Bab 4 Restu
Bab 4 Restu
"Orang bilang cinta itu butuh proses."-Surat Cinta Untuk Starla
"Bapak sehat, kan? Bapak tidak sakit?" Adalah respon pertama ketika sadar akan ucapan Kenan di depan umum.
Tunangan? Bertunangan? Kelana adalah tunangan Kenan Arian Ratama? Yang benar saja?! Meski Kenan memang sangat tampan dan mapan, tetapi tetap saja itu tidak membuat Kelana jatuh begitu saja pada Kenan.
"Kamu kenapa?"
Kelana berhenti memijit pangkal hidung, saat ini mereka sedang berada di luar ballroom. Keadaan di dalam sangat kacau gara-gara perkataan nyeleneh Kenan. Bisa-bisanya meninggalkan perempuan yang akan bertunangan dengan Kenan lalu mengenalkan perempuan lain sebagai tunangan. Kurang gila apalagi bos Kelana itu.
"Kenapa Bapak tanya?" Kelana mendelik marah. "Bapak meninggalkan Yolanda begitu saja, terus mengaku kita bertunangan. Dan ..." tatapan Kelana menggelap. "Bapak. Mencium. Saya. Di. Depan. Umum. Saya tidak terima!"
Kenan bersandar ke dinding. "Dulu kamu juga mencium saya di depan umum."
Kelana memejamkan mata. "Itu beda lagi. Situasinya juga beda. Saya juga 'kan sudah minta maaf."
"Tapi, belum saya maafin."
Kelana mendelik. "Saya tidak tahu rupanya Bapak ini pendendam. Pokokoknya, lebih baik Pak Ken konfirmasi ke semua orang kalau kita tidak menjalin hubungan lebih dari seorang bawahan dan atasan."
Kenan tidak langsung menjawab.
"Tidak mau."
"Bapak Kenan?" Kelana menatap Kenan sambil tersenyum paksa. "Jangan membuat nama saya hancur di mata orang lain, dong. Kalau Bapak tidak mau tunangan sama Yolanda, bicara baik-baik, jangan bawa-bawa saya apalagi mencium saya di depan umum. Saya bisa lapor ke polisi, lho."
Sebelah alis Kenan terangkat sebelah. "Harusnya waktu itu saya lapor ke polisi juga." Tiba-tiba Kenan bersikap sangat menyebalkan. "Pasti sekarang ini kamu lagi di penjara."
Sontak saja Kelana mendengus kesal. "Terus maunya Bapak sekarang apa? Saya tidak mau jadi tunangan Bapak."
"Kenapa?" tanya Kenan datar.
Kelana bingung untuk sesaat mendengar pertanyaan Kenan. "Kenapa? Ya-ya, masa saya jadi tunangan Bapak."
"Kenapa tidak?"
Kenan membuat Kelana kebingungan. Sungguh. Jalan pikiran Kenan terkadang membuat Kelana pusing setengah mati. "Duh, Pak. Kepala saya migrain jadinya."
"Minum obat saja."
Ingin rasanya Kelana melempari kepala Kenan dengan high heels 10 sentinya. Harus Kelana akui kalau otak Kenan cerdas, sangat malah, tetapi masa kecerdasan Kenan hanya berguna dalam pekerjaan saja? Kelana sangat yakin kalau nilai EQ Kenan pasti dibawah rata-rata, nol malah kalau benar.
Kelana menarik napas lalu diambuskan secara perlahan, tidak membalas tatapan Kenan demi kelangsungan emosinya.
"Jangan-jangan ..." Mata Kelana menyipit menatap Kenan curiga. "Sebenarnya sejak dulu Bapak ingin bertunangan dengan saya, ya."
Sesaat hening, Kelana masih menatap Kenan serius.
"Memang," jawab Kenan, lagi-lagi dengan nada datar.
Kelana memutar bola mata, pasti kepala Kenan mengalami kesalahan. Tiba-tiba saja berkata yang aneh-aneh. "Cukup bercandanya."
"Saya tidak bercanda." Lagi-lagi Kenan membantah dengan wajah datar.
Kelana mendengus, "Terserah Bapak deh. Saya nyerah." Kelana melambaikan tangan lalu menatap Kenan malas. "Ya sudah, lebih baik kita masuk lagi lalu jelaskan ke semua orang kalau yang dibicarakan Bapak itu salah besar. Bapak sedang khilaf. Dengan begitu semuanya jadi beres."
Kenan memasukan kedua tangan ke dalam saku celana, mata sayunya menatap lurus ke mata Kelana. "Sudah saya bilang, saya tidak mau."
Kesabaran Kelana habis sudah. "Terus kenapa?! Jangan seperti anak kecil deh, Pak. Kabur begitu saja, tidak mau tanggung jawab."
