Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Sore Itu Di Taman

Bab 7 Sore Itu Di Taman

"Dibalik senyum manisnya, ada rasa kesepian, dingin dan sifat anak-anaknya." Cheese in The Trap

Tidak mau Kenan bertemu dengan Reno, Kelana membawa Kenan ke taman yang terletak si belakang gedung aparteman. Sedari tadi Kenan hanya diam mengamati sekitar seolah laki-laki itu sangat jarang pergi ke tempat seperti ini. Tentu saja, pikir Kelana. Selama ini Kenan selalu tidur jika ada waktu luang. Entah bagaimana alasannya Kenan bisa bersikap seperti itu di usia dewasa.

Kelana berdeham, merasa tidak enak dengan keheningan yang terjadi.

"Bapak dengar semuanya?" Kelana menatap Kenan penasaran, jika laki-laki itu datang mungkin Kenan mendengar semua percakapannya dengan Vera dan Reno.

Kenan melirik Kelana sekilas lalu menatap ke depan lagi. "Menurutmu telinga saya sudah tuli?"

Kelana mendengus, dalam hati menggerutu. Harusnya Kenan tidak berkata jujur seperti itu. Dia jadi malu, tidak ada siapa pun yang tahu dia berasal dari mana. Tidak ada yang tahu bahwa dia anak pertama Reno Manuella, direktur bank sekaligus anggota DPR. Meski dia tercatat di akta keluarga Reno, tapi mereka tidak pernah memperkenalkan Kelana pada siapa pun setelah kejadian lima tahun lalu.

Kejadian yang membuat semuanya berubah total.

"Harusnya Bapak tidak menguping. Tidak baik." Kelana berusaha mempertahankan diri agar Kenan tidak bertanya lebih mengenai keluarganya.

Kenan mengedikan bahu tidak peduli. "Tadinya saya tidak mau dengar, tapi suara kalian terlalu keras."

Sampai kapan pun Kelana tidak akan pernah bisa menang dari Kenan.

"Kalau dipikir-pikir apa karena itu kamu pernah bilang iri sama keluarga saya?" Kenan bertanya, tatapannya menerawang, seolah membayangkan sesuatu.

Kelana menghela napas, sejak dahulu dan sekarang dia selalu iri pada Kenan dan Kevin. Meski mereka terkadang selalu bertengkar, tapi Kelana tahu bahwa mereka tulus saling menyayangi, ketika dia melihat interaksi Kenan dengan orangtuanya membuat Kelana semakin iri. Dia tidak pernah merasakan hal tersebut dari keluarga kandungnya.

Papanya seolah menganggap dirinya tidak ada. Mamanya memilih bunuh diri karena depresi.

"Apa saya terlihat semenyedihkan itu?" Kelana tersenyum kecil.

"Memangnya kapan saya bilang kamu menyedihkan?" Kenan mengedikan bahu. "Toh, sejak awal saya sudah tahu semuanya. Hanya saja, melihatnya secara langsung membuat saya sadar."

Mata Kelana terbelalak, apa kata Kenan barusan? Tahu semuanya sejak awal? Apa laki-laki itu tahu semua tentang hidupnya yang menyedihkan? Perempuan itu mendengus, meski Kenan itu sangat pemalas namun jika ada sesuatu yang ingin didapatkan, Kenan akan mendapatkan semuanya. Apa pun itu. Termasuk informasi pribadi Kelana yang tidak pernah dia beritahu pada siapa pun.

Kenan tersenyum, terlihat begitu manis. "... Kalau ternyata kamu tidak sekuat yang saya bayangin."

Kelana langsung berdecak kesal, mau bagaimana pun juga, sekali menyebalkan selamanya akan selalu menyebalkan. Dia menatap lurus ke depan, ke arah anak kecil yang asik bermain bersama ibunya.

