Bab 8 Awal Dari Semuanya
Bab 8 Awal Dari Semuanya
"Trouble, he will find you no matter where you go. No matter if you're fast, no matter if you're slow." Troubel is Friend - Lenka
Satu tahun yang lalu ...
"Ini benar-benar tempatnya?" Kelana menggaruk kepala saat melihat gedung di hadapannya. Sekali lagi dia melihat pesan yang dikirim oleh laki-laki bernama Calvin Arizona.
Dengan ragu Kelana masuk ke dalam dan menghampiri meja resepsionis. Belum sempat Kelana berkata sesuatu, perempuan yang bertugas langsung tersenyum dan memperkenalkan dirinya sebagai Asti Mulia Ningsih dan bicara bahwa Calvin dan Kenan sudah menunggu di ruangan.
"Mari saya antar." Asti tersenyum lebar meski wajahnya terlihat bingung saat menatap Kelana.
Kelana hanya menurut, dia mengikuti Asti ke dalam lift dan turun di lantai sepuluh. Berjalan lagi cukup jauh dan berhenti tepat di depan sebuah ruangan, beberapa orang yang sibuk bekerja di balik kubikel menatap Kelana dan Asti penasaran.
"Silakan masuk. Bapak Calvin sudah menunggu Anda." Asti mengangguk lalu pamit setelah memberitahukan kedatangan Kelana.
Sesaat Kelana melongo, dia masuk ke dalam. Seorang laki-laki berpakaian rapi tengah duduk di sofa yang diperuntukan untuk tamu, sedangkan laki-laki lain tampak sibuk bekerja karena kepalanya yang tertunduk tepat di atas sebuah berkas, setidaknya itu anggapan Kelana.
"Ah, kamu pasti Kelana Mentari." Laki-laki yang duduk di sofa tersenyum sangat lebar dan mempersilakan Kelana untuk duduk. "Senang akhirnya bertemu denganmu secara langsung. Masih ingat denganku? Calvin Arizona?"
Kelana hanya mengangguk. "Tentu saya ingat." Kelana mengulurkan tangan. "Saya Kelana Mentari."
Calvin segera membalas uluran tangan Kelana, seolah teringat sesuatu dia segera menarik diri lalu tersenyum.
Kelana bergerak dengan gelisah, sekilas dia melihat ke arah laki-laki yang dia cium seminggu yang lalu masih juga tertunduk. Apa mungkin laki-laki itu marah padanya?
"Oh itu, Kenan. Dia laki-laki yang kamu cium seminggu yang lalu." Calvin tersenyum sangat lebar, dia terlihat sangat bahagia. "Aku benar-benar tidak percaya."
Perhatian Kelana kembali teralih pada Calvin, ada apa dengan laki-laki itu?
Calvin berdehem saat menyadari tatapan Kelana. "Maafkan aku. Aku terbawa susasana." Dia kembali tersenyum ramah. "Kamu pasti tahu kenapa saya menghubungi dan memintamu datang kemari." Calvin merubah gaya bicaranya menjadi formal.
Kelana hanya mengangguk kaku. Terlalu gugup, dia sama sekali tidak punya uang untuk mengganti rugi Red High Heells yang tidak sengaja dia rusak. Bisa saja dia meminta pada ayahnya, tapi Kelana masih sangat sayang pada nyawanya.
"Kenan, laki-laki yang kamu cium seminggu lalu."
Entah mengapa Kelana mulai kesal pada laki-laki di hadapannya.
"Dia baru saja diangkat menjadi direktur satu bulan yang lalu. Karena jabatannya itu, dia jadi sangat sibuk. Karena seorang sekretaris saja tidak cukup, dia membutuhkan asisten pribadi untuk membantu segala keperluan pribadinya. Dan ... karena saya tahu kamu tidak akan sanggup mengganti rugi Red High Heells dengan uang tunai, kami sepakat untuk--"
"Maksud Anda, saya jadi asisten pribadi bos Anda?"
"Tepat sekali."
Kelana melongo, apa Calvin sedang bercanda? Semudah itu menjadikan dirinya sebagai asisten pribadi tanpa tahu latar belakang dirinya, atau setidaknya latar belakang pendidikannya. Bagaimana bisa Kelana jadi asisten pribadi semudah ini tanpa melalui wawancara terlebih dahulu. Bukankah setahu Kelana, kualifikasi asisten pribadi itu cukup susah? Dan dengan mudahnya Calvin dan Kenan mengangkat dirinya sebagai asisten pribadi?
Apa Calvin itu seorang sekretaris abal-abal? Atau Kenan itu direktur bohongan?
"Tapi saya ..."
"Kami sudah memeriksa latar belakang hidupmu. Kami tidak terlalu mementingkan latar pendidikan sebenarnya, asal kamu gigih dan bekerja dengan sangat baik kamu bisa menjadi asisten pribadi Kenan. Toh lagi pula, akan sangat merepotkan jika harus membuka kamuwongan kerja dan mewawancarai banyak orang." Calvin menatap Kelana serius. "Tetapi, lulusan Ilmu Komunikasi boleh juga."
