Bab 5 Semakin Salah Paham
Bab 5 Semakin Salah Paham
"Saya akan terus berharap, suatu saat nanti kamu bisa mencintai saya."-Ketika Tuhan Jatuh Cinta
"Anda salah paham, kami tidak seperti yang Anda bayangkan. Kami hanya ..." Kelana berusaha menjelaskan, bahwa mereka--dirinya dan Kenan--tidak pernah bertunangan. Namun sayang, semua orang tidak memercayainya kecuali Kevin yang masih ngotot tidak setuju.
"Dasar tukang tikung!" Adalah umpatan yang selalu dilayangkan Kevin pada Kenan. "Kakak dari awal 'kan sudah tahu kalau aku suka sama Lana. Kenapa Kakak malah bertunangan dengan Lana?!"
Di samping Kevin, Calvin menggelengkan kepala. Sedari tadi laki-laki itu hanya diam mengamati sesekali membalas perkataan Kevin atau menyetujui suara terbanyak.
"Karena kamu terlambat. Ck, harusnya kamu gerak cepat. Kalau sudah begini 'kan kamu juga gigit jari." Calvin malah mengejek seenak jidat.
Kevin mendelik kesal. "Kak Calvin suka gitu ih! Bukannya Kak Calvin mendukungku?"
Calvin mengangkat bahu. "Aku hanya mengikuti suara terbanyak."
"Sial!" Setelah mengatakan hal tersebut, suasana mendadak hening. Kevin memandang ke arah Eric dengan takut-takut. "Maaf. Keceplosan."
Eric mendesah, "Sekali lagi kamu mengucapkan kata itu di depan Papa atau Mama ... habis sudah semua kartu kredit kamu."
Kevin semakin ketakutan. "Yahh, jangan dong, Pa ..."
Eric melengos, tatapannya tertuju pada Kelana dan Kenan.
"Kevin, jangan kacaukan kebahagiaan kami." Rima menggoyangkan jari telunjuk. "Apa kamu tidak tahu lamanya kami menantikan hal ini terjadi?"
Bibir Kevin mengerucut. "Mama kok bahagia Kak Ken memberontak. Kak Ken sudah mempermalukan keluarga Ratama! Saham AR Corps turun drastis sekarang. Semua itu gara-gara Kak Ken."
"Memang benar ..." Rima menyetujui. "tidak apa, itu urusan Ayah sama Kenan. Yang penting sekarang akhirnya Kenan bertunangan. Jadi, kapan kalian mau menikah?"
Kelana menelan ludah gugup, peristiwa tunangan saja membuat dia terkejut setengah mati. Ini, ditambah dengan rencana pernikahan. Mati dirinya nanti.
"Sepertinya kalian salah paham. Tapi kami tidak pernah bertunangan." Kelana melirik Kenan penuh ancaman. "Mungkin tadi Pak Ken kesal karena dijodohkan secara tiba-tiba sehingga pikirannya terganggu lalu berkata hal yang nggak-nggak. Saya bahkan tidak pernah membayangkan menjadi bagian dari Ratama, yang sesungguhnya sama sekali tidak pantas untuk saya."
Kening Rima berkerut dalam. "Kenapa pikiranmu dangkal sekali?" Meski sudah setengah baya, rupanya Rima termasuk korban sinetron karena sekarang langsung bersikap layaknya seseorang yang terasakiti. "Apa keluarga kami sebegitu buruknya di matamu sampai kamu tidak mau mengakui Kenan sebagai tunanganmu?"
Kelana melongo. "A-apa? Bukan itu maksud saya."
"Lalu apa? Apa Kenan kurang tampan? Atau dia terlalu malas? Tenang saja, ibu akan mengomeli dia."
Kelana jadi pusing sendiri, bagaimana caranya dia menjelaskan bahwa ini adalah perbuatan sinting Kenan. Tampaknya semua orang sangat percaya bahwa dirinya dan Kenan bertunangan tanpa bilang-bilang.
"Pak Ken tampan, kok, meski beliau sangat malas tapi kalau sedang mau pasti semuanya berjalan lancar. Tetapi, hanya saja. Bagaimana pun juga, saya berasal dari keluarga sederhana, saya juga hanya lulusan sarjana di universitas yang tidak terlalu terkenal. Saya hanya merasa jika Pak Ken lebih cocok dengan perempuan yang sebanding dengan beliau."
Hanya itu alasan terakhir yang dipunya Kelana untuk saat ini, setahunya kebanyakan konglomerat dengan harta berlimpah selalu mengutamakan latar belakang serta bibit bebet bobot calon menantu mereka. Sedangkan babat bebet bobot Kelana jauh dari perkiraan mereka. Sangat buruk malah hingga keluarganya sendiri pun enggan menerima kehadirannya.