"Saya memang tidak sekuat itu ..." desah Kelana, tatapannya masih tertuju pada ibu anak itu, dahulu dia juga pernah mengalami hal tersebut. Hal yang terkadang dia rindukan. "Pak Ken?" panggil Kelana.

Kelana menatap Kenan serius. "Ini terakhir kalinya saya bertanya sama Bapak." Dia diam sesaat. "Apa alasan Bapak melakukan semua ini? Kenapa Bapak melakukan semua ini tanpa berpikir panjang? Di antara semua wanita di dunia, kenapa harus saya?" Kelana menghela napas panjang. "Bapak mungkin tahu saya akan mengalami hal ini ..."

Kenan tidak langsung menjawab, dia menatap lurus ke depan. Pada pedagang es krim yang dikelilingi oleh anak kecil dan beberapa orang dewasa.

"Saya punya alasan." Kenan berkata pelan. "Tapi saya tidak bisa memberi tahu semuanya sama kamu sekarang."

Mata Kelana menyipit. "Apa alasan Pak Ken karena Bapak tidak mau dijodohin terus sama Bu Rima makanya Bapak jadiin saya tumbal?"

Kenan terkekeh pelan, tatapannya terlihat begitu hangat saat menatap Kelana. Sayangnya perempuan itu tidak menyadari tatapan Kenan. "Salah satunya."

Kening Kelana berkerut dalam.

"Ada banyak alasan. Lagi pula saya pasti sudah memikirkan konsekuensi perbuatan saya kemarin malam. Termasuk hal ini." Kenan mengedikan bahu. "Saya harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan apa yang saya inginkan."

Entah mengapa, Kelana merasa Kenan seperti seorang psiko. Laki-laki itu bisa baik dan jahat dalam waktu bersamaan.

"Maksudnya Bapak mengorbankan kehidupan saya biar Bapak bisa bebas dari omelan Bu Rima? Astaga! Kenapa Bapak jahat sekali?!"

Sesaat Kenan terpana mendengar seruan Kelana yang tiba-tiba. Kemudian dia berdecak, "Ternyata kamu lebih bodoh dari dugaan saya."

"Dihh, malah melantur ke mana-mana." Kelana kembali menatap Kenan serius. "Terus apa dong?"

Kenan menarik napas panjang lantas menatap langsung pada mata Kelana. "Sudah saya katakan, saya punya alasan sendiri. Saya tidak bisa memberi tahu sekarang ... tidak sebelum kamu merasakan apa yang saya rasakan selama ini."

Oke, tampaknya sikap serius Kenan memang tidak pernah bisa Kelana mengerti sampai kapan pun. "Duh, Pak. Jangan untuk saya bingung deh. Mana saya tahu apa yang Bapak rasakan. Saya bukan Roy Kiyoshi yang bisa tahu hidup banyak orang."

"Siapa Roy Kisyoshi? Kelana, kamu itu tunangan saya, kenapa malah deket sama laki-laki lain?"

Sontak saja wajah Kelana berubah datar, harus dia ingatkan bahwa Kenan ini ketinggalan zaman. "Bukan urusan Bapak kalau saya cari laki-laki lain juga."

Kenan mendekatkan wajahnya ke wajah Kelana hingga pupil mata perempuan itu membesar. "Sejak kamu setuju dengan syarat saya, itu artinya semua urusanmu adalah urusan saya. Sejak kamu setuju menjadi tunangan saya, itu artinya saya berhak melarang kamu apa pun jika itu hanya akan merugikanmu atau saya."

Kelana mendengus, "Harusnya aku tidak setuju aja kalau ternyata seberat ini syaratnya."

Kenan tersenyum lebar. "Dan itu artinya kamu harus menghabiskan waktu sebelas bulan bersama saya. Menyenangkan sekali."

Ingin rasanya Kelana memukul kepala Kenan dengan sepatu saking kesalnya. "Menyebalkan."

Senyum Kenan malah semakin lebar hingga terdengar suara kekehan. Jelas, laki-laki itu sedang bahagia.