Kelana berkedip, jadi Calvin benar-benar memeriksa latar belakannya hingga tahu bahwa dia mengambil jurusan Ilmu Komunikasi sewaktu kuliah. "Tapi ..."
Calvin menghela napas. "Latar pendidikan kamu akan sangat membantu Kenan bekerja, bagimana pun juga dia kurang bisa berkomunikasi dengan baik pada orang tertentu. Karena atasan saya itu tidak mau rugi dan mau untung sendiri. Dia pikir akan sangat percuma memasukanmu ke dalam penjara karena itu tidak akan mengembalikan uangnya. Karena dia sedang membutuhkan seorang asisten, jadi kami memutuskan untuk menjadikanmu asisten pribadi Kenan."
Calvin tersenyum. "Intinya, setelah kami pikir-pikir ada baiknya kamu membayar utang kamu dengan gaji yang diberikan oleh Kenan saat kamu menjadi asisten pribadinya. Tenang saja, saya akan melatihmu bagaimana caranya menjadi seorang asisten pribadi yang baik."
Kelana melongo saat Calvin memberikan sebuah berkas.
"Untuk selengkapnya, silakan kamu baca poin-poin di surat perjanjian ini lalu tanda tangani."
Kelana sama sekali tidak bisa berkutik.
"Aishh, Untuk apa juga mereka meneleponku? Datang ke sana? Sudah tahu aku sedang kesal!" Kelana terus-terusan menggerutu sambil mengacak rambut atau mengusap wajah dengan kedua tangan.
Kepala Kelana tertunduk dalam, ponselnya tidak berhenti bergetar. Wajah perempuan itu benar-benar kacau. Mungkin rambutnya juga tidak disisir melihat betapa kusut rambutnya sekarang.
"Astaga! kamu benar-benar Kelana! Gila, kenapa wajah kamu seperti gitu? Habis ditabrak di mana?" Adel langsung histeris saat melihat keadaan Kelana.
Kelana mengangkat kepala, menatap Adel dengan kesal. "Ini semua gara-gara kamu tahu nggak!"
Adel langsung bergerak mundur saat Kelana menunjuk wajahnya. "Whoah, ada apa nih? Tiba-tiba nyalahin aku?"
Kelana memutar bola mata, wajahnya semakin kusut. "kamu ingat laki-laki yang aku cium di depan mall waktu itu? Yang sepatunya rusak kelindas sama mobil?"
Adel mengingat-ngingat, tiba-tiba wajahnya berubah cengengesan, dia menatap Kelana jahil. "Jujur, ciuman kamu waktu itu benar-benar amatir. Harusnya aku ajarin kamu lebih banyak tentang teknik ciuman yang baik."
"Sial!" Kelana murka, tidak tahan untuk meninju sosok perempuan di hadapannya. "Aku serius,!"
"Aku juga serius! Harusnya kamu lebih ahli lagi biar laki-laki itu klepek-klepek sama kamu. Lumayan lho. Wajahnya tampan, malah jauh tampan dari Raga, dari penampilan ... eng, kalau aku tidak salah lihat. Jasnya buatan Armani, jam tangan Rolex ..." Adel mengedip saat mendapat tatapan tajam dari Kelana, buru-buru dia tersenyum lebar. "Yang jelas laki-laki yang kamu cium itu lebih segalanya dari Raga. Apalagi dia yang beli Red High Heells. Pasti dia punya uang banyak."
Kelana mendesah panjang, beberapa pengunjung kafe menatapnya dengan tampang melongo dan heran. Mungkin keheranan melihat ada orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa. Namun Kelana sama sekali tidak memedulikan tatapan mereka, saat ini kepalanya serasa mau pecah.
"Uangnya emang banyak."
"Kok, kamu tahu?" Mata Adel menyipit. "Jangan-jangan kamu benar-benar pacaran ya sama dia? Ngaku? Whoah, Lan. Aku tidak nyangka kamu bisa secepat itu mendapatkan laki-laki kece."
Kelana mendelik marah. "Sekali lagi kamu mengoceh tentang kejadian itu, aku tidak akan segan-segan untuk tutup mulut kamu dengan cabai."
Adel berdecak kesal. "Dihh, jahat sekali sih! Terus sebenarnya kamu kenapa? Kenapa wajah kamu seperti habis kena angin tornado."
Kelana menunduk, dia segera mengalihkan perhatian ketika ponselnya bergetar.
"Aku mundur dari proyek."
Kening Adel sontak berkerut. "Proyek? Proyek tour Another band itu maksud kamu?"
Kelana mengangguk sekali, wajahnya benar-benar terlihat lesu. "Padahal aku berusaha untuk masuk ke tim, tapi aku terpaksa mundur." Mata Kelana berkilat penuh amarah. "Semua ini gara-gara kamu!"
"Kok aku?"
"Ya iyalah, coba waktu itu kamu tidak maksa aku untuk pergi lihat sepatu. Aku tidak akan ketemu Raga terus terpaksa cium laki-laki itu dan ngerusak Red High Heells."
Kening Adel semakin berkerut. "Lha, memang laki-laki itu benar-benar minta ganti rugi? Dia tahu di mana kamu tinggal?"
Kelana memutar bola mata, apa Adel sedang pura-pura amnesia atau memang melupakan kejadian waktu itu. "Yah. Masa kamu lupa, kamu memberi kartu nama aku sama laki-laki itu. Kemarin laki-laki itu dan sekretarisnya meneleponku."
Adel terlihat terkejut saat mendengar perkataan Kelana. "Terus? Mereka nyuruh kamu ganti rugi?"
"Ya menurut kamu? Tuh sepatuh harganya mahal sekali. Gimana coba cara aku melunasinya?"
Adel benar-benar terkejut, sikap bercandanya hilang tergantikan dengan kepanikan. "Terus gimana jadinya? Apa mereka mengancam akan masukin kamu ke penjara?"
"Yaelahhh, yang ada mereka rugi masukin aku ke penjara. Mereka tuh maunya uang mereka balik." Kelana menghela napas panjang. "Aku harus ganti uang mereka. Dua ratus lima juta." Pandangan Kelana menerawang. "Kenapa juga itu sepatu ngerepotin sekali?! Mahal lagi harganya? Yang beli tidak sayang apa sama uangnya?"
Adel menatap Kelana sungguh-sungguh. "Kalau gitu, terus kenapa kamu malah mundur dari proyek tour itu? Kalau kamu mundur terus yang bayar utang kamu gimana?" Kepala Adel tertunduk. Dia terlihat merasa bersalah. "Aku minta maaf, kamu benar. Gara-gara aku kamu jadi seperti gini. Aku akan berusaha untuk bantu ngelunasi utang kamu. Kalau perlu, kita bicara sama Bang Azra, uangnya 'kan banyak."
Kelana menatap Adel datar. "Tidak perlu. Aku ..." Dia terlihat seperti ingin menangis. "Aku melunasinya dengan cara lain."
"Hah? Gimana bisa? kamu menggunakan ilmu hitam? Atau ikutan pesugihan?!"
"Sial!" Kelana tidak tahan untuk memukul kepala Adel, enak saja dirinya dituduh ngepet dan melakukan pesugihan. "Kalau aku menggunakan ilmu hitam sama ikutan pesugihan, udah sejak awal kali aku jadiin kamu tumbalnya."
Adel balas memukul kepala Kelana. "Sialan kamu ya, ."
Keduanya saling berpandangan lalu tertawa hingga menarik perhatian banyak pengunjung kafe.
"Jadi, gimana?" Kali ini Adel terlihat serius. "Bagaimana pun juga aku ikut andil dalam masalah kamu. Tenang, aku pasti akan bantu kamu ngelunasin utang kamu."
Kelana mendesah panjang. "Masalahnya mereka tidak mau dibayar pake uang."
"Lha, terus?"
Kelana mendesah lagi. "Karena laki-laki itu lagi butuh asisten, jadiinya mereka nyuruh aku untuk jadi asisten pribadi laki-laki itu."
Adel yang saat itu sedang minum langsung tersedak, kedua matanya menatap Kelana horor. "Gimana ceritanya?!"
Dengan sangat terpaksa Kelana menceritakan pertemuannya dengan Calvin kemarin. Pertemuan yang membuat semua mimpinya hilang dalam waktu sekejap. Dia bahkan tidak pernah membayangkan hal ini terjadi.
"Tidak bisa gitu juga dong." Adel langsung protes saat Kelana selesai menceritakan semuanya. "Jadi asisten pribadi itu berat sekali, Lan. Meski harus aku akui kalau gajinya gede sekali. Tapi, percuma saja kalau dipotong utang."
Kelana mendelik saat melihat wajah Adel, wajah sahabatnya itu antara kasihan dan ingin tertawa. "Tidak perlu ditahan. Ketawa saja."
Adel segera berdehem, berusaha untuk menampilkan wajah datar.
"Maaf, habisnya ini diluar dugaan sekali. kamu jadi asisten pribadi seorang direktur perusahaan gede tanpa melakukan wawancara apa pun? Hebat!"
Kelana hanya berdecak kesal.
Perhatian Adel teralih pada ponsel Kelana yang tergeletak begitu saja di atas meja. "ayahmu nelepon tuh dari tadi. tidak mau kamu angkat?"
Kelana melirik ponselnya. "Sudah tahu juga maksudnya. Paling-paling dia minta donorin darah aku ke Putih."
Kata yang diucapkan Kelana terlampau santai, namun Adel tahu bahwa hati perempuan itu sama sekali tidak santai.