Bab 6 Luka
Bab 6 Luka
"Aku baik-baik saja, kamu baik-baik saja. Semua kesedihan dan bekas luka ini sudah menjadi kenangan." BTS - I'm Fine
Kelana langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang begitu sampai di aparteman. Dia mendesahkan napas panjang seraya memikirkan esok hari. Apa berita mengenai apa yang dilakukan Kenan tadi akan masuk berita? Bagaimana pun juga keluarga Kenan sangat terpandang, Kelana juga melihat beberapa wartawan yang meliput.
"Kenapa aku harus aku takut?" Kelana mendesah panjang, sengaja tidak menghidupkan lampu, dia lebih suka gelap dibandingkan terang, terutama, dia sedang menghemat listrik. "... Tidak ada orang yang tahu aku berasal dari mana. Aku tidak perlu takut."
Lagi, Kelana mendesah, lebih panjang. Dia memejamkan mata, namun baru beberapa saat matanya kembali terbuka. Kelana meraih botol obat yang tergeletak di atas meja lalu mengambil beberapa pil obat lantas meminumnya dengan air putih yang tadi pagi dia taruh.
Malam ini dia harus segera tidur, entah mengapa dia punya firasat tidak enak.
Keesokan hari Kelana bangun sangat siang, meski bangun terlambat matanya tetap berkantung. Sesaat pandangannya tertuju pada ponsel yang sedari tadi terus bergetar tanpa henti. Tanpa melihat pun Kelana tahu bahwa telepon-telepon tersebut berasal dari Kenan, Calvin, Adel, dan ... rumahnya.
Dengan enggan Kelana turun dari ranjang lalu pergi menuju dapur untuk mengambil minum.
"KELANA KAMU ADA DI DALAM, KAN?!" teriak seseorang seraya menggedor pintu seperti orang kesurupan.
Kelana menoleh ke arah pintu, pasti Adel yang datang. Kali ini dia sedang tidak ingin bertemu siapa pun, termasuk Adel. Sahabatnya itu hanya akan memperkeruh suasana.
"Lana, buka pintunya!"
"Lana, kamu ada di dalam, kan?"
"Lana!"
Lama kemudian teriakan tersebut berhenti, bersamaan dengan itu ponselnya kembali bergetar. Ketika Kelana ingin mematikan ponsel tiba-tiba ada pesan masuk dari Kenan. Mendadak perempuan itu kebingungan, biasanya Kenan langsung menelepon karena terlalu malas menggerakan jari di atas papan keybord ponsel.
Lazy Bos: Kamu tidur dengan nyenyak?
Kelana tersedak seketika, apa matanya sudah rabun? Atau Kenan salah kirim pesan? Tetapi melihat nomor dan cara mengetik itu memang Kenan. Tetapi, entah mengapa Kelana jadi merasa aneh melihat tingkah Kenan.
Lazy Bos: Tidak perlu datang ke kantor besok. Kamu pasti butuh istirahat yang banyak.
Sebelah alis Kelana terangkat. Segera mengetik balasan.
K. Mentari: Bapak sehat, kan?
Lazy Bos: Apa saya kelihatan sakit?"
Kelana langsung berdecak, melihat isi pesan Kenan. Jelas laki-laki itu baik-baik saja secara fisik dan sakit secara mental. Kelana tersenyum kecil, bagaimana pun juga dia harus bersikap baik pada Kenan. Setidaknya masa tugasnya berkurang banyak gara-gara Kenan. Meski sebenarnya Kelana tidak tahu maksud Kenan apa dengan memintanya menjadi tunangan laki-laki itu, yang penting Kelana bisa lepas dari Kenan dan mengejar impiannya sebagai fotografer.
Tiga bulan bukan waktu yang banyak dibandingkan dengan waktu yang sudah dia habiskan bersama Kenan.
Kelana hendak menaruh ponsel saat tiba-tiba ponselnya bergetar sekali. Kelana pikir Kenan mengirimi dia pesan lagi, namun saat dilihat. Bukan Kenan yang mengirim pesan, melainkan seseorang yang sangat Kelana hindari.
Putih: Apa kamu ada di rumah? Papa ingin bertemu denganmu sekarang.
Putih: Kami tunggu, ya ...
Kelana langsung terdiam dengan tubuh kaku. Hal yang dikhawatirkannya terjadi juga. Dia mengabaikan pesan tersebut, percuma juga dibalas. Mereka tidak akan pernah bisa mendengar penolakan dari siapa pun, termasuk dirinya.
Terbiasa sibuk bekerja Kelana merasa aneh saat duduk santai di sofa sambil menonton tayangan di tivi. Dia merasa bosan, padahal biasanya jam segini dia sedang sibuk berdiskusi dengan Calvin karena Kenan asik tertidur dan bangun sore saat para pegawai pulang kerja.
