kakinya dengan ringan. Sementara Sarita yang melihat sikap dua bocah tersebut seketika tersenyum. Segera dihabiskan dua buah jeruk itu, setelahnya dia melanjutkan perjalanan menuju ke kampus. Rencana Sarita, dia ingin mencari kamar kost untuk dia istirahat.
Saat berjalan dalam keramaian orang, tiba-tiba dirasanya seseorang berjalan menempel pada tubuhnya. Sarita menghindar, tetapi terlambat. Orang yang menempel itu telah mengambil dompetnya yang masih ada uang senilai empat ratus ribu. Dengan lantang Sarita berteriak.
"Copet!!"
Semua orang seketika menyeruak, tetapi bukan untuk menangkap copet tersebut. Mereka justru memberi jalan pada pelaku pencopetan. Sarita terdiam, berdiri mematung menatap kepergian copet. Napasnya menderu, hidungnya kembang kempis menahan emosi.
Semua harta dan kartu penting miliknya ada di dalam dompet. Bahkan ponsel jadulnya pun juga di sana. Wanita muda itu melangkah gontai tanpa arah. Jiwanya memdadak kosong.
"Aku harus kemana?" gumam Sarita.