"Kamu terlalu banyak baca cerita recehan rupanya." Untuk pertama kali Kenan membuka suara. "Sejak kapan keluarga ini mengutamakan hal seperti itu?"
Kening Kelana berkerut tidak mengerti.
"Kami tidak pernah memedulikan semua yang kamu katakan." Eric mengimbuhkan. "Bahkan memikirkannya pun tidak pernah." Terselip nada muram yang entah mengapa membuat Kelana sedikit mengigil.
Rima mengangguk setuju. "Benar sekali. Apa kamu tahu kalau dulu ibu adalah seorang akuntan biasa? Ibu tetap bekerja meski sudah menikah hingga akhirnya bapak menyuruh ibu untuk berhenti bekerja."
Kerutan di kening Kelana semakin berkerut dalam, jelas ada sesuatu yang disembunyikan oleh keluarga Ratama. Perempuan itu menggersah, kenapa dia malah memikirkan hal ini? Harusnya dia mencemaskan dirinya yang tidak bisa lepas dari keluarga Ratama.
"Karena masalahnya sudah selesai. Jadi, kapan kami bisa melamarmu secara resmi pada orang tuamu?"
Ingin rasanya Kelana menangis saat ini juga, harus dengan cara apa lagi agar mereka percaya bahwa semua ini bohong. Bahwa dia tidak pernah bertunangan dengan siapa pun, apalagi dengan Kenan.
"Tapi, Pak, Bu. Saya tidak pernah tunangan dengan Pak Ken ..." desah Kelana putus asa. "Pak Ken tuh yang tiba-tiba mencium saya lalu bilang kalau kami sudah bertunangan. Padahal kenyataannya tidak."
Eric menganggukan kepala, raut wajahnya terlihat begitu serius. "Kamu bicara seperti ini karena Kenan tidak melamarmu secara resmi, kan?"
Kelana ragu jika Eric ini mempunyai IQ tinggi. Kelana jadi ingat perkataan Calvin dahulu ketika dia pertama kali bekerja sebagai asisten pribadi Kenan, bahwa EQ keluarga Ratama sangat berbeda dengan IQnya. Terlalu jauh malah perbedaannya. Dan Kelana baru melihatnya sekarang.
"Bukan begitu, Pak. Saya hanya ..."
"Jangan merasa malu atau tidak enak." Eric menghela napas. "Mungkin ke depannya hidup kamu tidak akan terlalu tenang setelah apa yang dilakukan Kenan, mungkin kami juga akan menghadapi masalah cukup besar atas peristiwa ini." Laki-laki paruh baya itu mengedikan bahu kemudian tersenyum lebar. "Tetapi, Setidaknya semuanya terbayar."
Oke, sampai saat ini Kelana masih belum mengerti kenapa Eric dan Rima sangat bersyukur anaknya mempermalukan mereka.
"Kami tahu kamu belum siap sama sekali, tapi kami juga harus menemui orang tuamu untuk membicarakan semuanya."
Mendadak suasana hati Kelana berubah muram saat Rima menyebutkan orang tua.
Melihat kebisuan Kelana, Rima segera mengimbuhkan, "Tidak sekarang juga tidak apa. Tetapi, saat kalian benar-benar memutuskan untuk menikah, siap tidak siap, kami akan menemui orang tuamu secara resmi."
Kelana pasrah saja, toh percuma juga berapa kali pun dia mengelak, Eric dan Rima tidak akan percaya. Mungkin nanti dia harus bicara serius dengan Kenan mengenai permasalahan ini.
"Maaf sebelumnya mengganggu." Calvin memecah keheningan yang terjadi, dia berusaha untuk tersenyum saat para penghuni menatap Calvin serius. "Aku harus pulang. Barang yang ketinggalan kemarin sudah kuambil."
"Bohong! Bilang saja kalau Kak Vin cuma ingin mendengar pembicaraan kita, kan?" Kevin menggelengkan kepala.
Calvin mencebik, "Jangan samakan aku denganmu." Dia memperlihatkan USB di tangannya lalu berdiri. "Tenang saja Om, Kenan pasti akan mengatasi semua perbuatannya." Dia mengedipkan mata lantas menatap Kelana. "Mau pulang sekarag? Rumah kita searah, kan?"
Selesai mengucapkan kalimat terakhirnya, Calvin langsung mengerjap saat mendapat tatapan tajam dari Kenan. Dia langsung tersenyum sangat lebar. "Sepertinya aku harus pergi ke suatu tempat dulu sebelum pulang." Calvin mengangguk pada Eric dan Rima. "Aku pergi dulu." Kemudian tanpa menoleh lagi, Calvin pergi keluar rumah.
Mata Kevin menyipit memandang kepergian Calvin. "Memangnya dia mau ke mana di tengah malam seperti ini?" Kepalanya meneleng. "Ah, jangan-jangan dia mau pergi ke club? Aishh, harusnya dia mengajakku."