"Ahh, harusnya aku jalan-jalan lalu ambil beberapa foto yang bagus."
Setuju dengan ide dadakannya, Kelana segera mengganti baju, mengambil kamera dan beberapa lembar uang. Namun dia baru ingat bahwa dia tidak punya uang lembar di dompetnya. Yang ada hanya kartu ATM dan kartu kredit yang diberikan Kenan saat pertama kali Kelana bekerja dahulu.
Meski Kenan terkadang selalu egois, namun laki-laki itu adalah bos yang cukup baik. Salah satunya adalah dengan mempercayakan kartu kredit hitam milik Kenan dipegang oleh Kelana.
"Ke depannya saya akan banyak menyuruhmu membelikan barang-barang yang dibutuhkan, pegang saja kartu kredit saya biar mudah. Tenang, unlimited, kok. Kamu juga bebas menggunakannya. Beli apa pun yang kamu mau dengan kartu itu."
Dan ternyata kartu kredit yang diberikan Kenan hanyalah satu dari sekian banyak kartu kredit yang dimiliki Kenan. Kelana tahu dari Calvin saat memberitahukan bahwa Kenan memberinya kartu kredit yang bisa digunakan dalam jumlah besar.
"Kenan memang begitu. Yang terpenting, gunakan kartu kreditnya. Gajimu 'kan kecil jadi jangan sungkan-sungkan untuk menggunakan kartu kreditnya. Dia tidak akan marah meski kamu beli mobil dengan kartu kreditnya."
Kelana menggunakan kartu kredit Kenan sesekali. Hanya jika dia belum mengambil uang di ATM atau terdesak sesuatu. Sejauh ini Kenan sama sekali tidak mempermasalahkan tagihan yang masuk, terkadang Kenan malah bingung karena pernah dia tidak mendapat tagihan apa pun dari kartu kredit yang dipegang Kelana.
Mendadak Kelana tersenyum sangat lebar. Sepertinya kartu kredit Kenan akan menjadi tumbal. Hari in dia ingin bersenang-senang, membeli banyak makanan dan beberapa pakaian. Dia tidak akan peduli dengan uang yang dihabiskan. Anggap saja itu semua bayaran atas apa yang dilakukan Kenan semalam.
Ketika Kelana membuka pintu, tubuhnya sontak menegang saat melihat tiga orang yang berdiri di hadapannya.
"Benar 'kan ini apartemannya." Suara Putih terdengar, kemudian berpandangan dengan Kelana. "Hai, apa kamu mau pergi ke suatu tempat?" Perempuan itu melirik tas di punggung Kelana.
"Masuk." Bukan Kelana yang bersuara, melainkan laki-laki paruh baya dengan wajah memerah dan tatapan tajam saat memandang Kelana.
Kelana menghela napas lantas melangkah mundur, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa keluarganya akan datang ke aparteman. Sepertinya setelah ini dia harus cari tempat tinggal baru lagi.
Reno, Vera, dan Putih duduk di sofa panjang sedangkan Kelana duduk sendirian di sofa tunggal hadapan mereka. Ingin rasanya Kelana kabur dari hadapan mereka lalu menenangkan diri.
"Ada perlu apa kalian datang ke sini?"
"Apa maksudnya ini?!" Sang Papa melempar tablet ke hadapan Kelana. Layar tablet tersebut memperlihatkan artikel mengenai pembatalan tunangan yang dilakukan oleh Kenan, lalu menampakan foto dirinya bersama Kenan yang menyatakan bahwa Kelana sudah menjalin hubungan serius dengan Kenan sejak lama.
Kelana tidak ingin menjawab, percuma saja. Seberapa keras pun dia menjelaskan, keluarganya akan tetap menyalahkan dirinya.
"Kelana ..." Sang Papa kembali memanggil dengan suara dingin. "Ini alasan kamu ingin tinggal sendirian? Kamu tidak suka saya mengatur-ngatur kamu, begitu? Dengan tinggal sendiri kamu jadi bebas mempermalukan keluarga saya?"
Kelana tersenyum samar, meski dia tahu bahwa hal ini akan terjadi namun entah mengapa ada sesuatu yang membuat hatinya terasa tidak nyaman. Melihat secara tidak langsung kemarahan Reno, membuat Kelana sadar akan posisinya di mata laki-laki paruh baya itu.
"Papa, mungkin maksud Lana bukan begitu. Mungkin Lana sedang mempesiapkan waktu yang tepat untuk memberitahu Papa." Putih menoleh pada Lana. "Begitu 'kan Lana?"
"Tidak ada satu pun orang yang tahu bahwa saya bagian dari kalian." Bukannya mengikuti skenario Putih, Kelana malah sengaja mengakui, dia bahkan mengabaikan tatapan dingin Reno. "Jadi kalian tidak perlu khawatir. Tidak ada siapa pun yang akan mengejek kalian karena perbuatan saya."