Kenan mendengus, "Kamu juga tidak mau tanggung jawab." Kepalanya meneleng. "Saya ingin meminta pertanggung jawaban."
"Pertanggung jawaban apalagi, Pak? Memangnya saya salah apa?!"
"Kejadian setahun yang lalu ... kamu mencium saya, memanfaatkan saya, lalu merusak high heels yang saya beli ..."
Seketika Kelana merasa merinding. "Kan, saya sudah tanggung jawab. Kalau tidak, mana mungkin saya lagi di sini, kerja sama Bapak ..."
"Kamu tanggung jawabnya sama Calvin karena dia yang membuat surat perjanjian. Saya ingin kamu bertanggung jawab pada saya." Perlahan Kenan mendekati Kelana, pandangannya datar menatap perempuan itu, dia mengulurkan tangan untuk meraih tangan Kelana, menatap cincin yang Kenan sematkan tadi. "Pakai cincin ini ke mana pun kamu pergi."
Kelana jadi gugup, selama bekerja dengan Kenan belum pernah dia sedekat ini dengan laki-laki itu. "U-untuk apa?"
Kepala Kenan meneleng, terlihat keren dan tampan di mata Kelana yang tiba-tiba saja mengalami error. Buru-buru perempuan itu menggeleng kecil demi menyingkirkan pikiran yang melintas dalam kepalanya.
"Agar semua orang tahu bahwa kamu tunangan saya."
Kelana tidak ingin menanggapi perkataan Kenan lagi, mungkin laki-laki itu masih lelah karena bekerja selama dua Minggu tanpa henti, jadi sekarang ini tidak bisa berpikir dengan baik. Maka dari itu Kelana melangkah mundur lalu menarik tangannya dari genggaman Kenan.
Sayangnya genggaman Kenan terlalu kuat sehingga Kelana harus menatap langsung ke mata Kenan, memberi isyarat agar laki-laki itu melepas tangannya.
"Pak Ken ..."
Kenan tidak mengatakan apa pun, hanya menatap Kelana dengan pandangan datar.
"Kalian ada di sini rupanya!" Tiba-tiba Rima berseru dari belakang Kenan. "Kami mencari-cari kalian!"
Karena terkejut, Kelana langsung berjingkat hingga posisinya sangat dekat dengan Kenan. Berbeda dengan Kelana, Kenan tampak begitu santai. Sama sekali tidak takut mendapat amarah dari banyak orang.
"Ibu, saya bisa jelaskan. Semua ini--"
"Apa kamu ingin membuat jantung Mama copot?!" Tatapan Rima tertuju pada Kenan. "Beraninya kamu mengejutkan semua orang seperti itu! Apa kamu tidak tahu kalau--"
"Ma," panggil Kenan memotong omelan Rima, "jangan marah-marah. Nanti tensi Mama naik lagi."
Kenan sudah tidak bisa tertolong lagi, pikir Kelana muram. Bahkan laki-laki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah pada perbuatannya.
"Kenan Arian Ratama." Suara itu begitu menyeramkan hingga Kelana menggigil ketakutan, dia mendongak menatap pada seorang laki-laki paruh baya yang tengah memandang dirinya juga Kenan dengan tajam dan dingin.
Habislah sudah, pikir Kelana nelangsa. Mimpi apa semalam hingga dia harus mengalami semua kejadian konyol ini. Tunggu ... bahkan semalam dia sama sekali belum sempat tidur nyenyak gara-gara Kenan.
"Papa tahu kalau kamu susah diatur, tapi apa harus seperti ini juga?" Suara Eric datar, namun Kelana sangat sadar kalau laki-laki paruh baya itu sedang marah besar pada anaknya. Bagaimana pun juga Kenan sangat keterlaluan, membatalkan pertunangan di depan banyak orang yang kebanyakan mitra bisnis Eric. Bisa Kelana pastikan saham AR Corporation turun drastis.
Eric melihat ke sekitar lalu menyuruh Kenan dan Kelana untuk mengikutinya pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan, Kelana mati-matian untuk bersikap sangat tenang meski tidak bisa. Dia takut Eric marah besar padanya, bisa saja Eric menggunakan pengaruh dan kekuasannya untuk menghancurkan hidup Kelana. Meski sebenarnya tidak ada hal yang bisa dihancurkan Eric. Toh hidup Kelana juga sudah berantakan sejak dahulu.
Tapi entahlah, perasaan Kelana sama sekali tidak enak. Dia malah heran saat melihat Kenan. Kali ini bos sintingnya itu mau menyetir mobil secara suka rela. Wajahnya tenang, malah terlihat bahagia.
Terkadang Kelana heran. Sepertinya akal pikiran Kenan benar-benar sudah hilang ditelan bumi.
"Ini kesempatan Bapak untuk jelaskan semuanya ke Pak Eric sama Bu Rima. Saya tidak mau dimarahi, ya."
Kenan hanya mendengus lantas keluar dari dalam mobil meninggalkan Kelana sendirian.
"Sial!" umpat Kelana kesal lalu ikut keluar dari dalam mobil. Andaikan pintu gerbangnya tidak dikunci sudah dari tadi Kelana kabur.
Ketika Kelana masuk, Eric, Rima, Calvin dan Kevin tengah duduk di sofa. Sesaat Kelana merasa ragu mau duduk di mana hingga akhirnya Kevin menawari tempat duduk di samping laki-laki itu. Ketika Kelana hendak menghampiri Kevin, tiba-tiba Kenan menarik tangannya hingga mau tak mau Kelana duduk di samping Kenan. Langsung berhadapan dengan Eric dan Rima.
Kelana menelan ludah gugup. Sungguh rasanya lebih menakutkan dibandingkan saat dia sidang beberapa tahun yang lalu.
"Aku tidak setuju!" seru Kevin tiba-tiba. Semua pandangan tertuju pada laki-laki itu. "Pokoknya Kak Ken tidak boleh tunangan sama Lana." Kevin sedikit merengek. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun ambil Lana dariku."
Kompak semua orang langsung melengos, tidak lagi memedulikan rengekan Kevin.
"Kelana tidak suka sama bocah seperti kamu." Seperti biasa, Kenan membalas perkataan Kevin dengan sinis. "Kuliah saja belum selesai."
"Tapi aku ini setia!" Kevin tidak mau kalah. "Bentar lagi juga lulus. Jangan ngeremehin aku. Suatu saat nanti aku pasti jauh lebih baik dari Kakak."
Kenan hanya tersenyum miring, jelas laki-laki itu sedang mengejek adiknya.
"Siapa yang menyuruh kalian bertengkar?" Eric bertanya, menghentikan Kevin yang mau berseru lagi.
Keadaan kembali hening.
Sedari tadi Kelana terus menunduk, dia memang sering datang ke rumah keluarga Kenan dan bertemu dengan Rima juga Eric. Mereka baik sangat malah meski mereka termasuk keluarga yang sangat terpandang. Namun kali ini entah mengapa rasanya sedikit berbeda.
Andaikan Kenan tidak berbuat ulah, pasti sekarang ini Kelana tidak perlu merasa ketakutan seperti sekarang.
"Kelana," panggil Eric.
Kelana langsung mengangkat kepala. "Ya?"
Mata Eric menyipit memandang Kenan. "Di antara semua orang kenapa harus Kelana?"
Entah mengapa hati Kelana merasa tidak enak, apa jangan-jangan Eric tidak setuju seandainya Kelana benar-benar bertunangan dengan Kenan? Tentu saja, pikir Kelana. Bagaimana pun juga perbedaan dirinya dengan Kenan terlalu jauh. Dan biasanya, kebanyakan konglomerat dengan harta berlimpah selalu menginginkan pasangan yang sederajat. Sedangkan derajat Kelana sungguh dibawah rata-rata.
"Papa tidak setuju?" Kenan balik bertanya, tidak ada emosi apa pun di wajah dan suaranya.
Eric mendengus, "Menurutmu? Apa kamu tidak tahu betapa ..." Eric menarik napas panjang, seolah sedang berusaha menahan emosi. "Kenapa? Kenapa kamu melakukannya di saat yang seperti ini?"
Kelana yakin kalau Eric sangat marah. Dia kembali merutuki perbuatan sinting Kenan.
Sekilas Kenan melirik Kelana. "Karena ini waktu yang tepat."
Tatapan Eric begitu tajam membuat suasana terasa begitu mencekam. Namun, secara tiba-tiba Eric bertepuk tangan sekali lantas tersenyum sangat lebar.
"Ini baru anak Papa!" seru Eric tiba-tiba. "Akhirnya kamu menunjukan pemberontakan juga! Bagus. Bagus."
Kelana melongo, sama sekali tidak mengerti. Ada apa dengan Eric? Kenapa laki-laki paruh baya itu berkata seperti itu? Apa pikiran Eric jadi error karena Kenan membuat laki-laki paruh baya itu malu.
"Kalian bertunangan secara rahasia. Itu yang membuat Papa kesal." Eric berdiri dari duduknya lalu menatap Rima. "Haruskah kita mengadakan pesta pertunangan ulang?"
"PAPA!" seru Kevin kesal.
"Benar!" Rima menyahut semangat.
Kelana semakin melongo, percaya kalau pemikiran keluarga Ratama tidak ada yang beres.