Kelana terpana melihat Kenan, merasa heran melihat bosnya sekarang, sore ini laki-laki itu lebih banyak tersenyum daripada setahun belakangan. Kelana langsung bergerak mundur saat Kenan mendekatinya. Setidaknya dia harus waspada, siapa tahu Kenan akan menciumnya lagi dan membuat dia sial setengah mati.

Namun, yang diharapkan Kelana tidak terjadi. Perempuan itu tertegun saat Kenan menyentil keningnya. Tidak keras, tapi tetap saja terasa sedikit sakit. Setelah sadar sedikit, Kelana menaikan pandangan hingga langsung berpandangan dengan Kenan. Sayangnya, Kelana melakukan kesalahan. Dia semakin tertegun saat melihat senyum lebar di wajah Kenan.

Bosnya itu terlihat sangat tampan.

"Makanya saya kasih kamu waktu untuk mengetahuinya." Senyum Kenan semakin melebar. "Tiga bulan. Tiga bulan yang akan menentukan semuanya. Saya sangat berharap kamu mengetahuinya lebih cepat, dengan begitu semuanya akan jadi kenyataan."

Jika kewarasan dan pikiran Kelana sedang baik sekarang, dia pasti akan mencak-mencak pada Kenan karena laki-laki itu malah melantur dan membuat kepalanya pusing setengah mati. Sayangnya, kali ini pikiran Kelana sedang kacau sehingga tidak bisa mengejek Kenan, dia malah tertegun melihat senyum di wajah Kenan yang sangat jarang Kelana lihat.

"Sebenarnya tiga bulan terlalu lama, tapi tidak apa. Itu cukup untuk kemampuan berpikirmu yang sedikit di bawah rata-rata." Senyum di wajah Kenan belum juga lenyap. "Tapi, saya yakin, tiga bulan cukup untuk menumbuhkan sesuatu dalam dirimu sehingga kamu tidak bisa lepas."

Kelana menelan ludah gugup, seharusnya tadi dia tidak mengajak Kenan ke taman dan meninggalkan Kenan sendirian. Dengan begitu pikirannya tidak akan sekacau sekarang. Dia tidak perlu kebingungan mengertikan maksud Kenan.

"Ke depannya, kamu pasti akan mengalami hal seperti tadi. Kamu mungkin akan lebih banyak menangis, meski saya yakin sekali kamu akan menahan tangis kamu sekuat mungkin. Tapi ..." Kenan mengusap puncak kepala Kelana lembut. "Saya akan menemani kamu. Saya akan berusaha untuk membantu kamu. Saya akan berusaha untuk membuat kamu terhibur."

Terpesona dan kebingungan, itulah yang dirasakan Kelana sekarang. Siapa pun pasti akan terpesona dan terkagum-kagum mendengar perkataan Kenan. Namun karena Kelana sangat mengenal Kenan, rasanya hal ini sungguh sangat aneh. Kenan bukan tipe laki-laki yang suka menggombal, daripada mencari pacar apalagi istri. Kenan lebih suka tidur di waktu luang atau bermalas-malasan jika bisa.

Makanya sampai sekarang bos Kelana yang satu itu--memang satu-satunya--menjombkamu di usianya yang sudah kepala tiga.

"Bapak sehat?" Pertanyaan bodoh dan merusak suasana, tapi Kelana tidak peduli. Dia hanya takut bosnya jadi gila hanya karena pertunangan mendadak dan mendengar pembicaraannya dengan oragtuanya tadi.

Kenan tidak terpengaruh dengan 'suasana rusak' yang diciptakan Kelana. Dengan mimik serius dia mengangguk. "Tentu saja saya sehat. Kamu juga lihat terakhir kali saya diperiksa."

Kelana hanya mengangguk kikuk.

Kenan menghela napas. "Jika ada sesuatu, jangan sungkan untuk memberi tahu saya apa pun itu. Bukankah itu yang dilakukan oleh orang yang sudah betunangan."