Reno diam tidak menanggapi, tatapan tajamnya tertuju pada Kelana untuk waktu yang sangat lama.
"Sikapmu jauh berbeda dengan Putih." Vera yang bersuara dengan nada mengejek. "Pantas saja ibumu bunuh diri. Dia pasti tidak tahan hidup bersama anak sepertimu."
Tatapan Kelana berubah kosong seketika, tiba-tiba bayangan seorang wanita tengah menyayat pergelangan tangan melintas di kepalanya. Seketika wajahnya memucat, dahinya berkeringat.
"Mama!" tegur Putih, sadar perubahan kondisi Kelana.
"Jangan membela kakakmu terus. Setidaknya dia harus merubah sikapnya yang sudah sangat keterlaluan. Harusnya dia mencontoh sikap Putih. Bukannya jadi pembangkang. Memalukan keluarga saja."
Kelana menatap Mama tirinya datar sambil tersenyum kecil. "Anda pikir siapa yang membuat saya seperti ini?" Pertanyaannya sarat akan emosi ketika menatap langsung pada Putih.
"Mama kamu benar." Reno kembali bersuara. "Meski mungkin tidak ada orang yang tahu bahwa kamu bagian dari keluarga saya, ada baiknya kamu jaga sikap. Contoh sikap adik kamu. Dia tidak pernah membuat kami malu apalagi kelimpungan menghadapi sikapnya."
Rahang Kelana mengeras seketika, sekilas matanya menatap dingin pada Putih. "Maksud Anda, saya ini pembuat masalah? Apa Anda sudah buta?" Kelana tidak peduli siapa orang di hadapannya. Baginya, sosok Ayah dalam hidup Kelana sudah lama mati, bersamaan dengan kematian ibunya.
"Kelana!"
Kelana menarik napas panjang. "Saya tidak pernah mencampuri urusan kalian, jadi saya harap kalian juga tidak mencampuri urusan saya. Mau saya bertunangan dengan siapa pun juga bukan urusan kalian. Toh tidak ada orang yang tahu bahwa saya bagian dari kalian."
Vera terlihat ingin meluapkan amarahnya pada Kelana andaikan Putih tidak segera menenangkan Mamanya.
"Apa kamu masih marah karena Raga lebih memilih Putih dibandingkan kamu?" Vera bertanya dengan nada merendahkan.
Rahang Kelana berubah kaku, benar-benar tidak tahan menghadapi sikap Mama tirinya. Dia beranjak berdiri seraya tersenyum. "Untuk apa saya marah, jika saya bisa mendapatkan laki-laki yang bahkan segalanya lebih dari Raga?"
Vera terlihat shock melihat Kelana yang sama sekali tidak mau menghormatinya. Dia menatap Reno kesal. "Sudah kubilang, harusnya kamu tidak membawa anak itu ke rumah. Lihat 'kan akibatnya. Anak dan ibu sama saja. Sama-sama menyedihkan."
Kelana mati-matian menahan amarah mendengar Vera menghina ibunya. "Sebelum Anda mengatai orang lain, ada baiknya Anda melihat diri Anda seperti apa."
"Kelana ..." panggil Putih. "Mama lagi emosi, jangan--"
Belum sempat Kelana menghindar tiba-tiba Vera melangkah lalu menampar pipinya. Sontak saja Kelana terkejut.
"Seperti inikah didikan ibumu? Harusnya kamu ikut mati bersama wanita itu."
Kelana masih terkejut, pipinya berdenyut nyeri. Sesaat pandangannya tertuju pada sang Papa yang sedari tadi hanya diam. Sesuatu yang menyakitkan kembali dirasakan Kelana dalam hatinya.
"Jika kalian tidak menginginkan saya dalam hidup kalian, hapus saya dari daftar keluarga. Gampang. Jangan seperti ini juga. Menghina seseorang yang sudah meninggal?! Kalian terlihat menyedihkan."
Kelana berbalik pergi meninggalkan mereka dengan mata memerah, kakinya bergetar karena amarah. Dia menarik napas panjang lalu diambuskan, namun rasa sakit itu masih ada, rasa marah dan kesal masih dia rasakan. Ingin rasanya dia kembali ke aparteman lalu meluapkan amarah yang selama ini dia pendam.
Namun dia terlalu pengecut.
Langkah Kelana berhenti tepat di tangga darurat. Dia tidak ingin naik lift. Mereka pasti akan mengejarnya. Jika dia bertemu lagi dengan mereka, Kelana ragu bisa menahan emosinya. Ketika Kelana hendak terjatuh tiba-tiba seseorang menarik tangannya lalu memeluknya dengan erat.
"Sekarang, saya berhak melakukan ini padamu, kan?"
Tubuh Kelana menegang mendengar suara itu. Kenan.