"Kevin," panggil Rima.
Kevin nyengir lebar. "Bercanda, Ma!"
"Kevin benar, ini sudah larut malam. Sebaiknya kamu antar Kelana pulang. Pastikan dia sampai ke rumah dengan selamat." Rima tersenyum lebar. "Kelana, istirahat dengan baik. Jangan dengarkan kata orang. Kamu harus punya banyak tenaga untuk menghadapi Kenan."
Kelana hanya bisa tersenyum canggung, setelah berpamitan pada Eric dan Rima, dia berjalan mengikuti Kenan dengan langkah lesu. Bagaimana bisa hidupnya berubah secepat ini? Padahal kemarin masih baik-baik saja.
"Jujur deh, Pak. Apa alasan Bapak melakukan hal ini ke saya?" Kelana mendesah putus asa.
Kenan melirik Kelana sekilas. "Karena kamu Kelana."
Mata Kelana menyipit lalu menggersah kesal. "Bapak bisa cari perempuan lain yang namanya Kelana."
"Tapi, perempuan bernama Kelana yang saya tahu hanya kamu."
Kelana malas menanggapi perkataan Kenan, karena percuma saja. Kenan akan menyangkal semua perkataannya.
"Dalam kontrak yang kamu tanda tangani--"
"Bahwa sebagai ganti rugi karena Red High Heels yang tidak sengaja saya rusak." Kelana memotong perkataan Kenan dengan malas namun penuh penekanan. "Yang harganya dua ratus lima juta, dan mencium bapak Kenan yang terhormat di depan umum, juga memamfaatkan bapak Kenan yang terhormat sebagai kekasih saya di depan mantan pacar dan sahabat saya. Saya diharuskan tanda tangan kontrak dan bekerja sebagai asisten pribadi bapak Kenan yang terhormat selama dua tahun, dengan gaji dua setengah juta per bulan, dan sisanya dibayarkan utang."
Kelana menarik napas sebanyak yang dia bisa. "Bapak mau membicarakan itu, kan? Kenapa gaji saya kecil sekali? Saya bahkan tidak pernah libur selama kerja."
"Karena utang kamu terlalu banyak."
"Dasar egois!"
Kenan tersenyum sedikit. "Kalau tidak egois, saya tidak akan kaya."
Harus Kelana akui, Kenan itu orangnya terlalu jujur. Jika tidak suka, maka Kenan akan bilang tidak suka, meski itu pada mitra bisnis atau keluarga. Dan sayangnya sikap Kenan yang satu selalu membuat Kelana sial.
"Waktu kamu sekitar sebelas bulan lagi, kan?"
Kelana menatap Kenan bingung. "Kenapa memangnya?"
"Saya akan memotongnya jadi tiga bulan."
Sontak saja mata Kelana membelalak terkejut, angin dari mana hingga mampu merobohkan sikap egois sang bos sinting. "Yang benar? Bapak jangan bercanda!"
Kenan memutar bola mata. "Sejak kapan saya suka bercanda?"
Mendengar hal tersebut, Kelana semakin bahagia. Tanpa bisa dicegah dia berteriak histeris, mimpi buruknya akan segera berakhir andaikan Kenan menepati janjinya.
"Bapak tidak akan bohong, kan? Masa kerja saya benar-benar dipotong delapan bulan, kan?"
Kenan mengangguk, tiba-tiba ekspresinya berubah serius. "Dengan satu syarat."
Mendadak Kelana jadi waspada. Tahu jelas jika syarat-syarat yang diajukan Kenan tidak pernah menguntungkannya.
"Selama tiga bulan kamu harus jadi tunangan saya."
"Hah? Kenapa?"
Kenan menoleh pada Kelana. "Tidak mau?"
Buru-buru Kelana menyangkal. "Bukan gitu. Tapi maksudnya tidak benar-benar tunangan, kan? Cuma pura-pura."
"Pura-pura atau tidak, sama saja. Sama-sama jadi tunangan saya."
Kelana berpikir sesaat, Kenan benar juga sih. "Tapi, cuma tiga bulan, kan? Setelah tiga bulan saya tidak akan jadi asisten pribadi dan tunangan Bapak, kan?"
Kenan mengangguk sekali. "Hem."
Tanpa berpikir lagi Kelana langsung menerima syarat Kenan. Apa pun akan dia lakukan jika itu bisa lepas dari Kenan.
"Oke, kalau gitu. Besok saya jadi libur, ya? Bapak kerja sendiri. Dahh, sampai jumpa lagi ..." Kelana turun dari dalam mobil.
Kenan menatap kepergian Kelana, mendadak senyum kecil hadir di wajahnya. "Tiga bulan, ya. Apakah aku bisa?" Dia bertanya-tanya. "Tentu saja harus."