Kelana mendengus pelan. "Sesungguhnya saya masih belum ngerti."

"Kamu akan mengerti nanti."

"Tapi ..." Mata Kelana menyipit memandang Kenan. "Saya baru sadar. Jangan-jangan Bapak bolos kerja, ya? Kalau Bapak dengar pembicaraan saya dengan keluarga pasti Bapak di sini sudah cukup lama."

Kenan terlihat sedikit gugup, sekilas dia mengusap tengkuk lalu mengedikan bahu seraya tersenyum santai. "Ada Calvin."

"Ck, Bapak ini. Kasihan Calvin terus menderita gara-gara Bapak. Harusnya yang jadi direktur itu Calvin bukannya Bapak."

Kenan tersinggung sedikit. "Tapi saya lebih pinter daripada Calvin."

"Dihh, percaya diri sekali. Meski secara IQ Bapak memang menang, tapi dalam EQ Bapak kalah total!"

"EQ tidak terlalu penting untuk saya."

Sedari tadi Kelana hanya berekspresi kesal dan jengkel, Kenan memang sangat menyebalkan. Dalam setahun ini belum pernah Kelana melihat Kenan bersikap baik dan menyenangkan. Mungkin hanya sekarang dia melihat sikap lain Kenan, bahwa Kenan juga bisa bersikap manis kalau mau. Tapi sikap manisnya Kenan itu terkadang membuat Kelana ketakutan.

Takut Kenan jadi gila.

"Bapak akan kembali ke kantor?" Kelana bertanya, sangat tahu dengan kebiasaan Kenan. Meski terkadang Kenan itu sangat pemalas di siang hari, namun di malam hari Kenan bekerja sangat keras. Bosnya itu aneh, bekerja saat semua orang meninggalkan kantor.

Kenan mengangguk. "He-em, ada beberapa hal yang harus saya kerjakan jadi tidak bisa tidur."

Kelana memutar bola mata. "Duh, Pak. Terus tidur itu tidak baik, lihat otot Bapak kendor gini. Haduhh, padahal saya ingin punya tunangan yang kuat."

"Dalam hal pasangan, jangan lihat penampilan fisik tapi kemampuan otak."

Kelana mendelik. "Percuma juga otaknya encer kalau pemalas."

"Yang penting saya punya banyak uang."

Baiklah, Kelana menyerah sekarang. Dia menatap Kenan malas. "Terus, kenapa Bapak repot-repot datang ke sini?"

Kenan tidak langsung menjawab, dia menghela napas beberapa kali.

"Pak?"

Kenan menoleh ke arah Kelana, wajahnya terlihat ragu. "Apa saya harus jujur sama kamu?"

Kelana tidak mengerti.

Kenan menggersah. "Sudahlah, saya harus pergi sekarang sebelum Calvin mengamuk." Dia beranjak berdiri lantas menatap Kelana. "Jangan sedih terus, wajah kamu kelihatan jelek sekali." Kemudian Kenan pergi begitu saja.

Kelana melongo, apa-apan bosnya itu?! Datang tiba-tiba lalu pergi begitu saja. Apa Kenan itu wujud nyata dari jelangkung?

Perempuan itu mendengus pelan lalu berdiri, menatap gedung aparteman. Jika mereka tahu di mana dia tinggal, pasti hidupnya tidak akan tenang. Sepertinya Kelana harus mencari tempat tinggal baru lagi, padahal dia sangat betah tinggal di sini.

Karena tidak punya tujuan, Kelana juga tidak mau kembali ke aparteman akhirnya dia pergi ke rumah Adel. Hanya itu tempat yang mau menerimanya dengan tulus.

"Nah, akhirnya si pemeran utama datang juga." Adel mendelik pada Kelana saat perempuan itu tiba di rumah Adel.

Baru juga Kelana hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba seseorang berseru!

"Kelana!"

Kelana memejamkan mata, kacau sudah hidupnya jika Azra datang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel